Barang kali kita tidak merasa resah dengan buku kumpulan doa-doa itu. Hal yang menjadi kerasan bagi kita adalah bagaimana kemunculan bocah kecil penjual buku kumpul doa. Mungkin muncul iba di dalam diri kita, mengapa anak sekecil itu berkelahi dengan waktu? Seperti lagu Iwan Fals, Kemana bapaknya? Kenapa Ia harus mencari uang?Â
Apakah dia yatim dan miskin? Padahal apa yang kita pikiran soal bocah itu tidaklah membantu. Karena kita tidak memiliki kegelisahan untuk mempersiapkan diri kita sebelum bertemu Tuhan. Bisa jadi, Tuhan mengutus seorang bocah untuk mengingatkan kita.
Akan tetapi kegelisahan itu tidak muncul. Kita lantas membeli buku tersebut untuk memper mudah belajar menghafal doa melalui sebuah buku kecil sebelum menemui Tuhan.Â
Sayangnya hampir semua orang di jalan raya itu menolak tawaran baik Si Bocah penjual buku kumpulan doa. Bahkan hampir semua orang tidak membeli buku itu. Padahal Ia jauh lebih mulia dari pada seorang pengemis, bahkan juah lebih terpuji dari seorang pengamen.Â
Ya meskipun kita tahu apa yang mendasari bocah itu untuk menjual buku. Ia memang membutuhkan uang untuk membeli sesuap nasi. Tapi Ia tidak menjual kemalangan dan kesedihan. Malahan justru sebaliknya. Ia mendapati banyak orang-orang malang yang tidak memiliki kegelisahan untuk mempersiapkan diri sebelum bertemu Tuhan.
Rasanya orang lebih gelisah dan resah jika tagihan belum dibayar sampai pertengahan bulan. Mungkin pula kita gelisah dan resah ketika mendapati orang terkasih sedang marah. Atau contoh lain, kita mungkin saja gelisah jika ada suatu benda yang tiba-tiba menghilang.Â
Kita sibuk mencari benda itu, dan seisi kepala kita diliputi kegelisahan. Sementara itu kita tidak pernah bersujud atas dasar kegelisahan. Kita tidak pernah tiba-tiba gelisah karena ingin menghadap Tuhan.
Saat azan menggemakan suara takbir, pernahkah kita gelisah mana kala waktu tidak mengizinkan kita untuk bernapas lebih panjang, dan bersujud menghadap Sang Maha Keniscayaan, zat yang memberikan manusia sifat kegelisahan itu sendiri?
Jalanan kita hari ini memang telah banyak rupanya. Mereka yang hidup di jalan raya bisa jadi jauh lebih beruntung dari pada kita yang tidak pernah menggantungkan nasib dari belas kasihan hilir mudik manusia.
Mungkin sekali waktu mereka jauh lebih dekat dengan Tuhan dari pada kita yang hidup mapan. Biarpun alasan mereka menghadap Tuhan didasari oleh kegelisahan ekonomi.
Sekali waktu lainnya mereka pasti menyadari bahwa Tuhan memberikan keniscayaan-Nya. Melalu rasa bersyukur mereka yang jauh lebih besar dari pada kita yang hidup mapan.