Mohon tunggu...
Muhammad Alfa
Muhammad Alfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya adalah seorang yang memiliki hobi berolahraga, bersepeda dan menulis berbagai hal yang berhubungan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Terjebak dalam Tuntutan Kesempurnaan

15 Juni 2023   10:26 Diperbarui: 16 Juni 2023   19:59 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

            Dalam kehidupan, kita sering diberi tuntutan oleh orang lain dan harus diterima secara mentah-mentah yang sampai akhirnya secara tidak sadar, kita akan terus mengejar kesempurnaan tersebut tanpa henti dan diangggap sebagai suatu keharusan. Lelah juga rasanya ketika kita terus membandingkan diri kita sama orang lain yang akhirnya kita membuat standard yang sangat tinggi sama diri sendiri, sampai akhirnya kita tidak andil dan terus berlari dalam hidup ini. Perfeksionisme adalah sebuah dialog internal dengan diri kita untuk terus menuntut diri kita ini agar terus menjadi sempurna. Lalu pertanyaannya salah atau benar perfeksionisme dalam diri kita sendiri? sehingga batasan yang membuat kesempurnaan tersebut menjadi suatu hal yang mengganggu sampai akhirnya perfeksionisme tersebut bisa membuat orang mengalami depresi, cemas, stress dan bisa mengarah ke gangguan jiwa.

            Perfeksionisme adalah sebuah tuntutan yang membuat kita terus berdialog sama diri sendiri seolah-olah value yang kita buat harus tinggi dan sama seperti orang lain. Keharusan untuk kita sampai pada kesempurnaan akan terus merasa kepikiran, lelah dan akhirnya membuat kita menjadi tidak berdaya atas diri kita sendiri. Ada tiga jenis Perfeksionisme yang kita ketahui antara lain yang pertama adalah Self Oriented Perfeksionisme. Self Oriented Perfeksionisme adalah salah satu kesempurnaan yang menuntut kita untuk mencapai hal-hal yang tidak realistis, contohnya ketika kita mungkin memiliki sebuah planning dalam diri kita sendiri untuk mengharuskan tahun ini harus punya mobil, sedangkan diri kita sendiri saja masih belum memiliki pekerjaan ataupun penghasilan. Dan hal tersebut rata-rata telah dialami oleh seseorang yang akhirnya mereka membuat standar bagi diri mereka sendiri yang tidak realistis dan tidak mungkin sama kemampuan dan kapasitas diri kita sendiri. Nah kalau sampai perfeksionisme yang kita buat sampai mengganggu hidup sampai menjadi merasa tidak berdaya lagi, sulit melakukan aktivitas, susah tidur, menarik diri dari lingkungan sosial, maka itu dianggap sebagai berlebihan. Yang kedua adalah Socially Prescribed Perfectionisme, jadi perfeksionisme yang ini adalah orang lain yang menuntut kita untuk menjadi sempurna, jadi kita akan mengasosiasikan penerimaan orang lain di lingkungan sosial dan kita seolah kalau tidak mencapai standar yang mereka kasih, kita akan menjadi tidak berhak untuk diterima dan kita akan kewalahan untuk bisa ada di dalam lingkungan tersebut. Menginternialisasi ekspetasi orang lain tanpa melihat kondisi diri sampai akhirnya kita merasa orang lain menuntut, padahal bisa jadi tuntutan dan harapan tersebut adalah hal yang wajar sebenarnya bagi semua orang. Ketiga adalah Other Oriented Perfesionisme yang artinya seseorang yang menuntut orang lain untuk terlihat sempurna secara berlebihan, karena kesempurnaan tersebut dan sampai akhirnya ketika standar perfeksionisme atau ekspetasi tersebut tidak terealisasikan maka akan mudah kecewa dan bisa mengarah hal-hal yang negatif. Contohnya adalah ketika ada seorang wanita yang memiliki ekspetasi ke laki-laki yang harus ganteng, manis, berotot, dan bahkan sampai Act Of Service. Dari ekspetasi tersebut akhirnya pada suatu hari ketika wanita tersebut memiliki pasangan seperti kriteria laki-laki diatas, mereka akan kewalahan sendiri atas ekspetasi yang mereka buat tadi karena wanita tersebut ketika dihadapkan dengan suatu masalah pada laki-lakinya yang ternyata dibalik kesempurnaan tadi ternyata mempunyai kekurangan yang luar biasa juga seperti suka merokok, jorok, tidak bertanggung jawab, malas dan sebagainya. Dan pada akhirnya perempuan tersebut tidak mempunyai lingkungan rumah tangga yang baik, dia merasa lelah sendiri dan bahkan masalah isu-isu rumah tangga mereka bisa mengarah ke depresi, stress, cemas berlebihan dan berbagai masalah psikologi lainnya.

            jadi dapat disimpulkan, kita sebagai manusia sebenarnya wajar untuk menetapkan standar kesempurnaan yang kita buat ke diri kita sendiri atau ke orang lain. Namun, kita harus mempertimbangkan lagi apakah standar tersebut sehat atau tidak bagi kebahagiaan psikologis kita maupun orang lain. Dan disini pentingnya untuk mempunya rasa syukur yang tinggi bagi kita sendiri maupun orang lain. Karena dengan rasa syukur tersebut kita bisa lebih menerima apa adanya mulai dari kelebihan dan kekurangan diri sendiri maupun orang lain.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun