Mohon tunggu...
Muhammad Nabil Fadhlillah
Muhammad Nabil Fadhlillah Mohon Tunggu... Notaris - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

pemikir yang suka bertahta pada jamban, sembari membaca komposisi shampoo

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengapa Kita Kecewa

14 Oktober 2024   23:16 Diperbarui: 14 Oktober 2024   23:30 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Mengapa Kita Kecewa?

Aku pikir, setelah dikecewakan oleh sahabatku. Aku sudah belajar, cara mengurangi rasa kecewa, sekaligus menanggulanginya. Kenyataannya belum, aku kembali lagi dikecewakan. Aku mulai berusaha membedah, Mengapa aku bisa sekecewa itu?

Kecewa dan masalah, kurang lebih sama rumusnya. Sebuah ekspetasi yang dihancurkan oleh realita. Makanya aku mulai berhenti berekspetasi pada hal yang di luar kendaliku. Berekspetasi dengan orang lain, dan berekspetasi pada masa depan. dua-duanya sama-sama di luar kendali kita, tidak bisa diprediksi, apalagi diatur.

Ekspetasi terhadap orang lain

Seringkali kita meletakan kebahagiaannya pada orang lain. Kita berfantasi pada orang lain, sampai mengharapkan suatu hal yang sebenarnya belum tentu orang lain itu bisa lakukan. Lalu ketika realitanya berbeda, rasa kecewa itu mulai muncul dan menghancurkan kita sehancur hancurnya. Padahal realita itu hanyalah sifat asli mereka selama ini. Namun karena ekspetasi kita berlebihan, sifat asli itu seperti hal yang tabu bagi kita.

Dalam skala yang lebih luas. Kita sering kali berekspetasi pada orang lain, yang bahkan tidak kita kenal. Berharap ojek online datang tepat waktu, berharap tukang cukur paham keinginan kita, dan masih banyak lagi. Padahal sekali lagi, orang lain diluar kendali kita. Manusia itu dinamis, bisa berubah sewaktu-waktu. Dan adakalanya perubahan yang entah baik atau buruk itu, mengecewakan kita.

Ekspetasi terhadap masa depan

Manusia boleh merencanakan, tapi takdir yang menentukan. Barangkali kalimat itu cocok untuk orang yang sering berekspetasi pada masa depan. Merencanakan masa depan, membuat to do list, merancang wacana, bercita-cita, semua itu sah-sah saja. Tapi perlu diingat, kalau semua hal yang kita rencanakan tidak harus terjadi.

Dalam skala kecil, seringkali kita merencanakan liburan yang kedatangannya sudah kita tunggu tunggu. Namun tatkala sudah menginjak hari H, ada saja hal hal tak terduga. Tiba-tiba turun hujan, mobil mogok, tempat tujuan tutup. Semua hal itu di luar kendali kita, dan tidak bisa diprediksi.

Dalam skala yang lebih luas, berapa banyak orang yang bercita-cita begitu tinggi. Lalu dengan semua usaha yang dia lakukan, cita-citanya belum tercapai. Sehingga dia mewariskan cita-citanya pada anaknya dan merebut kebebasan anaknya. Syukur kalau anaknya bisa menggapai cita-cita itu. Bagaimana kalau cita-cita itu menjadi lingkaran setan hingga ke generasi berikutnya?

Bagaimana mengurangi rasa kecewa

Tadi kita sudah tahu, kalau rasa kecewa itu dari ekspetasi yang dipatahkan oleh realita. Dalam buku filosofi teras, Henry Manampiring menjelaskan, salah satu cara menghadapi rasa kecewa adalah berekspetasi sebaliknya. Jika biasanya kita berekspetasi terhadap hal hal yang seru, asik, atau menyenangkan. Maka berekspetasi lah hal hal yang buruk, musibah atau hal buruk yang mungkin terjadi. Jadi setidaknya, jika hal buruk terjadi, kita tidak akan terlalu kecewa.

Mulailah memahami diri sendiri. Sehingga rasa bahagia kita tidak perlu lagi bergantung pada orang lain. Nikmati hal hal kecil yang kita lakukan. Dan beri apresiasi pada diri kita jika berhasil menaklukkan sebuah tantangan. Cobalah untuk melakukan hal sendiri. Jika dulu ke toilet, makan, jajan harus sama teman. Maka cobalah untuk sendiri. Secara perlahan ketergantungan pada orang lain akan berkurang dan rasa kecewa terhadap orang lain akan berkurang.

Coba kita ibaratkan dengan seorang nahkoda yang berlayar sendirian. Dia melakukan navigasi sendirian, memasak untuk diri sendiri, memperbaiki kapal sendiri, membersihkan kabin sendiri, bahkan menaikan dan menurunkan jangkar sendiri. Memang sulit jika dilakukan sendiri, tapi dia jadi paham semua seluk beluk kapal. Jika ada badai yang menerjang, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dan dia tidak perlu mengandalkan orang lain yang bisa saja membuatnya kecewa.

Selain itu berhentilah memikirkan masa depan. Dan mulai lah gapai masa depan itu secara perlahan. Karena banyak sekali orang yang terlampau memikirkan masa depan, sampai merasa sudah ada di masa itu. Padahal realitanya dia tidak kemana mana sebelum melakukan pergerakan.

Ketimbang kita berangan-angan tentang masa depan. Eh, liburan mau kemana ya? Sampai berekspetasi bahwa masa depan itu akan lebih baik dari hari ini. Lebih baik kita kerahkan seluruh kemampuan kita di hari ini. Menikmati setiap helaan nafas kita, dan meromantisasikan seluruh kegiatan kita hari ini. Walau sebenarnya hanyalah repetisi dari hari kemarin. Percayalah bahwa hari ini berbeda dengan kemarin jika kita melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Karena pada dasarnya manusia selalu berkembang di setiap detiknya.

Jika semua hal itu dilakukan, paling tidak rasa kecewa akan hilang atau setidaknya berkurang. Karena kita sudah berani mengandalkan diri sendiri, terlebih mengerahkan seluruh kemampuan kita untuk hari ini. Percayalah, diri kita di masa depan akan berterimakasih pada diri kita di hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun