Baik polisi beneran maupun polisi tidur, keduanya sama-sama mengatur pengguna jalan raya. Yang satu memperlambat kecepatan kendaraan supaya menghindari kemungkinan kecelakaan, dan yang satu lagi familiar dengan urusan tilang-menilang, la tidak hanya memper lambat kecepatan kendaraan tetapi juga menghentikannya.
Permen hub No. 14/2021 menyebutkan yang berhak membuat polisi tidur adalah pemerintah, meliputi dirjen atau Kepala Badan Kemenhub, gurbernur, bupati, wali Kota, atau badan usaha untuk jalan TOL. Selain itu ukuran polisi tidur juga memiliki standar pakem. Yaitu ukuran tinggi polisi tidur tidak boleh melebihi dari 15 cm dan lebar bagian atas 90 cm dengan kelandaian 15 persen.
Dengan peraturan yang telah dibuat di atas maka warga biasa seperti kita tidak bisa membuat polisi tidur sendiri. Namun dengan semua persoalan pengguna jalan raya yang ugal-ugalan, dan penerapan polisi tidur di jalanan yang tidak sesuai peraturan, selain menampilkan sifat asli manusia la juga datang sebagai sebuah gambaran bahwa manusia memang tidak dapat dihentikan.
Jalanan dan polis tidur adalah protret masyarakat kita yang mudah dijumpai. Adanya polisi tidur menunjukan bahwa masyarakat kita kurang menanamkan sopan santun saat berkendara. Sekaligus pembuatan polisi tidur pada jalan raya adalah sebuah bentuk perlawanan tentang kebutuhan transportasi yang cepat karena keberadaanya menghambat, meskipun umumnya hanya kita jumpai di jalanan raya konvensional saja.Â
Polisi tidur menjadi bahan keluhan sejumlah pengendara, baik roda dua, maupun empat yang membutuhkan mobilitas super cepat. Namun sayangnya Jalan raya bukanlah rel kereta api yang dapat diupgrade untuk kebutuhan yang serba cepat. Sebaliknya, polisi tidur adalah sebuah alat untuk mengatur, bukan hanya lanju kendaraan, tapi juga pola prilaku masyarakat kita yang terkenal anti peraturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga etika yang menyimpang ini dianggap sangat cocok untuk dihentikan dengan polisi tidur.Â
Kendaran yang ugal-ugalan memang akan melambat saat melewati polisi tidur, akan tetapi Ia kembali ngebut setelah roda belakangnya berhasil melewatinya. Seperti itulah sikap moral manusia kita. Terlihat sopan saat berpapasan dengan Pak Kades, kemudian menggerutu setelah melewati punggungnya. Pak Kades di sini serupa polisi tidur tadi, kehadirannya merubah sifat asli warganya saat sedang berpapasan. Namun setelah Ia tak lagi diindahkan, dan keneradaannya telah lenyap dimakan ruang dan waktu, celetuk berisi nyinyiran kembali meramaikan khasanah pergosipan. Demikianlah polisi tidur yang berusaha mengontrol setiap laku pengendara di jalanan raya. Yang berarti ada anggapan bahwa manusia kita adalah jenis manusia yang kurang beretika, dan ugal-ugalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H