Mohon tunggu...
Muhammad Fajrin
Muhammad Fajrin Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

"The only thing standing between you and your dream is the will to try and the belief that it is actually possible".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontroversi Pajak Hiburan 40-75%: Kiamat Bagi Industri Hiburan Indonesia

16 Januari 2024   05:33 Diperbarui: 16 Januari 2024   05:35 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Isu mengenai kenaikan tarif pajak hiburan yang telah ditetapkan minimal 40% hingga maksimal 75% menuai kontra dimasyarakat, terutama bagi para pelaku usaha hiburan. Pasalnya, hal ini dapat merugikan pariwisata utamanya sektor hiburan dan jasa yang sedang bangkit pasca hantaman covid-19.

Kebijakan ini sendiri tertuang dalam UU no 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Pasal 58 ayat (2) yang berbunyi: "Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4Oo/o lempat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)."

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno memastikan bahwa penentuan tarif pajak untuk penyedia jasa hiburan sebesar 40 hingga 75 persen tidak akan merugikan sektor pariwisata. Dalam acara Weekly Brief with Sandi Uno di Jakarta, Rabu, beliau menyatakan, "Kami pastikan bahwa filosofi kebijakan pemerintah ini adalah memberdayakan dan memberikan kesejahteraan, bukan untuk mematikan usaha. Jadi jangan khawatir, tetap kita akan fasilitasi."

Menyoroti kenaikan tarif pajak hiburan di tengah pemulihan sektor pariwisata setelah pandemi COVID-19, Sandiaga menekankan perlunya penyosialisasian kebijakan tersebut kepada para pelaku usaha di sektor pariwisata, terutama penyedia jasa hiburan. Ia menambahkan, "Pajak hiburan ini perlu lebih kita sosialisasikan, tetapi tidak akan mematikan (usaha sektor pariwisata)."

Dalam upaya mendukung pelaku usaha sektor pariwisata, Sandiaga menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga iklim industri yang kondusif. Selain itu, pihaknya akan memberikan insentif dan kemudahan kepada mereka, mengingat sektor pariwisata berperan penting dalam menciptakan lapangan pekerjaan. "Kami telah menerbitkan Permenparekraf (Peraturan Menparekraf) Nomor 4 tahun 2021 bahwa usaha pariwisata dengan risiko menengah tinggi diberikan kemudahan dan tentunya menjaga tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Tetapi sebisa mungkin diberikan situasi iklim kondusif dan insentif karena lapangan kerja yang diciptakan sangat banyak," paparnya.

Lalu, apakah kebijakan menetapkan tarif pajak yang tinggi ditengah kondisi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi covid -- 19 adalah Keputusan yang tepat, atau justru dapat memukul industry hiburan yang ada di Indonesia?.

Pajak Hiburan tertinggi di dunia?

Pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dan dibayarkan oleh konsumen atas barang/jasa tertentu. Jika di Indonesia mencapai 40-75%, berapa di negara lain?

Malaysia.

Pajak hiburan seperti untuk konser internasional di Malaysia di 2024 ditetapkan sebesar 10%, turun dibandingkan sebelumnya 25%. Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim pada beberapa waktu lalu."Pajak artis internasional diturunkan menjadi 10% lebih baik. Banyak bintang internasional memilih menggelar konser di negara lain karena pajaknya rendah atau tidak ada sama sekali," kata Anwar dikutip dari The Star, Senin (15/1/2024).

Di sisi lain untuk meningkatkan pendapatan negara, Malaysia berencana menaikkan pajak penjualan dan pelayanan dari 6% menjadi 8%. Cakupan juga akan diperluas hingga jasa logistik dan karaoke, namun kenaikan tidak mencakup jasa makanan, minuman dan telekomunikasi.

Thailand

Thailand menurunkan pajak hiburan hanya 5% mulai awal tahun 2024. Kebijakan ini diterapkan untuk menarik wisatawan. Dilansir dari Eturbo News, juru bicara pemerintah Chai Wacharonke mengkonfirmasi keputusan tersebut. Pajak anggur dipangkas dari 10% menjadi 5% dan pajak minuman beralkohol dihapus dari yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10%.
Selain itu, pajak cukai untuk tempat hiburan akan dikurangi setengahnya dari 10% menjadi 5%. Tidak hanya itu, jam operasional tempat hiburan diperpanjang hingga pukul 04.00.

Singapura
Melansir dari Inland Revenue Authority of Singapore, para penghibur di negara tersebut hanya perlu membayar 15% atas penghasilan kena pajak dari layanan yang dilakukan di Singapura.
Amerika

Dilansir CNBC Indonesia, Senin (15/1/2024), Di Amerika Serikat (Chicago), tarif pajak hiburan berada pada angka 9%.

Ketidakproporsionalan Tarif PBJT pada Jasa Hiburan

Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diterapkan pada sektor jasa hiburan, termasuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan bisnis mandi uap/spa, diatur oleh Pasal 58. Meskipun tujuan dari tarif PBJT ini adalah untuk mengumpulkan pendapatan fiskal, dinamika ekonomi di sektor hiburan turut dipengaruhi oleh rentang tarif yang bervariasi.

Dalam penjelasan tarif PBJT untuk jasa hiburan, ketidakproporsionalan menjadi sorotan utama. Rentang tarif yang luas antara 40% hingga 75% menimbulkan kritik terkait metode perhitungan proporsi yang mungkin tidak akurat dalam mencerminkan tingkat keuntungan atau kapasitas ekonomi berbagai bisnis hiburan.

Kritik pertama menyoroti potensi ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam penerapan tarif, menyiratkan perlunya peninjauan kembali dan penyempurnaan metode perhitungan yang lebih tepat. Kesalahan dalam menghitung proporsi ini berpotensi memberikan dampak buruk, terutama pada pengusaha di sektor hiburan.

Pengusaha kecil mungkin terbebani dengan tarif yang tinggi, sementara pengusaha besar dapat mengalami kesulitan mempertahankan profitabilitas. Dampak ini juga dapat merambah ke konsumen dengan potensi kenaikan harga layanan hiburan dan penurunan minat konsumen, yang berpotensi mengurangi pendapatan industri dan dampak negatif lainnya bagi industry hiburan di Indonesia.

Selain itu, kepastian mengenai berapa besaran yang diwajibkan untuk dibayarkan pajaknya juga menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha industry hiburan. Ketidaksetraan dalam perpajakan ini dikhawatirkan akan mematikan potensi ekonomi di daerah apabila besaran yang diterapkan terlalu tinggi dibanding daerah lain.

Perlu dikaji Ulang

Dalam ranah kebijakan pajak, peran negara dalam menetapkan tarif memiliki implikasi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Isu krusial yang muncul adalah bagaimana menerapkan prinsip keadilan dalam pengenaan pajak, di mana setiap individu diharapkan memberikan kontribusi yang adil sesuai dengan kemampuannya. Diskusi seputar tarif pajak mencakup pemahaman terhadap prinsip kontribusi sebanding, apakah itu dalam bentuk tarif proporsional, progresif, atau regresif.

Teori distributive justice karya John Rawls menekankan pentingnya distribusi kekayaan dan sumber daya secara adil untuk mencapai masyarakat yang lebih adil. Kerangka kerja ini menjadi dasar dalam menilai kebijakan pajak, memastikan bahwa beban pajak tidak merugikan kelompok ekonomi yang lebih rentan. Namun, dalam perjalanan mencapai keadilan, kita harus sejalan dengan teori ekonomi pajak optimal.

Konsep Laffer Curve menjadi relevan dalam konteks ini, menggambarkan keterkaitan antara tingkat pajak dan penerimaan negara. Pengenalan tarif pajak yang terlalu tinggi dapat berisiko merugikan, mengurangi motivasi untuk bekerja dan berinvestasi, serta menciptakan perubahan perilaku ekonomi yang tidak diinginkan.

Terkait tarif pajak hiburan sebesar 40% , perlu dievaluasi Kembali, apakah telah memenuhi prinsip keadilan dan optimalisasi pajak. Tarif sebesar itu dapat memberikan beban ekonomi yang besar, terutama bagi para pelaku industry hiburan di Indonesia. Apalagi di Indonesia, juga dikenakan tarif pajak. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan antara prinsip distribusi keadilan dan teori ekonomi pajak optimal.

Kebijakan tarif pajak hiburan sebesar 40% dapat memiliki dampak negatif pada industri hiburan dan masyarakat pada umumnya. Dalam perspektif teori pajak, evaluasi diperlukan untuk menentukan sejauh mana tarif tersebut sesuai dengan prinsip keadilan dan apakah dapat dianggap sebagai tarif optimal yang mendukung penerimaan negara tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Dengan adanya berbagai penolakan terkait kebijakan ini dari para pelaku usaha di Industri hiburan, diharapkan pemerintah dapat mendengarkan aspirasi mereka dan Kembali mengadakan evaluasi serta kajian ulang dengan melibatkan berbagai pihak terkait agar masalah ini dapat terselesaikan dan tidak berdampak buruk bagi pariwisata dan iklim investasi di Indonesia.

Pemerintah disarankan untuk mengevaluasi ulang kebijakan ini, mempertimbangkan prinsip keadilan dan optimalisasi pajak. Keseimbangan antara distribusi keadilan dan teori ekonomi pajak optimal perlu diperhatikan. Kritik mengenai ketidakpastian besaran pajak dan potensi dampak negatif bagi industri hiburan menegaskan pentingnya perubahan dan kajian ulang dalam kebijakan ini.

Sebagai solusi, disarankan agar pemerintah menurunkan besaran pajak menjadi 5-10%, maksimal 20%, untuk mendukung pertumbuhan sektor hiburan. Hal ini diharapkan dapat mendorong pengusaha untuk mengembangkan bisnis, meningkatkan minat konsumen, dan menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, perlu adanya spesifikasi yang lebih jelas dalam besaran pajak dan cakupan ruang pajak dengan perhitungan yang proporsional. Jika ada penyesuaian pajak, besaran tersebut sebaiknya ditetapkan berdasarkan penghasilan wajib pajak di sektor hiburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun