Mohon tunggu...
Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staf Dokter Badan Narkotika Nasional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancaroba Pers Mahasiswa

15 Desember 2016   17:23 Diperbarui: 15 Desember 2016   17:57 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akibat menyalahi waktu tayang pengumuman hasil ujian SBMPTN 2016, SKK Profesi Universitas Negeri Makassar dibekukan oleh Rektor Profesor Husain Syam. Beliau membantah jika tindakan tersebut akibat SKK Profesi seringkali mengkritisi kebijakan rektorat, melainkan murni kesalahan teknis yang berbau komersial, yaitu mengumumkan hasil SBMPTN  8 jam lebih awal(Tribun Timur, 22 Juli 2016). Fenomena ini seakan menyambung kegelisahan wartawan senior S Sinansari Ecip akan peralihan tongkat estafet jurnalisme yang "mencemaskan"  akibat pengaruh perkembangan teknologi dan hilangnya idealisme pada generasi muda pers saat ini (Kompas 10/2/2016). 

Sejak jaman dahulu kala, pers kampus atau yang lebih dikenal dengan sebutan "pers mahasiswa" memiliki warna tersendiri dalam dinamika perkembangan bangsa. Masa sebelum era Orde Baru ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa (Siregar, 1983). Normalisasi NKK/BKK pada tahun 80an  "memaksa" aktivis pers kampus untuk kembali masuk kampus dan mulai memantik "ketergantungan" pada pihak universitas dalam hal finansial dan perizinan. Lesunya kegiatan waktu itu menjadikan wadah nasional Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia(IPMI) pun "mati suri". Walau sekelompok aktivis pers mahasiswa tetap bertahan dengan idealisme mereka, ditandai dengan Deklarasi Batu Raden pada 1988, patutlah masa-masa tersebut dikatakan sebagai masa suram pers mahasiswa.

Titik balik pergerakan pers mahasiswa mulai menemukan resonansinya tatkala mereka membentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia(PPMI) pada tahun 90-an. Dimulailah sebuah bentuk perlawanan baru yang dinamai "jurnalisme struktural", yaitu sebuah idealisme berawal dari meja redaksi kemudian beralih ke pelatihan-pelatihan jurnalistik dan disuarakan secara lantang dalam forum diskusi, mimbar bebas ataupun koran bawah tanah (Didik Supriyanto, 1998). Penulis masih ingat betul ketika bersama aktivis pers kampus lainnya di Universitas Hasanuddin(Unhas) mesti "bergerilya" mendistribusikan majalah stensilan Suara Independen terbitan Aliansi Jurnalis Independen(AJI) yang merupakan produk "haram" di mata pemerintahan kala itu. Perlawanan-perlawanan tersebut menemui kulminasinya pada Gerakan 1998, dimana majalah Time edisi 23 November 1998 menjuluki pers mahasiswa Indonesia sebagai "pendukung tak terduga" yang berperan penting dalam tsunami politik kala itu.

Kini, jaman telah berubah. Kemajuan teknologi informasi menjadikan insan pers mahasiswa leluasa menyebarkan pemikiran-pemikirannya tak hanya lewat media cetak belaka. Saat ini, Hampir tak ada lagi pers mahasiswa yang tak memiliki media online sebagai alternatif penerbitan korannya, minimal berbentuk blog redaksi. Dalam hitungan menit, berita yang ada di edisi cetak dengan gampang langsung terpampang di dunia maya.  Tak ada lagi batasan ruang, waktu serta daya jangkau yang mengkungkungi sebuah media pers mahasiswa.

Namun seperti kata pepatah "tak ada makan siang gratis", nampak ada yang hilang pada pers mahasiswa saat ini. Pers mahasiswa saat ini lebih mengedepankan aspek jurnalisme komersial ketimbang jurnalisme idealistik, mengingat faktor komersialisasi media yang erat kaitannya dengan profesionalisme seorang jurnalis(Pan Mohamad Faiz, 2006).  Tak nampak lagi diskusi-diskusi ringan namun hangat antar staf redaksi , digantikan oleh rapat-rapat redaksi monoton yang melulu membahas topik utama serta bagaimana cara mengisi kolom-kolom opini pada terbitan mendatang. Cepatnya arus informasi via dunia maya mengakibatkan mereka bagai kerbau dicocok hidungnya oleh media massa arus utama. Tak ada lagi yang berani mengangkat topik baru khas kampus sebagai salah satu ciri pers mahasiswa yang mengusung pemberitaan berbeda serta anti kemapanan(adversary journalism).  

Selaiknya pers mahasiswa kembali pada khittahnya, kembali pada ideologi awal sebagai media alternatif yang proaktif dalam usaha-usaha membangun masyarakat sipil madani, yaitu mencerdaskan bangsa, membangun demokrasi dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak(poin 3 Kode Etik PPMI). Hal ini bukan hal yang mudah mengingat sebagian besar pers mahasiswa masih belum mandiri dan mempunyai ketergantungan kental terhadap pihak universitasnya. Padahal 3 syarat kunci terbentuknya masyarakat sipil madani adalah adanya kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan(Soenarto, 2000).  Tumbuhnya media berbasis ruang maya(online) dapat dijadikan alternatif solusi mengingat media tersebut lebih murah, lebih mudah membuatnya , serta memiliki daya jangkau yang lebih luas di era digital saat ini.

Kedua, pers mahasiswa harus lebih "membumi" dalam pemberitaan yang ditulisnya. Sah-sah saja menulis tentang opini nasional yang tengah ramai diperbincangkan khalayak, namun sebaiknya informasi tersebut ditulis dengan sudut pandang khas komunitas mahasiswa yang lugas, mungkin sedikit vulgar namun tetap tak meninggalkan sisi akademiknya. Ini sejalan dengan konsep "press community" yang menekankan pers alternatif dikelola oleh mahasiswa dan untuk memenuhi kebutuhan spesifik komunitasnya.

Kasus SKK Profesi di atas menjadi pelajaran berharga akan pentingnya sepotong idealisme di tengah gempuran arus komersialisasi. Semestinya idealisme dan komersialisasi berjalan seimbang dan saling mengontrol satu sama lain. Karena seperti dikatakan penggiat pers M Shoelhi dalam bukunya Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik(2009), pers yang mengutamakan komersial tanpa idealisme hanyalah menjadi budak perusahaan media. Namun sebaliknya, pers yang hanya bertumpu pada idealisme tanpa komersialisasi hanyalah ilusi semata..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun