Mohon tunggu...
Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staf Dokter Badan Narkotika Nasional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Cerita Tentang Jamkesda

21 November 2014   18:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang profesor memandangi kumpulan mahasiswa dihadapannya seraya berujar, “Pondasi utama sistem pasar bebas adalah bagaimana menghasilkan efisiensi melalui pertukaran barang dan jasa secara sukarela. Ketika beberapa individu berinteraksi dalam suatu pasar untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, maka timbullah distribusi timbal balik antar mereka yang dalam bahasa John Smith, Bapak Ekonomi Modern, disebut sebagai “tangan yang tak terlihat”.

Sang Ayah mendekap erat bocah berusia 3 tahun yang lunglai tak berdaya, berselimutkan sarung kumal. Tangannya yang kurus keriput sigap mendekatkan air mineral ke mulut putranya yang kering. Seraya memperbaiki posisi duduknya di atas bentor* , ia tepekur diam merenungi ucapan dokter jaga UGD Rumah Sakit Pemerintah terbesar di kawasan timur Indonesia yang baru saja menolak untuk merawat anaknya. “Maaf, Pak. Kami tak punya tempat untuk merawat anak Bapak. Semuanya penuh. Bapak ke rumah sakit lain saja”

“Ketika para pelaku pasar mulai bertukar barang dan jasa, tiap-tiap mereka akan mendapatkan keuntungan , atau yang dalam bahasa kita disebut sebagai “output” , tanpa meningkatkan beban “input” atau “cost”pada pasar tersebut. Syarat pertukaran tersebut mesti memenuhi prinsip-prinsip ekonomi. Inilah saudara-saudara yang disebut definisi klasik efisiensi pasar.

Sebaliknya, tiap-tiap transaksi gratis yang terjadi , semisal suatu pihak dipaksa memberikan secara gratis barang dan jasa kepada pihak lain namun minim menerima imbal balik , secara keseluruhan akan meningkatkan beban “input” namun mengurangi output masing-masing pelaku pasar. Sudah merupakan fakta universal jika suatu tindak pasar yang tak mengindahkan prinsip kesukarelaan akan menimbulkanketidakpuasan para pelaku , karena berkurangnya kepuasan intrinsik yang diterimanya. Ini berbahaya. Ada yang tahu kenapa ?

Sang Ayah terhenyak. Ini Rumah Sakit ketiga yang menolaknya. Alasan yang sama : tak ada tempat. Padahal inilah tempat terakhir yang menerima kartu Jamkesda lusuh yang digenggamnya. “Kita ke rumah sakit swasta saja. Urusan biaya belakangan”, tukasnya seraya menarik lengan baju perempuan lelah yang sedari tadi mematung disampingnya, masuk ke dalam bentor.

Tak sabar menunggu jawaban mahasiswanya, Sang Profesor pun melanjutkan , “Saudara-saudara masih ingat kata ekonom Milton Friedman pada kuliah minggu lalu? Tak ada makan siang yang gratis. Memaksa pelaku pasar untuk menjual produknya di bawah nilai keekonomian , bahkan gratis, akan memaksa yang bersangkutan mencari celah finansial untuk menutupi kerugian modal yang dideritanya. Itu bisa berupa mengurangi kualitas produk , mempersempit akses konsumen dan bahkan bisa saja menolak untuk menjual produk atau jasa yang dihasilkannya… “

Aneh. Pundak istrinya terguncang-guncang seperti menahan tangis. Padahal jalan mulus tanpa gelombang membentang lurus selepas jalan layang kilo empat tadi. Ia tersentak, tiba-tiba ingat bocah kesayangannya tak merengek sejak tadi. Sekuat tenaga diinjaknya pedal rem hingga mendecit rapuh, lalu lari memutari bentornya. Tangannya gemetar menyentuh pipi dingin jasad mungil yang tak bergerak-gerak lagi. Ratap tangis mereka berdua memecah langit dini hari kota Makassar..

Sang Profesor meraih Koran lokal kesukaannya, ritual pagi yang telah dilakukannya bertahun-tahun. Alisnya mengernyit membaca berita utama tentang seorang balita yang wafat di atas bentor ayahnya, akibat ditolak tiga rumah sakit pemerintah. “sia-sia.. sia-sia.. “ gumamnya sambil menghela napas.

Diletakkannya Koran tersebut sembari meraih proposal proyek uji kelaikan sebuah rantai rumah sakit swasta yang ingin berinvestasi di kotanya. Honornya lumayan walau cuma sebagai konsultan belaka. Pikirannya segera tercurah pada kalimat-kalimat panjang di dokumen tersebut. Ia tak terusik sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun