Dalam sebuah ayat, al-Quran pernah menegaskan,
«إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها»
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. Al-Nisa’ 4:58)
Ketika menafsirkan ayat mulia ini, Allamah Thabarsi memaparkan dua pandangan tentang arti amanat:
Arti pertama, seluruh jenis amanat, baik amanat Ilahi maupun non-Ilahi, dan baik amanat harta maupun nonharta.
Arti kedua, amanat kekuasaan yang diserahkan kepada para pemimpin. Dalam arti ini, pemimpin harus melaksanakan seluruh kewajiban dan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh rakyat. (Majmaʻ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, jld. 3, hlm. 98)
Tetapi jelas, kedua arti ini tidak bertentangan, karena arti kedua juga bisa masuk dalam kategori arti pertama. Dengan ini, Islam memandang kekuasaan dan kepemimpinan sebagai sebuah amanat yang harus dipegang dengan benar dan sesuai dengan barometer yang berlaku.
Sebagai sebuah amanat, terdapat dua kewajiban bilateral yang harus diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat:
a. Rakyat harus memperlakukan amanat ini dengan penuh tanggung jawab dan menyerahkannya kepada orang-orang memang layak.
b. Orang-orang yang memang layak harus menerima amanat yang telah diserahkan oleh rakyat ini. Jika tidak, maka perintah tersebut dalam ayat hanyalah sebuah perintah yang sia-sia belaka.
Imam Amirul Mukminin Ali as sepeninggal Rasulullah saw termasuk salah satu figur yang menghayati prinsip ini. Di samping beliau sendiri mengaplikasikan prinsip amanat ini di sepanjang masa berkuasa, beliau juga sering berpesan kepada seluruh penguasa yang beliau tunjuk untuk berkhidmat di sebuah daerah. Dalam sebuah surat kepada Asyʻats bin Qais, gubernur Azarbeijan kala itu, beliau menulis,