Baik bagi kesehatan perempuan, menurut dia, adalah jika hal itu dilakukan
dengan hanya mengambil sedikit bagian dari alat kewanitaan yang nantinya
tidak menimbulkan luka secara reproduksi ataupun gangguan seksual.
Aktivis perempuan yang juga istri Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar
itu berkeyakinan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari budaya yang
sudah berlangsung lama. Sejumlah negara seperti juga Indonesia masih
melakukannya karena hal tersebut diajarkan dalam hadist dan Al-Quran.
Di Indonesia, pelaksanaan sunat untuk perempuan, dilakukan secara simbolis
tanpa menyakiti fisik perempuan bersangkutan. Misalnya, sepotong kunyit
diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak.
Namun, tak sedikit yang melukai alat kelamin bagian dalam dengan memakai
pisau, gunting, dan jarum jahit. Bahkan, di daerah tertentu di luar Jawa,
ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu
klitoris anak.
Praktik di Indonesia
Berdasarkan sejumlah penelitian, praktik sunat perempuan di Indonesia
dilakukan sejumlah keluarga Jawa di daerah Madura dan Yogyakarta. Selain
itu, praktik ini dilakukan pula di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Sumatera,
dan Sulawesi.
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan pada 20 Mei 2006 telah mengeluarkan
surat edaran tentang larangan medikalisasi bagi petugas kesehatan.
Medikalisasi adalah tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
"Pola imbauan pertama kita tujukan dulu kepada organisasi profesi sebagai
provider kesehatan agar memberikan sosialisasi larangan aktivitas medis
sunat perempuan yang berbahaya kepada para anggotanya seperti para bidan,
dokter, maupun perawat," kata Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak Depkes,
Sri Hermianti.
Sejumlah organisasi yang dimaksud adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) yang
berkaitan langsung dengan kegiatan medis sunat terhadap perempuan.
Tindakan sunat perempuan yang berbahaya tersebut menurut Depkes berupa
sayatan, goresan, ataupun pemotongan, baik insisi maupun eksisi. Insisi
adalah melakukan perlukaan tanpa adanya jaringan yang lepas. Sedangkan
eksisi merupakan tindakan perlukaan dengan adanya jaringan yang terlepas.
Imbauan ini berangkat dari hasil penelitian beberapa LSM Perempuan Indonesia
dan Internasional yang mendapatkan rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia
(WHO). Penelitian diadakan selama tiga tahun di beberapa daerah di
Indonesia, seperti Padang, Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara,
Gorontalo, Makasar, Bone, dan Maluku.