Mohon tunggu...
Muhammad Arif Rahman
Muhammad Arif Rahman Mohon Tunggu... -

I am a freeman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konflik Rwanda, Hutu-Tutsis

2 Desember 2010   23:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:05 7053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Film ini menceritakan tentang konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda dan berakhir dengan tindakan etnosida. Konflik ini terjadi pada tahun 1994 dan merupakan salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia. Di tengah konflik yang terjadi antara kelompok Tutsi dan Hutu, Paul Rusesabagina (yang diperankan oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel yang memiliki keberanian, mampu menyelamatkan lebih dari 1200 pengungsi dari pembantaian.

Seperti biasa Paul menjalankan rutinitasnya sebagai manajer salah satu hotel terbaik di Rwanda, Hotel Des Miles Colines yang dihuni banyak warga asing. Mulai dari belanja keperluan hotel, mendatangi suplier, pejabat, hingga menyapa para tamu. Pada saat yang sama, televisi memberitakan adanya upaya perdamaian yang diprakarsai oleh PBB, antara pemerintah yang diwakili Presiden Habyarimana yang berasal dari suku Hutu dan pimpinan pemberontak dari suku Tutsi. Upaya ini mulai membuahkan hasil saat presiden dan pimpinan pemberontak sepakat untuk melakukan gencatan bersenjata dan menandatangani perjanjian damai. Namun, belum lagi perjanjian damai ditandatangani, sang presiden terbunuh dan dikabarkan pembunuh adalah pemberontak Tutsi.

Peristiwa ini langsung berdampak pada setiap orang yang tinggal di Rwanda. Tak terkecuali, pada Paul Rusesabagina yang asli Hutu dan memiliki istri dari suku Tutsi. Ia tidak menyukai politik balas dendam yang dilakukan kelompok Hutu lewat kaum milisinya yang bernama interhamwe terhadap seluruh warga Rwanda yang berasal dari suku Tutsi. Setelah terbunuhnya presiden Habyarimana kelompok Hutu pun memberontak dan merencanakan genosida atas kelompok Tutsi. Saat itu kota Rwanda benar-benar mencekam, semua orang yang memegang KTP Tutsi akan langsung disiksa, diperkosa, dan berakhir dengan kematian. Keadaan tersebut membuat Rwanda mengalami kondisi siaga satu. Turis asing yang sedang berada di Rwanda dan warga yang berasal dari suku Tutsi sangat ketakutan.

Kondisi ini membuat Paul Rusesabagina resah. Dengan berbagai cara, ia segera mengungsikan keluarga dan tetangganya baik yang berasal dari Hutu maupun Tutsi ke Hotel Des Miles Colines miliknya. Bahkan, tak lama kemudian tak hanya keluarga dan tetangga yang berada di hotel ini, tapi juga ratusan warga lain yang mengungsi ke hotel tersebut karena mereka menganggap tak ada lagi tempat yang aman. Di sela-sela upaya menampung pengungsi, Paul Rusesabagina yang mendapat mandat dari sang pemilik untuk menjaga hotel masih memperhatikan bahwasanya Hotel Des Miles Colines tetap merupakan sebuah hotel berkelas. Artinya, pelayanan kelas hotel diberikan semaksimal mungkin dan dia tak ragu menarik tagihan untuk warga mampu yang mengungsi.

Setelah kolonel Oliver (yang diperankan oleh Nick Nolte) yang berasal dari pasukan PBB dan beberapa anak buahnya ditempatkan di perbatasan Rwanda, Paul Rusesabagina meminta jenderal aparat keamanan Rwanda Augustin Bizimungo (yang diperankan oleh Fana Mokoena) untuk menempatkan aparatnya melindungi hotel miliknya. Namun jenderal Bizimungo hanya akan melakukan hal tersebut jika diberi imbalan wisky dan minuman keras lainnya.

1. Penyebab Timbulnya Konflik

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15; Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.

Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.

Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke 2 suku ini.

Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, ke iri hatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “LETS CUT THE TALL TREES!!” mereka memulai pembantaian itu.

Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal KTP warga negara Rwandayang dimana di KTP tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun