Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Misi Pembangunan dan Patung Seni di Jalan Raya

5 September 2024   09:46 Diperbarui: 5 September 2024   15:06 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin dahulu suwaktu masih kecil tatkala hendak pergi ke luar kota untuk menemui nenek di kampung halaman. Kendaraan yang kita naiki awalnya melaju dengan cukup cepat, namun kemudian melambat sesaat setelah sesuatu yang besar di jalan raya mulai terlihat. Sesuatu yang besar itu menarik perhatian sopir, dan para penumpang, namun tidak sampai membuat sopir lalai karena terlalu kidmat memandanginya. 

Dengan wajah lugu kala itu, kita meminta ayah kita untuk menggeser kaca. Seketika kepala kita keluar menatap penampakan yang megah nan indah itu. Mungkin seperti itulah kejadian di mana kita pertama kali melihat patung seni berukuran raksasa. Patung seni yang menjadi kebangga setiap warganya.

Kita kerap mengenal sebuah wilayah, daerah, atau kota melalui patung seni yang ikonik. Patung-patung ikonik ini biasanya berada di sebuah jalan raya. Ia biasanya dibuat di bunderan jalan, perempatan, atau simpang jalan. Sehingga mudah dilihat oleh siapa saja, dan memberikan kesan takjub bagi yang melihatnya. 

Patung-patung ikonik ini memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawaan. Biasanya mereka sengaja mengambil foto di dekat patung-patung ini, tujuannya untuk menunjukan bahwa Ia pernah singgah atau pernah mengunjungi tempat ini.

Selain memberikan warna tersendiri bagi suatu daerah, bangunan artistik semacam "Sura dan Baya" di Surabaya, Patung "Selamat Datang" di Bunderan HI Jakarta, atau "Tugu Poci" di Slawi Tegal menjadi landmark untuk kota tersebut. Masing-masing dari landmark ini memiliki kisah tersendiri di baliknya, namun ada juga yang hanya sebatas menggambarkan seperti apa penduduk di wilayah tersebut.

Jika kita membahas soal landmark atau bangunan petunjuk wilayah, sebenarnya tidak hanya soal patung seni yang ikonik. Ada pula bangunan lain selain itu, namun dalam tulisan ini tidak membahas selain patung. Karena karya seni tiga dimensi ini tentunya memiliki hal yang berbeda dengan bangunan seperti Jam Gadang di Bukit Tinggi, atau Gedung Sate di Bandung. Patung dan jalan raya, adalah kombinasi yang pas untuk mencairkan suasana panas, macet, sumpek, ruwet, dan segala masalah di jalan raya yang tidak dapat di atasi oleh pemimpinnya.

Landmark dengan bentuk patung dapat memberikan keuntungan bagi wilayah itu sendiri. Namun untuk membuatnya diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sementara biaya-biaya itu diambil dari pajak, dan mungkin pula dari anggaran yang seharusnya diterima oleh rakyat kecil. 

Namun jika yang ditawarkan adalah sebuah peningkatan mutu, dan demi menciptakan daya tarik wisatawan untuk meningkatkan perekonomian kota, maka sudah barang tentu anggaran sebesar apapun diloloskan saja. Yang padahal kita mengenal Surabaya bukan dari patung "Sura dan Baya", kita mengenal Jakarta bukan dari "Tugu Pancoran", atau kita mengenal Lampung bukan dari "Tugu Adhipura", karena barang kali kita mengenal semua kota-kota itu dari narasi dan cerita.

Berbeda dengan kota-kota besar lainnya, Tugu Blimbing di Depok mungkin menjadi salah satu landmark yang tidak terlalu mendapatkan perhatian. Tidak hanya kurang mendapatkan perhatian, secara konsep yang diusung pun sangat jauh dengan realitasnya. Belimbing merupakan salah satu buah yang tumbuh subur di kota Depok. 

Dahlih ingin membuat wilayah Pasir Putih sebagai tempat konservasi sekaligus destinasi edukasi wisata, tempat ini malah terlihat sepi dan tampak biasa-biasa saja. Seperti daerah lain di Depok yang kebun dan ladangnya mulai dibangun kontrakan atau kos-kosan.

Jauh sebelum penulis datang ke sana. Narasi di media-media, menyebutkan bahwa Depok punya tempat konservasi tanaman khas. Yang konon katanya dapat mengangkat destinasi wisata, dan perekonomian di kota ini. Namun kenyataanya, Tugu Belimbing yang tidak besar-besar amat itu tidak lantas membuat penulis takjim, lantaran kondisi di dalamnya berbeda dari narasi yang ada. 

Padahal kita mengenal Depok bukan dari belimbing, juga bukan dari tugunya yang kurang terkenal itu. Jauh sebelum cerita pocong keliling, kolor ijo, dan keranda terbang berkeliaran di kota tersebut, Depok telah menjelma narasi yang mungkin disampaikan di radio, televisi, dan di depan kelas oleh seorang guru. Jadi apalah arti landmark patung seni, tanpa adanya narasi.

Lagi-lagi jalan raya dan kekuatan narasi yang menjadikan apa-apa yang ada di dalamnya terlihat megah, menakjubkan, luar biasa, dan semua persepsi kekaguman itu. Namun jalan raya dan lankmark-nya adalah suatu konsep infrastruktur kontenporer yang menggambarkan pemikiran modern suatu wilayah agar memberikan efek positif untuk berbagai aspek, seperti kultur, literatur, histori, religi, dan tidak terkecuali aspek perekonomian daerah.

Akan tetapi landmark berbentuk patung seni, jelas berbeda dengan landmark jenis lainnya. Dengan membuat patung sebesar itu dibutuhkan seorang seniman yang mempuni. Mungkin proyek semacam ini tidak hanya membutuhkan seorang seniman patung, tetapi juga membutuhkan seorang insinyur yang paham dengan jenis-jenis bahan matrial untuk membuat sebuah bangunan. 

Dengan kata lain, landmark patung adalah sebuah kolaburasi dari beberapa jenis bidang yang berbeda. Akan tetapi bisa juga anggapan ini menjadi sangat kuat, meskipun ternyata patung tersebut hanya dibuat oleh satu orang insinyur saja tanpa melibatkan pandangan seniman. Karena peran-peran dalam hal yang lain ikut membangun sebuah patung seni agar menjadi landmark yang banyak dikenal orang. 

Seperti kondisi jalan yang masif, cerita di balik landmark patung tersebut, dan gosip yang disebar luaskan dari mulut ke mulut. Hingga sampai saat ini melalui kekuatan narasi, patung menjadi pemandangan seni yang mudah, dan gratis.

Atau kita bisa membalikkan argumentasi pada paragraf di atas menjadi seperti ini. Bahwa landmark patung seperti yang selama ini kita kenal adalah salah satu apa yang disebut sebagai misi pembangunan. Ibarat mencari laron di bawah sinar temaram lampu bohlam, dengan membangun landmark patung seni berarti pula membangun banyak hal. 

Salah satunya mengangkat kembali kisah-kisah yang terlupakan oleh kebanyakan orang, seperti kisah "Sura dan Baya" sehingga memungkinkan adanya pemantik bagi penikmatnya supaya kembali milirik kisah-kisah yang pernah ada. 

Ups, yang jelas bukan kisah soal mantan tentunya. Seperti yang kebanyakkan dibahas oleh anak muda di sosial media. Inilah kekuatan jalan yang dapat berkolaborasi dengan seni, sehingga menjadi hiburan yang gratis, dan mengedukasi siapa saja yang tertarik padanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun