Mohon tunggu...
Muhammad Andrie Bagia
Muhammad Andrie Bagia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

email: m.andriebagia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Alasan Mau Mengajar Tanpa Digaji

2 Juni 2012   11:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang saya tidak mengerti mengapa masih bertahan untuk mengajar di Pondok ini. Saya seorang guru pondok pesantren di Jawa Timur. Setelah lulus dari pondok kemudian memilih untuk mengajar anak-anak di almamater saya sebari kuliah di universitas yang ada di kota tersebut. Sudah 3 tahun saya disini. Tapi saya merasa betah. Walaupun tidak ada niatan untuk selamanya tinggal disini. Hanya saja saya bertekad untuk bisa membantu orang-orang di sekitar saya semaksimal mungkin.

Saya sudah lupa alasan jelas kenapa bisa memilih tinggal di sini. Sementara kawan-kawan saya mulai rontok berguguran melanjutkan hidupnya masing-masing. Tinggal tersisa beberapa orang saja dari angkatan saya. Hingga suatu hari saya temukan sebuah buku diari seorang anak kelas akhir di pondok saya. Kubuka buku itu, kutemukan sebuah catatan yang langsung mengingatkan saya kenapa saya mau menjadi salah seorang guru di pondok yang tidak memberikan gaji ini. Berikut catatan santri itu, tanpa ada penambahan apapun, beberapa kata di-bold dengan keterangannya di bawah.

Di kelas enam ini, aku menemukan arti sebuah perjangan, sebuah pengorbanan, dengan tanpa pamrih. Pondokku adalah pondok internasional. Pondok dengan  bayarannya yang termasuk murah. Dan juga pondok dengan seluruh gurunya yang mengabdi, mengajar, mencurahkan segalanya untuk kemajuan Islam, untuk masa depan santrinya sebagai pejuang pembela kalimat Allah. Mereka semua berjuang, mengabdi, tanpa batas, dengan tanpa digaji.

Jumlah pengajar putra di pondok ini sekitar seratus orang. Berasal dari berbagai kalangan; petani, pedagang, guru, PNS dll. Semuanya rela menyisihkan wkatu, tenaga dan pikirannya untuk memajukan pendidikan di pondok ini, dengan tanpa gaji.

Di kelas enam ini, kujumpai guru-guru yang luar biasa semangat mereka mendidik murid-muridnya, rela berhujan-hujanan dengan motor yang blong remnya. Sekedar untuk mengajari kami matematika selama 2 jam.

Ada juga guru bahasa Indonesia dengan latar belakang bukan pondok tapi karena baktinya yang sangat besar kepada orangtuanya sehingga mau mengabdi mengajarkan ilmunya di pondok ini tanpa upah sepeserpun. Yang kadang datang dengan motor setelah berhujan-hujan di jalanan kemudian menemukan sntrinya terantuk-antuk dan tertidur ketika guru ini menerangkan pelajarannya.

Aku tidak pernah menemukan berbagai macam manusia yang bisa tersatukan ideologinya untuk melakukan suatu hal yang dipandang sia-sia bagi masyarakat umumnya sekarang. Hebat, hanya untuk satu tujuan, bukan untuk mencari materil, bukan pula popularitas bahkan prestise tertentu. Tidak, bukan pula untuk kepentingan pondok itu sendiri atau bahkan untuk kepentingan kyainya. Semuanya hanya satu, hanya untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini.... Allahu Akbar!!!

Internasional bukanlah berarti taraf Internasional seperti yang kita temukan di sekolah-sekolah umum. Yang kini menjadi polemik di kalangan masyarakat. Maksudnya pondok ini didirikan dengan rencanan dan usaha menggapai dunia untuk memperluas persaudaraan, kerjasama, sesuai misi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk semua manusia. Singkatnya, pondok ini didirikan agar menjadi rahmat di seluruh alam (rahmatan lil’alamin) sebagaimana agama Islam itu sendiri.

Tidak digaji: yang pro tentu saja akan terheran-heran ternyata masih ada sekolah yang mengelola ratusan santri (seribu dengan gurunya) dan gurunya rela tidak digaji. Yang kontra tentu saja akan mencibir ini. “Kok mau-maunya ngajar di tempat yang ga’ada penghargaan (dalam bentuk uang) sama sekali”. Atau mungkin juga “Kok tega bener ni pondok, guru-guru ini sudah kerja keras mengajar, bukan hanya di kelas, tapi 24 jam memantau  perkembangan murid-murid mereka di lingkungan pondok, tapi ga’ mau ngasih gaji!” dan sebagainya. Bagaimana menyikapinya? Pasti akan selalu ada pro dan kontra, negatif dan positif. Tapi kita tahu hidup penuh dengan sikap negatif hanya menyengsarakan diri. Kita lihat positifnya.

Faktanya Pondok saya yang termasuk salah satu pondok modern di Jawa Timur ini tidak pernah memaksa siapapun untuk menghabiskan waktunya mengajar disana. Semua guru yang diceritakan di atas benar-benar rela dan ikhlas ingin mengajar di sana. Mereka tidak ada yang digaji. Mungkin ada tunjangan dan insentif, tapi ala kadarnya tidak bisa menunjang kebutuhan pokok hidup keluarganya. Memang ada istilah masa pengabdian bagi siswa yang telah lulus. Tapi itu hanya bagi siswa yang terpilih dengan durasi waktu 1 tahun. Dan itulah anehnya. Mereka dengan senang hati mengajar di sini. Dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda. Rata-rata mereka mempunyai 2 pekerjaan. Petani, Wirausahawan, Pedagang, PNS, Guru sekolah umum, Penerjemah dan lainnya. Pembahasan lebih rinci ada di blog yang saya tulis. Untuk di sini, mungkin artikel selanjutnya.

Rasa-rasanya, saya seperti menemukan sebuah oase di tengah padang pasir kehidupan yang matrealistis ini. Berkumpul bersama orang-orang yang tidak galau dengan kehidupan duniawi. Hanya fokus menyebar manfaat kepada orang lain sebanyak-banyaknya. Mereka merasakan ketenangan dan kecukupan dalam kehidupan mereka. Mereka bukanlah orang-orang kaya. Tapi mereka selalu bersyukur dengan apa yang ada. Mungkin ini berkah dari mengajar dengan ikhlas. Dan bukankah ini yang kita cari?

Bagaimana dengan saya? Jangan samakan dengan mereka. Saya masih kuliah, masih dibiayai oleh orangtua. Maka sangat berbeda. Saya pun ingin seperti mereka. Atau teman-teman saya yang memilih untuk mandiri membuka usaha ekonomi, menikah di sana dan tetap mengajar di pondok itu. Saya hanya berdoa kepada Tuhan agar memberikan yang terbaik bagi saya. Amin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun