Mohon tunggu...
Worklife

Telat Menerima Gaji atau Murka

4 Maret 2019   08:17 Diperbarui: 4 Maret 2019   08:25 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gaji Tellat Menerima Atau Murka

Assalamualaikum wr. Wb 

Artikel kali ini saya akan membahas tentang imbalan atas suatu pekerjaan (gaji), di Indonesia banyak sekali buruh buruh yang sudah bekerja keras namun pada akhirnya mereka tellat mendapatkan hak yakni gaji, bagaimana perspektif hukum islam atau pandangan hukum islam terhadap gaji yang telat dibayarkan.

Dalam salah satu hadis dijelaskan tentang gaji (al-ijarah) arti hadis tersebut sebagai berikut :

 "Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: "Allah SWT berfirman: Ada tiga golongan (orang) yang Aku (Allah) musuhi (perangi) pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah (memberi gaji) atas nama-Ku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya) dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya." (HR. Bukhari). 

Gaji sendiri dalam islam adalah al-ijarah menurut kebahasaan adalah imbalan atas suatu pekerjaan. (Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu 'Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, hlm. 94.) Namun, pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:

Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.

Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira`menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.

Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.

Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah. (Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu 'Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, hlm. 98.)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.

Berkenaan dengan pengupahan kepada tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk pembayaran yaitu gaji dan upah. Menurut pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai imbalan pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti PNS, pegawai pemerintahan, dosen, guru, pegawai swasta, manager dan akuntan. 

Pembayaran gaji tersebut pada umumnya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah,  misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.( Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, hlm. 350.)

Berkenaan dengan perlunya kejelasan besarnya upah, Nabi Muhammad SAW, bersabda dalam suatu hadits yang berbunyi:

Artinya: Dari Abi Sa`id al-Khudry r.a., bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang mengontrak pekerja sehingga dijelaskan besar upahnya. (HR. Al-Baihaqy)

Lebih lanjut supaya lebih jelas berkenaan dengan masalah upah, penulis akan menjelaskan sedikit tentang pengertian upah dalam arti konvensional. Dalam hal ini upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya dalam produksi. (Afzalul Rahman, Op.Cit., hlm. 361.)

Sedangkan pengertian imbalan adalah termasuk juga pembayaran honorarium yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus. Karenanya, dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang atau dapat dinilai dengan uang karena telah melakukan pekerjaan atau jasa. Upah juga boleh ditakrifkan sebagai harga yang dibayar kepada perkhidmatan buruh dalam proses pengeluaran. (Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, hlm. 17.)

Berdasarkan beberapa batasan pengertian upah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa upah adalah imbalan terhadap hasil kerja atau manfaat yang diberikan oleh pekerja kepada seseorang majikan yang menyuruhnya dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan perjanjian kerja. Untuk itu, dapat dipahami bahwa upah, baik menurut teori konvensional maupun dalam hukum Islam mempunyai kesamaan esensialnya yaitu suatu imbalan terhadap pemberian manfaat kepada majikan.

Keharusan pembayaran gaji telah menjadi kewajiban bagi si majikan kepada pekerja. Gaji sudah menjadi milik pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya. Jika dalam akad tidak ditentukan kesepakatan para pihak tentang ketentuan mempercepat atau menangguhkan pembayaran gaji dalam waktu tertentu, maka gaji pekerja wajib dibayar sesudah buruh menyelesaikan semua pekerjaan dan berakhirnya masa kerja.

Pembayaran upah atau gaji merupakan hasil hubungan kerja antara pekerja dan majikan.Upah dibayar majikan kepada pekerja sebagai perealisasian perjanjian kerja. Berdasarkan perjanjian dalam Islam, kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan jumlah gaji atau upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut.(Iskandar Budiman, Dasar-Dasar Penetapan Upah Dalam Islam,  hlm. 73.) Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.

Jika dalam persyaratan perjanjian kerja ada ditentukan syarat yang telah disetujui bersama, bahwa gaji pekerja dibayar sebulan sekali, maka majikan wajib memenuhi syarat tersebut yaitu membayar gaji pekerja sebulan sekali. 

Namun jika dalam persyaratan perjanjian kerja yang disetujui bersama bahwa gaji pekerja dibayar seminggu sekali, maka majikan harus membayar gaji pekerja seminggu sekali mengikuti persyaratan perjanjian kerja yang mereka buat dan setujui bersama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: Dari Ibnu Sirin berkata, Nabi SAW bersabda: Orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut memuat syarat-syarat pembayaran gaji. Kalau dalam akad di atas, masalah penundaan pembayaran upah ada ditentukan penundaan gaji adalah sah, tidaklah hal itu membatalkan dalam perjanjian yang diadakan semulanya. Penundaan gaji secara sewenang-wenang kepada pekerja dilarang dalam Islam, akan tetapi harus disegerakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu kemudian berikanlah upah kepada tukang bekam tersebut. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tersebut, maka majikan haruslah memberikan gaji pekerja segera mungkin tanpa adanya penundaan berlarut-larut. Penangguhan gaji ataupun pengunduran waktunya dibolehkan seandainya telah disepakati sebagaimana disyaratkan waktu mengadakan perjanjian kerja.

Sebenarnya majikan tidak boleh mengingkari waktu pembayaran gaji yang telah disepakati. Jika ditunda, hal itu menjadi hutang majikan kepada pekerja sebesar jumlah gaji yang ditunda tersebut. Setelah pekerja melunasi pekerjaan dengan persyaratan pekerjaan itu, majikan haruslah menepati janjinya. 

Pengunduran waktu pembayaran upah dapat menjadikan perjanjian batal, karena perubahan sighat akad yang semula diucapkan oleh kedua belah pihak, kecuali jika keadaan terpaksa. (Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam,hlm. 64.) 

Namun, jika dalam akad diucapkan bahwa penundaan gaji akan terjadi pada waktu pembayaran dan atas kerelaan masing-masing pihak, ini dibenarkan syariat Islam, karena mempunyai dasar kerelaan.

Jika kewajiban dari pekerja sudah dipenuhi kepada majikan, maka untuk itu hak pekerja tidak boleh diabaikan tanpa memberikan gaji sesuai waktu yang dijanjikan untuk memenuhi haknya sebagai pekerja. Sepanjang ia tidak menyalahi mengerjakan pekerjaan diwajibkan kepadanya karena ia disewa sebagai pekerja, serta diberi gaji. 

Pekerja berhak mendapatkan bayaran gaji secara penuh walau terpaksa terjadi penundaan waktu pembayaran gaji. Namun tidak boleh dikurangi dari jumlah yang diperjanjikan.

Jika majikan tidak memiliki mata uang nominal, maka pembayaran gaji pekerja dengan benda (asal pekerja mau menerima) dapat dilakukan. Asalkan benda tersebut memiliki nilai standar pasar yang memiliki sifat mubah dan jelas manfaatnya. Pembayaran upah atau gaji dalam bentuk benda harus diikuti dengan taksiran yang sama dengan jumlah gaji atau upah dalam nilai mata uang nominal. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni Wa Al-Syarah Al-Kabir, Jilid VI, hlm. 12.) Syariat Islam menganjurkan agar upah yang diterima oleh tenaga kerja, sesuai dengan tenaga yang telah diberikan. 

Tenaga kerja tidak boleh dirugikan, ditipu dan eksploitasi tenaganya, karena mengingat keadaan sosial tenaga kerja berada pada posisi perekonomian lemah. Gaji harus dibayar atau dihargai sesuai dengan keahlian dan skill masing-masing pekerja. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT yaitu:

Artinya: "Dan masing-masing derajat sesuai dengan apa yang mereka kerjakan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedangkan mereka tiada dirugikan". (Q.S. Al-Ahqaf : 19)

Dari itu dapatlah dikatakan bahwa tenaga kerja berhak menerima gaji sesuai keahlian dan kemampuannya walaupun terjadi penundaan. Penangguhan  yang dilakukan tidak boleh mengurangi jumlah gaji yang telah tertunda. Harus sesuai dengan yang diperjanjikan tidak boleh dikurangi sedikitpun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun