Belakangan ini banyak sekali pengamen dan pengemis bermunculan di jalan raya. Tidak hanya manusia silver dan ondel-ondel saja yang tiba-tiba menjamur di seluruh penjuru kota, para badut yang tidak seperti badut-badut amat bahkan juga tidak melucu, turut mengambil bagian. Pasti ada alasan mengapa mereka bermunculan. Tentunya memberikan gambaran bahwa keadaan manusia di negeri ini sedang tidak baik-baik saja.Â
Umumnya orang meminta-minta adalah menjual kesedihan, kemelaratan, ketidakberdayaan, dan kemalangan yang lain. Mereka menadah, meminta belas kasihan dari para pejalan kaki yang hilir mudik kesana-kemari. Tubuh atau pancaindra mereka yang tidak lengkap menjadi harga jual untuk mendapatkan belas kasihan.
Orang-orang baik memberikan mereka recehan, sesekali ada pula yang memberi makan. Mungkin mereka tahu aktivitas semacam itu telah menghinakan dirinya. Akan tetapi bagi mereka tidak ada jalan lain untuk mencari sesuap nasi, selain harus meminta.
Para budayawan tidak perlu gusar lantaran produk-produk budaya banyak digunakan untuk mencari recehan oleh mereka yang terpinggirkan. Mereka yang mengaku budayawan dapat menganalisis kejadian ini bukan sebagai penyalahgunaan produk budaya, akan tetapi sebagai bentuk adanya kesenjangan sosial.
Sekali waktu budayawan juga perlu bernalar menyimpang, tidak lurus-lurus seperti yang kebanyakan. Sekali waktu melakukan studi dengan orang-orang yang terpinggirkan. Ajak mereka diskusi, dan tawari mereka kopi. Karena jalanan hari ini menggambarkan banyak hal. Maka belajarlah dari setiap perjalanan.
Seperti perjalanan yang akan diceritakan melalui tulisan ini. Di suatu lampu merah di jalanan Jakarta, seorang anak tengah bersabar duduk memperhatikan setiap kendaraan yang melintas. Di tangannya terlihat sebuah buku kecil dalam jumlah yang banyak.
Buku-buku itu diikat dengan karet gelang, memunculkan kemisteriusan tersendiri bagi siapa pun yang melihatnya. Kenapa sebuah buku ada di tangan bocah gelandangan? Kenapa Ia tidak membacanya? Mungkin saja Ia menjualnya?Â
Bocah itu nampak khatam dengan kondisi jalan. Sesekali Ia melirik ke nyalanya lampu untuk memastikan kapan Ia harus bergerak. Saat lampu hijau berubah menjadi merah, saat itu juga Ia mulai membagikan sebuah buku kecil yang misterius itu kepada para pengendara. Tidak ada satu pengendara yang luput oleh bocah itu. Betul, Ia memang menjual sebuah buku. Dan pastinya buku itu sangat berharga. Sebab kalau tidak, mana mungkin ada orang yang mau menjualnya.
Benar saja, buku yang misterius bagi siapa pun yang melihatnya kini tidak misterius lagi. Buku kumpulan doa salat, dan berbagai doa-doa yang lain itu seharga sepuluh ribu rupiah. Seketika yang misterius tadi tampak biasa-biasa saja, seolah-olah semua orang tidak membutuhkannya. Anda mungkin tidak tercengang melihat kejadian itu.
Mungkin bagi Anda aktivitas jual beli buku semacam itu adalah hal yang biasa dan wajar. Tapi kenyataannya adalah Anda tidak mendapatkan keresahan mana kala sebuah buku kumpulan doa-doa datang. Bukannya gelisah Anda justru malah mengabaikannya.Â