Dalam mencari keridhaan Allah SWT, menjadi orang baik merupakan suatu amal shaleh yang tidak terbatas pada amalan yang bersifat ritual, tetapi meliputi banyak aspek, seperti mental-emosional, keluarga dan sosial. Menjadi orang baik tersebut selain mendatangkan manfaat bagi pelakukanya, juga secara nyata memberi nilai tambah bagi pihak lain. Karena itu Allah SWT, memberi ganjaran atas mereka yang dengan tulus melakukannnya. Ganjaran Allah SWT tersebut akan diberikan baik ketika hidup di dunia maupun pada kehidupan di akhirat kelak.
Pada QS al-Baqoroh ayat 25:
... وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ
Artinya: "Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ..."
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwasanya dalam meraih keridhaan Allah SWT yaitu surga tidaklah cukup beriman saja tapi kita harus berbuat kebajikan, artinya kita harus menjadi seseorang yang mendatangkan nilai-nilai kebaikan dalam sifat sikap diri kita dan juga bagi orang lain. Maka al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW mengisyaratkaan untuk menjadi orang yang baik dan terbuka nilai-nilai kebaikan itu bisa diraih dengan dua aspek, yaitu:
Aspek Ibadah
Menjadi orang yang baik maka al-Quran memberikan gambaran bahwa itu bisa diraih dengan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, karena itu jika seseorang mencoba meningkatkan ibadah dengan segala jenisnya kepada Allah SWT maka setiap perintah ibadah dalam al-Qur’an selalu diiringi dengan tujuan-tujuan yang mengantarkan seorang hamba itu berubah memiliki sifat-sifat kebaikan.
Saat Allah SWT meminta kepada hambanya untuk menunaikan salat ternyata tujuan salat itu tidak sekedar berfungsi sebagai ibadah, secara bahasa bebasnya Allah sendiri tidak membutuhkan salat seorang hambanya semuka langit dan bumi tidak salat tidak akan pernah menurunkan status Allah SWT sebagai Tuhan.
اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ...
Artinya: “... Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S Al-Ankabut:45)
Dari firman Allah tersebut, kita bisa memahami bahwa shalat bisa berfungsi untuk mencegah ‘para pelakunya’ dari segala perbuatan fahsya’ dan mungkar.
Kata ‘al-fahsyâ` (الفحشاء ) terambil dari akar kata fahusya (فحش ), yang berarti: “melampaui batas dalam (hal) keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan yang keluar dari syahwat/hawa nafsu.” Contoh: berkata jorok, melakukan zinah dan LGBT (Lesbi, Gay, Bigsexsual dan Transgender)
Dan kata (المنكر ) ‘al-munkar’ pada mulanya berarti: “sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui oleh hati.” Contoh: mencuri dan berbohong.
Bahwa Allah memerintahkan untuk salat karena mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu, akan tetapi bila kita masih mengerjakan kedua keburukan tersebut pasti ada yang salah dalam salat kita karena tujuan salat itu ketika ditunaikan diantara faedahnya untuk menjauhkan kita dari perbuatan fahsya dan munkar serta mendorong pribadi kita menjadi lebih baik dalam pandangan Allah SWT.
Maka dari itu apabila kita ingin mendapatkan nilai-nilai kebaikan berubah menjadi orang yang lebih baik, maka petunjuk dari al-Qur’an yaitu dekatkanlah kepada ibadah, karena ibadah menuntun kita kepada kebaikan sehingga kebaikan yang lahir dari proses ibadah itu disebut akhlak.
Aspek Pelajaran
Ada sifat kebaikan-kebaikan yang dapat muncul dalam perilaku manusia yang bersumber dari aspek pelajaran yaitu nilai-nilai kebaikan yang ditempuh dengan proses belajar yang disebut adab. Sehingga munculah istilah pendidikan adab yang bertujuan penanaman sikap yang baik, sifat yang terpuji, adab yang mulia, serta pengokohannya pada diri seseorang.[1]
Bagi seseorang yang telah tertanam adab dalam dirinya akan mampu menahan dirinya dari tindakan-tindakan yang buruk, dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia akan memikirkan terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ia akan menyadari dan mengakui bahwa segala sesuatu di alam ini telah ditata secara harmonis oleh sang pencipta.
Dengan demikian, secara otomatis ia akan mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat pada situasi dan kondisi yang bagaimanapun, sehingga tercerminlah kondisi keadilan. Manusia seperti inilah yang diprediksikan sebagai manusia yang adil, yaitu manusia yang menjalankan adab pada dirinya, sehingga mewujudkan atau menghasilkan manusia yang baik.[2]
Maka dapat disimpulkan nilai-nilai kebaikan atau budi pekerti yang lahir dari proses peribadahan kepada Allah SWT atau dari aspek ibadah disebut dengan akhlak, sedangkan nilai-nilai kebaikan atau budi pekerti yang lahir dari proses pembelajaran atau dari aspek pelajaran itu disebut dengan adab.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita harus mengiringinya dengan akhlak dan adab. Selain menunaikan tanggung jawabnya pada Allah Swt., dan juga memelihara hubungan yang baik dengan orang lain sehingga akan tercipta suatu hubungan yang baik yakni adanya rasa saling menghargai, saling menghormati, dan saling kasih sayang.
[1] Al-Bagdadi dalam Salik Ahmad Ma‘lum, Al-Fikr al-Tarbawi‘Inda al-Hatîb al-Bagdâdi (t.k.: Daral-Hair. 1992), h. 155.
[2] M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan. 1996), h. 56.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H