Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fatamorgana di Atas Jalan Raya

9 Oktober 2023   07:53 Diperbarui: 9 Oktober 2023   08:18 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar membaca jalan

Jalan raya adalah dunia tersendiri bagi mereka yang membagikan waktunya antara kantor, tempat dinas, dan rumah. Jalan raya secara sepontan membuka tabir sifat asli seseorang tatkala Ia melauinya. Kita sering mendapatkannya dipersimpangan jalan atau pada daerah-daerah tertentu yang cukup padat. Tidak ada kita jumpai keramah-tamahan, bahkan para pengedara yang mungkin berpendidikan tinggi pun tidak mempraktikan pengetahuannya. 

seseorang bercelana hitam, atasan kemeja dibalut jaket hitam yang licin selicin sepatu hitamnya yang mengkilat. Berebut ruas dan waktu, selip sana selip sini. Bahkan mereka juga tidak perduli dengan rambu-rambu. Mungkin saja mereka tidak benar-benar bisa membaca, karena yang bisa membaca pastilah gemar belajar. Mereka mungkin tidak benar-benar berpikir saat duduk dibangku sekolahan. Karena ijazah hanyalah tanda pernah sekolah, bukan pernah berpikir. 

Inilah kehebatan jalan raya yang sanggup mengungkapkan misteri terbesar umat manusia. Keberadaannya di atas tanah subur yang tercemar ini menjadi bagian penting untuk menunjukan sifat asli siapapun. Tidak hanya bagi pengendara roda dua, bagi para politisi, pemangku kepentingan, pengusaha kecil, gelandangan, pekerja, pelajar, dan lain sebagainya.

Seperti perbedaan yang kerap kita lihat antara Margonda dan Pondok Petir, atau antara Jalanan kampung Limo dengan jalan TOL baru yang membelah kecamatan ini. Meskipun jalanan baru terus dibuat, tapi jalanan konfensional tetap sempit dan sumpek. Sementara jalan TOL semakin banyak dan semakin sepi saja. Menunjukan bahwa jalanan bagus dan mulus tidak memihak kepada kaum urban yang miskin. Justru malah sebaliknya, semakin kita mampu untuk membayar jalan raya semakin terlihat bahwa negara kita telah menjual jasa.

Potret jalanan yang menguntungkan bagi siapa saja yang mencari keuntungan. Jalan TOL hari ini dibuat oleh investor asing dengan anggaran tidak main-main, dan tujuannya disampai nyaring-nyaring. Jalanan memang tempat termudah untuk memperdagangkan sesuatu, termasuk mendagangkan kemudahan untuk menjauhkan kemalangan seperti momen mudik lebaran beberapa tahu lalu. 

Akan tetapi hari ini kita merasaka bahwa jalanan TOL yang berbayar cukup menambahkan beban, beban itu terlihat pada barang pesanan kita yang dibeli secara online dan diantar oleh seorang kulir. Jalanan TOL memang banyak, tapi tidak ekonomis. Jalanan konfensional memang ekonomis, akan tetapi cukup untuk membuat pengemui meringis di tengah macet dan trik matahari yang membakar kulit kita yang tipis.

Jalan raya memang produk jasa fasilitas milik negara. Ia milik siapa saja, bukan hanya program pemerintah tetapi juga bagi mereka yang setiap hari mengatur kemacetan. Jalan raya memberikan rezeki kepada mereka yang tubuh silver, dan bagi menyanyikan lagu marjinal dengan suara subang sambil berkeliling dari satu angkot ke angkot yang lain. Dan lagi-lagi jalan raya juga sumber keberkahan bagi bapak calon legeslatif yang tengah mencari suara. Dan kini tidak telah melihat pampakan jalan raya kita dipenuhi QtnF7berbagai bendera partai politik, bahkan ormas yang benderanya mirip seperti partai elit itu.

Jalan raya memang sangat merakyat, persis seperti asal usulnya. Beberapa persen dri iuran pajak di dalamnya ada anggaran untuk mengurus jalanan. Akan tetapi kita lebih sering melihat baliho yang baru naik menutupi tiang listrik di tepi jalan ketimbang melihat aspal yang masih hangat di atas coran. Jalan raya adalah sumber penghidupan, bagi mereka yang mendapatkan keuntungan dari penggelapan uang. Segelap gorong-gorong yang saat ini macet tertutup tanah, segelap mata seorang tunanetra berdiri di bawah sinar matahari dan ramainya lalu lintas.

Sifat manusia dan jalan raya yang selalu membawa arti. Dahulu kata Tan Malaka, kemodernan dapat dilihat dari seberapa panjang dan jauhnya pembangunan jalan raya. Beberapa waktu lalu lewat tangan presiden di negeri ini, jalan raya dianggap memiliki nilai untuk menunjang kemajuan ekonomi. Akan tetpi hari ini, jalan raya telah menunjukag0n betapa kita semua telah mengalami kemunduran. Jauh dari leluhur kita di timur raya. Semakin jauh dari kemapanan, dan terlihat semakin jauh dari keterpurukkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun