Bali, ya inilah tempat yang kaya akan Sumber Daya Alam , alamnya nan indah di mata, sejuk di hati, dan memang pas buat pertemuan ataupun perhelatan akbar untuk menyambut tamu, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Jadi, wajar jika Bali menjadi tempat favorit buat mengadakan pertemuan baik yang dilakukan pemimpin negara/kepala negara maupun kegiatan lainnya.
Pada tanggal 10-11 Oktober 2014 Bali diramaikan dengan kegiatan akbar pertemuan tahunan pemimpin-pemimpin negara yang tergabung di dalam ''Bali Democracy Forum" , yang mana kalau kita pahami BDF adalah forum kerja sama tahunan negara-negara demokrasi di Asia yang diadakan setiap bulan Desember di Bali-Indonesia. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi demokrasi melalui diskusi antar-negara. Pada BDF VII kali ini terdapat 85 negara dan 5 organisasi internasional yang menjadi peserta dalam forum ini. Tetapi apalah daya, forum yang sangat penting ini mendapat penolakan dari berbagai pihak Pro-Demokrasi. Misalkan saja ada 11 dari 14 organisasi masyarakat civil yang di undang untuk menghadiri acara tersebut menolak yaitu LBH Jakarta, Pusat Studi Hukum dan KebijakanIndonesia (PSHK), Kontras, Migrant Care, Indonesia Corruption Watch (ICW), Tranparency International Indonesia (TII), Perludem, Yappika, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Elsam dan Fitra, dan ada juga penolakan dari Bali seperti Koalisi Masyarakat Sipil Bali terdiri dari, Yayasan Manikaya Kauchi, LBH Bali, Yayasan Bintang Ghana, Pena 98, Sloka Institute, ALASE, WALHI Bali, dan Adji Denpasar.
Sebagai warga negara Indonesia tentu kita bangga dengan adanya forum-forum diskusi ini apalagi tujuannnya sangat mulia, tetapi apakah perayaan yang di motori oleh SBY tersebut sudah sejalan dengan keberpihakan kepada Demokrasi yang ada saat ini? Logika sederhananya, jika ada orang yang melakukan perayaan, tentu ada hasil yang memuaskan telah dicapai, sehingga perayaan tersebut menjadi bahagia dan bangga dilakukan. Tentu ini menjadi ironi bagi kita semua, di satu sisi bangga tetapi sisi lain malahan kita dihadapkan dengan beberapa dekade belakangan ini berapa banyak pencederai demokrasi yang dilakukan. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap penguatan Demokrasi bisa dilihat dalam Undang-Undang yang disahkan, Misalkan pada tahun 2013 kita dihadapkan dengan UU 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dinilai membatasi kebebasan sebagaimana yang di jamin UUD NRI 1945, selanjutnya UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD 3) yang dinilai tidak adil (misalkan salah satu poin menyebutkan dihapuskannya ketentuan keterwakilan perempuan) padahal kita tahu, jumlah keterwakilan perempuan di dalam parlemen semakin turun, Â tidak sesuai dengan asas demokrasi, dll. Selanjutnya terakhir disahkannya UU 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan kepada DPRD yang dinilai sangat bertentangan dengan Demokrasi yang dibangun selama ini sehingga UU ini mendapat penolakan dari semua kalangan, maka terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mencabut UU 22 tahun 2014 tersebut. Belum lagi ditambah dengan dinamika Politik pasca Pilpres yang masih bercokol saat ini belum usai cukup heboh dan menjadi tontotan yang menarik (bagi sebagian) dan sungguh memalukan.
Tetapi apapun yang telah terjadi, itulah ironisnya walaupun pahit untuk dikatakan, kita hanya bisa berharap semoga Demokrasi yang digaungkan dan dibanggakan oleh Pak Presiden (pemerintah) kita di dalam Bali Democracy Forum yang sangat mulia tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan. Indonesia membutuhkan kehebatan para pemimpin untuk mengubah dari ketidakberpihakan tersebut dan dengan bangga dengan kibaran tetap di bawah sang Merah Putih.
Salam Demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H