Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kapan Kita Merdeka? Bacaan Remaja Seperti Zaman Belanda

18 Maret 2023   00:45 Diperbarui: 9 Mei 2023   10:21 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita masih dijajah Belanda lewat kebiasaan!
Penulis kisah percintaan yang tak sampai sama dengan penjajahan mental!
Yakin masih menganggap novel percintaan untuk remaja adalah hal yang biasa?
Yakin masih mau menulis kisah percintaan?
Kapan kita benar-benar merdeka?

Maraknya novel percintaan di kalangan remaja adalah bentuk kurangnya ide dan motivasi seorang penulis di negeri ini. Kita bisa menjumpai, anak-anak remaja kita yang sudah kecanduan cerita romansa, bahkan sampai berhalusinasi dengan tokoh imajinasi mereka. Bahan bacaan yang tidak tepat menjadi salah satu faktornya. Kenapa disebut dengan tidak tepat? Ya, karena dalih ingin memenuhi kebutuhan literasi remaja, buku-buku cerita romansa justru dapat menurunkan semangat mereka. Karena umumnya cerita semacam ini akan membawa pembacanya pada kegalauan, emosi yang tidak stabil, dan mengalihkan fokus mereka pada tanggung jawab utama sebagai pelajar.

Tidak hanya novel remaja saja yang kurang ideal sebagai literasi remaja, cerita bergambar atau komik, dan setidaknya ada beberapa jenis sinetron percintaan yang sengaja dibuat untuk menjaring pasar remaja. Cerita-cerita yang diusung dengan tema remaja cendrung kurang membangun. Pada sebuah komik misalnya, saat ini bacaan serupa dapat dinikmati melalui siber dengan tema yang beragam untuk remaja. Malahan lebih parahnya lagi, ada sebuah komik untuk remaja tetapi berisi gambar yang dibuat sengaja fulgar. Padahal cerita komik untuk remaja dapat dibuat sebagai salah satu sumber yang memenuhi kebutuhan literasi remaja, seperti memasukan ilmu pengetahuan ke dalam sebuah komik, atau kisah yang bernilai moral, religi, dan aspek-aspek lainnya.

Berbeda dengan komik, senetron merupakan produk cerita yang dapat disaksikan secara audiovisual sehingga lebih menarik, mudah, dan apalagi dapat diakses secara geratis. Namun sayang, selama ini senetron belum bisa menjadi salah satu bahan literasi untuk remaja. Kisah yang ditawarkan sering tidak sesuai dengan judul, bahkan umumnya isi kontennya berbau hal-hal yang dewasa. Sinetron dengan tokoh remaja, secara sadar akan langsung menarik penonton dari kalangan remaja pula. Yang padahal isi ceritanya tidak benar-benar mewakili kebutuhan remaja. Kita tidak bisa mengharapkan sinetron sebagai salah satu bahan literasi, karena kemunculannya ditelevisi cendrung untuk mencari sigmentasi penonton bukan menciptakan remaja yang cerdas.

Saat ini kita semua membutuhkan penulis yang mampu membedakan mana tulisan berbau literasi dan mana tulisan yang hanya sekedar opini. Cerita fiksi juga mengandung opini, sama seperti karya ilmiah. Cerita fiksi pun dapat memenuhi kebutuhan literasi remaja. Akan tetapi kenyataannya banyak penulis kita yang tidak bertanggung jawab atas hal itu. Kemampuan mereka dalam menulis hanya sekedar ingin terkenal, ingin ceritanya masuk ke dalam kurikulum, ingin dimuat pada sebuah penerbit mayor, tanpa memiliki visi yang jauh lebih berharga dari pada itu. Setidaknya dari pada Anda sekedar mencari tanda ceklis biru dari Kompasiana, atau ingin tulisannya masuk di program Infinite, mending Anda perbaiki visi menulis Anda. Ya kalaupun mendapatkan tanda ceklis biru, dan tulisannya masuk ke salah satu program Kompasiana lalu dimuat pada Harian Kompas, ya anggap saja itu sebagai hadiah. Ingat, menulis tidak hanya menyampaikan opini, gagasan, atau argumentasi disertai bukti pendukung, menulis berarti menyampaikan pemikiran kepada kebudayaan dan mewariskan peradaban.

Di era penjajahan belanda, semua literasi untuk pribumi di atur oleh Balaipustaka. Upaya ini dilakukan agar rakyat pribumi lupa dengan ide kemerdekaan, atau menjauhkan Bumi Putra dari gagasan-gagasan kemerdekaan. Balaipustaka sebelumnya bernama Commissie Voor de Innlandsche School en Volkslectuur, atau dalam bahasa Indonesia dapat dsebut "Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat." Dasar pmbembentukkan lembaga ini adalah karena pada awal abad ke 20, rakyat pribumi kita mulai memiliki semangat kebangkitan untuk melawan penindasan. Munculnya tulisan-tulisan yang memuat kritik memberikan kesadaran sendiri kepada masyarakat. Untuk mengantisipasi hal tersebut kemudian pemerintah Hindia mendirikan Balaipustka pada tanggal 14 September 1908.

Balaipustaka punya peran yang sentral dalam menerbitkan buku-buku sastra, Ia terlibat akitf dalam menjaring penulis terbaik di Hinda Belanda. Lambat laun, penerbit ini menjadi pusat pencapaian penulis dalam kiprahnya. sehingga lembaga ini menjadi tolak ukur penulis yang ingin mewujudkan dirinya menjadi penulis terkenal. Namun hal tersebut membuat para penulis muda lupa dengan idealisnya, dan dengan penderitaan rakyatnya. Alhasil tulisan berisi mengkritik pemerintahan Hinda Belanda jarang muncul ke permukaan, karena banyaknya penulis yang ingin tulisannya diterbitkan oleh Balaipustaka. Belum lagi lembaga penerbitan ini membatasi kreatifitas mereka, karena Balaipustaka tidak mau ada tulisan yang menurunkan citra pemerintah Hindia Belanda di mata rakyat mereka sendiri, maka penulis dilarang membuat tulisan yang berisi kritik, atau kontra dengan mereka. Alhasil ada beberapa judul buku yang justru isinya merupakan doktrin dari Hindia Belanda, kepada rakat Bumi Putra kala itu, agar rakyat tidak merasa sedang dijajah.

Salah satu contoh yang diterbitkan oleh Balaipustaka dan cukup terkenal yaitu seperti, Novel Siti Nurbaya. Novel ini menceritakan seorang rakyat Bernama Siti Nurbaya berserta ayahnya yang tebelit hutang dengan seorang saudagar kaya raya bernama Datuk Maringgih. Novel yang berlatar di Padang Sumatra Barat ini seolah-olah menggambarkan kalau seorang pribumi seperti Datuk Maringgih adalah orang yang jahat. Sementara kekasih Siti Nurbaya yang bernama Samsulbahri merupakan serdadu kompeni, namun tokoh ini digambarkan seperti orang yang berwajah Belanda namun memiliki sifat yang baik.

Melalui kisah percintaan yang tak sampai ini, seolah-olah rakyat pribumi pun sama kejamnya dengan pemerintah kolonial, dan sebaliknya melalui perwujudan Samsul baik pemerintah Hinda Belanda itu sendiri maupun pihak yang mendukung pemerintahan tersebut seolah-olah sama baiknya dengan rakyat Bumi Putra. Namun sampai saat cerita dari novel karya Marah Roesli ini dialih wahanakan menjadi film, narasi-narasi yang sama pun masih ada. Setelah kemerdekaan yang kesekian tahun, sama sekali tidak ada yang mencoba untuk melihat sudut pandang baru, Datuk Maringgih sebagai antagonis, dan SamsulBahri sebagai Protagonis. Menandakan bahwa sampai saat ini doktri Hindia Belanda masih terus ada, tanpa kita sadari. Sekaligus seolah-olah menandakan bahwa romansa percintaan yang terjalin antara Siti Nurbaya dengan Samsul mengajarkan kita untuk tidak mengenal kepentingan nasionais, cinta antara dua kekasih di atas segala-galanya.

Selain cerita Siti Nurbaya, ada pula novel yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel ini berkisahkan tentang romansa antara Mariamin dan Amiunddin. Kedua insan yang dimabuk kasih ini terhalang oleh adat dan budaya yang kaku. Keluarga Mariamin dianggap miskin, sehingga tidak sebanding dengan keluarga Aminuddin yang lebih mapan. Pernikahan antara keduanya kemudian dibatalkan karena ada penolakan dari keluarga Aminuddin. Akhirnya hubungan keduanyapun kandas tanpa tahu kejelasannya. Adanya isu seperti kasta sosial coba diangkat dalam nove ini, namun jika kita bandingan novel demikian dengan sinetron saat ini tidaklah jauh berbeda. Atau jika kita bandingkan dengan novel keluaran watpat (saya plesetin sedikit namanya) mungkin tidak jauh berbeda. Dan rata-rata judul tersebut ramai dibaca kaula hawa. Tidak hanya yang sudah dua puluh tahun ke atas, dua puluh tahun ke bawah atau remaja kita pun juga ikut membcanya.

Ya, begitu kita belum merdeka dari pengaruh Hindia Belanda. Memang Londo sudah tidak ada, bendara merah putih biru sudah hilang warna birunya, presiden sudah rutin diganti setiap lima tahun sekali, tapi inilah kenyataannya. Memangnya untuk apa Balaipustaka kala itu menerbitkan buku-buku cerita yang bertemakan cinta dan kepedihan, jika tidak sengaja membuat anak-anak Bumi Putra tenggelam dengan sumber bacaannya. Kisah cinta yang tak sampai digunakan pemerintah Hindia Belanda sebagai doktrin agar anak-anak pribumi memiliki mental yang lemah. Sementara sekrang kita masih mengonsumsi cerita-cerita betema yang sama.

Mungkin Anda juga perlu tahu tentang satu novel berjudul Student Hidjo karya Marco Kartodikromo. Selain dua novel di atas yang bertemakan cinta tak sampai dan kemalangan, novel Student Hidjo ini sebenarnya menggunakan tema yang sama tetapi berakhir dengan baik-baik saja tanpa ada penderitaan. Student Hidjo merupakan salah satu novel yang terlarang pada zaman itu, karena cerita yang disampaikan sangat bertolak belakang dengan cerita-cerita yang diterbitkan oleh Balaipustaka. Novel ini pertama kali ditulis pada tahun 1918. Student Hidjo merupakan cerita bersambung pada Harian Sinar Hindia, setahun kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

Tokoh pada novel ini bernama Raden Hidjo yang ingin pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Usahanya sempat mendapatkan pertentangan dari Ibundanya yang khawatir dengan pergaulan bebas di Belanda. Namun Student Hidjo memberikan pandangan terbaru yang berbeda dengan novel terbitan Balaipustaka. Dimana dalam novel ini, ternyata apa yang disangka-sangka tidak sepenuhnya benar. Student Hidjo memberikan pandangan bahwa negeri Belanda tidak jauh berbeda dengan Hindia Belanda kala itu. Baik dari segi setrata sosial maupun pergaulan. Sehingga memberikan gambaran bahwa Hinda Belanda mungkin sama baiknya atau sama buruknya dengan Belanda. Student Hidjo sebagai tokoh yang berpendidikan memberikan amanat yang cukup satir mengingat kebanyakan kaum Priyayi saat itu kebanyakan dari rakyat pribumi buta huruf yang diberikan mandat oleh pemerintah Hindia Belanda karena kesetiaan dan kepatuhannya, bukan karena kemampuan baca tulisnya. Di dalam kisah ini perjodohan pun dianggap bukan suatu masalah tidak seperti pada novel Siti Nurbaya.

Novel seperti Student Hidjo inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat pribumi pada zaman itu. Sementara mungkin kebanyakan penulis hanya mewariskan pengalaman kepada pembaca, bukan mewariskan ide dan gagasan. Kita membutuhkan bentuk cerita yang seperti Student Hidjo, dalam artian terbarunya adalah sebuah cara pandangan lain yang lebih kongkrit dengan kebutuhan remaja kita pada saat ini. Bukan demi kepentingan sigmentasi, egoisme penulis, dan cuan. Jika dahulu kekuatan sastra begitu besar untuk membangun masyarakat yang homogen ini, lalu bagaimana dengan generasi kita sekarang? Apakah kita telah menggunakan sastra sebagai bahan literasi kita? Ataukah kita yang telah jauh meninggalkan sastra sebagai karya omong kosong yang berisi kebohongan? Atau jangan-jangan memang belum ada dari kita yang berhasil menulis dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan literasi remaja yang sehat, berbobot, dan tentunya mendidik? Ataukah para penulis kita masih terbuai dengn motivasi menulis untuk mendapatkan tanda ceklis biru dari Kompasiana, untuk menjadi terkenal, ingin masuk dipenerbitan mayor, dan masuk ke kurikulum sekolah?

Kalimat yang sama saya tulis pada esai sebelumnya, bahwa menulis bukan sekedar memberikan opini, gagasan, pendapat, dan argumentasi disertai bukti penguat akan tetapi menulis adalah cara kita mewarikan kebudayaan kepada peradaban. Maka dengan demikian bijaklah dalam menulis setiap kata yang akan kita publikasikan, karena kita semua adalah pemegang tokngkat estafet kebudayaan. Jika Anda masih menulis karena egoisme pribadi, dan jika Anda masih menulis untuk kepentingan sigmentasi maka percayalah bahwa itu semua akan menjadi sampah yang masuk ke dalam setiap karakter remaja kita. Saat ini menulis tidak lagi menggunakan keberanian seperti yang dikatakan oleh Pramudya, melainkan menulis membutuhkan pengetahuan yang luas, kepekaan, sensitifitas, dan misi kebudayaan. Karena era digital seperti saat ini tulisan yang berbau sastra begitu melimph ruah, namun dari mereka hanya selesai untuk dijadikan bahan skripsi. Sementara masyarakat di luar studi sastra masih asing dengan kata sastra itu sendiri, bahkan mungkin sangat sukar tersentuh. Kecuali peran Anda sebagai penulis yang memiliki motivasi tinggi untuk memperbaiki setiap pengetahuan sebelum menjadi tulisan dan memamtapkan visi kebudayaan. Terima kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun