Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banyak Polisi Tidur di Jalan Raya, Tandanya Kita Tidak Baik-Baik Saja

30 Agustus 2024   06:43 Diperbarui: 30 Agustus 2024   06:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa banyak polisi tidur di jalan?

Apakah polisi tidur membawa manfaat ataukah sebaliknya?

Kenapa polisi tidur dianggap dapat mengontrol prilaku masyarakat?

Memangnya siapa yang berdaulat saat jalanan di penuhi kendaraan cepat?

Masyarakat kita dan segala tipu daya jalanan raya sampai saat Ini memiliki beragam cerita. Salah satunya adalah upaya masyarakat kita dalam mengontrol orang lain di jalan. Suatu hari ada sebuah cerita naas yang menimpa pedagang tukang somay. Bukanlah gara-gara ada polisi tidur, barang dagangan tukang somay tumpah ruah ke jalanan.

Awalnya tukang somay yang menjajahkan barang dayanganya dengan sepeda motor itu, ingin berhenti di depan salah satu sekolah dasar. Eh, kebetulan di depan gerbang gedung sekolah itu terdapat sebuah poldur. Kejadian naas Itu tiba ketika salah seorang bocah berteriak dari balik gerbang "Abang!" teriaknya kecang. Tukang somay kemudian gagal fokus, di depanya polisi tidur menggoyangkan sepeda motornya hingga oleng. Seluruh somay beserta bumbu kacang tumpah ruah ke jalan. Bocah polos Itu kemudian berteriak memanggil teman-temannya. Seketika kejadian apes tersebut menjadi tontonan para warga.

Adalagi kisah tragedis di balik polisi tidur. kali ini menimpa pedagang sayur. Saat itu la tengah berjalan melewah polisi tidur, ketika melindasnya tubuh grobok sayur itu bergetar dan mengguncang barang jajahan yang ada di atasnya. Setengah kilo tomat mengelinding keluar dari gerobak itu, Kemudian la meloncat jatuh. Saat Itu juga kendaraan Pajero lewat dan melindas tomat pesanan bu RT tersebut. Seolah-olah bagaikan menabrak debu, Pajero hitam itu acuh kemudian terus melaju. Bukan hanya gagal mendapatkan rezeki, tukang sayur malang itu juga gagal mendapatkan kepercayaan dari perempuan berpengaruh di komplek, siapa lagi kalau bukan Ibu RT yang terhormat.

Dari kedua kejadian tersebut, bukan poldur yang bersalah. Pastilah orang akan menyalahkan Si pedagangnya sendiri, karena kurang hati-hati. Padahal kejadiaan naas bisa terjadi kepada siapa saja, sekalipun Ia telah berhati-hati. Akan tetapi polisi tidur di sini, bagi mereka yang menerapkannya masih memiliki fungsi sebagai pengatur laju baik sepeda motor, mobil, atau bahkan grobak pedagang kaki lima sekalipun. Tanpa ada dugaan dari pasang mata yang melihat kejadian, kalau poldur lah yang telah menjadi tersangkanya.

Polisi tidur sengaja dibuat untuk mengurangi laju kecepatan kendaraan, dan fungsi lainya dapat menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Akan tetapi tidak sedikit pengendara yang mengalami kecelakaan gara-gara polisi tidur, baik polisi tidur di jalan raya ataupun polisi tidur di rumahnya masing-masing.

Ketika pagi tiba orang orang tumpah ruah di jalan raya dengan kendaraannya masing-masing. Dan biasanya di momen ini kita kerap menemukan polisi sedang melambai-lambaikan tanganya, memita agar supaya para pengendara terus melaju. Padahal Kondasi Jalanan sedang padat, sehingga kendaraan berjalan sangar lambat. Terkadang kita sampai membandingkannya dengan Pak ogah dipersimpangan jalan yang bekerja lebih becus dan lebih punya motivasi, tidak asal melambaikan tangan dengan gerakan yang kurang ber- tenaga Itu.

Baik polisi beneran maupun polisi tidur, keduanya sama-sama mengatur pengguna jalan raya. Yang satu memperlambat kecepatan kendaraan supaya menghindari kemungkinan kecelakaan, dan yang satu lagi familiar dengan urusan tilang-menilang, la tidak hanya memper lambat kecepatan kendaraan tetapi juga menghentikannya.

Permen hub No. 14/2021 menyebutkan yang berhak membuat polisi tidur adalah pemerintah, meliputi dirjen atau Kepala Badan Kemenhub, gurbernur, bupati, wali Kota, atau badan usaha untuk jalan TOL. Selain itu ukuran polisi tidur juga memiliki standar pakem. Yaitu ukuran tinggi polisi tidur tidak boleh melebihi dari 15 cm dan lebar bagian atas 90 cm dengan kelandaian 15 persen.

Dengan peraturan yang telah dibuat di atas maka warga biasa seperti kita tidak bisa membuat polisi tidur sendiri. Namun dengan semua persoalan pengguna jalan raya yang ugal-ugalan, dan penerapan polisi tidur di jalanan yang tidak sesuai peraturan, selain menampilkan sifat asli manusia la juga datang sebagai sebuah gambaran bahwa manusia memang tidak dapat dihentikan.

Jalanan dan polis tidur adalah protret masyarakat kita yang mudah dijumpai. Adanya polisi tidur menunjukan bahwa masyarakat kita kurang menanamkan sopan santun saat berkendara. Sekaligus pembuatan polisi tidur pada jalan raya adalah sebuah bentuk perlawanan tentang kebutuhan transportasi yang cepat karena keberadaanya menghambat, meskipun umumnya hanya kita jumpai di jalanan raya konvensional saja. 

Polisi tidur menjadi bahan keluhan sejumlah pengendara, baik roda dua, maupun empat yang membutuhkan mobilitas super cepat. Namun sayangnya Jalan raya bukanlah rel kereta api yang dapat diupgrade untuk kebutuhan yang serba cepat. Sebaliknya, polisi tidur adalah sebuah alat untuk mengatur, bukan hanya lanju kendaraan, tapi juga pola prilaku masyarakat kita yang terkenal anti peraturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga etika yang menyimpang ini dianggap sangat cocok untuk dihentikan dengan polisi tidur. 

Kendaran yang ugal-ugalan memang akan melambat saat melewati polisi tidur, akan tetapi Ia kembali ngebut setelah roda belakangnya berhasil melewatinya. Seperti itulah sikap moral manusia kita. Terlihat sopan saat berpapasan dengan Pak Kades, kemudian menggerutu setelah melewati punggungnya. Pak Kades di sini serupa polisi tidur tadi, kehadirannya merubah sifat asli warganya saat sedang berpapasan. Namun setelah Ia tak lagi diindahkan, dan keneradaannya telah lenyap dimakan ruang dan waktu, celetuk berisi nyinyiran kembali meramaikan khasanah pergosipan. Demikianlah polisi tidur yang berusaha mengontrol setiap laku pengendara di jalanan raya. Yang berarti ada anggapan bahwa manusia kita adalah jenis manusia yang kurang beretika, dan ugal-ugalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun