Ya, begitu kita belum merdeka dari pengaruh Hindia Belanda. Memang Londo sudah tidak ada, bendara merah putih biru sudah hilang warna birunya, presiden sudah rutin diganti setiap lima tahun sekali, tapi inilah kenyataannya. Memangnya untuk apa Balaipustaka kala itu menerbitkan buku-buku cerita yang bertemakan cinta dan kepedihan, jika tidak sengaja membuat anak-anak Bumi Putra tenggelam dengan sumber bacaannya. Kisah cinta yang tak sampai digunakan pemerintah Hindia Belanda sebagai doktrin agar anak-anak pribumi memiliki mental yang lemah. Sementara sekrang kita masih mengonsumsi cerita-cerita betema yang sama.
Mungkin Anda juga perlu tahu tentang satu novel berjudul Student Hidjo karya Marco Kartodikromo. Selain dua novel di atas yang bertemakan cinta tak sampai dan kemalangan, novel Student Hidjo ini sebenarnya menggunakan tema yang sama tetapi berakhir dengan baik-baik saja tanpa ada penderitaan. Student Hidjo merupakan salah satu novel yang terlarang pada zaman itu, karena cerita yang disampaikan sangat bertolak belakang dengan cerita-cerita yang diterbitkan oleh Balaipustaka. Novel ini pertama kali ditulis pada tahun 1918. Student Hidjo merupakan cerita bersambung pada Harian Sinar Hindia, setahun kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.
Tokoh pada novel ini bernama Raden Hidjo yang ingin pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Usahanya sempat mendapatkan pertentangan dari Ibundanya yang khawatir dengan pergaulan bebas di Belanda. Namun Student Hidjo memberikan pandangan terbaru yang berbeda dengan novel terbitan Balaipustaka. Dimana dalam novel ini, ternyata apa yang disangka-sangka tidak sepenuhnya benar. Student Hidjo memberikan pandangan bahwa negeri Belanda tidak jauh berbeda dengan Hindia Belanda kala itu. Baik dari segi setrata sosial maupun pergaulan. Sehingga memberikan gambaran bahwa Hinda Belanda mungkin sama baiknya atau sama buruknya dengan Belanda. Student Hidjo sebagai tokoh yang berpendidikan memberikan amanat yang cukup satir mengingat kebanyakan kaum Priyayi saat itu kebanyakan dari rakyat pribumi buta huruf yang diberikan mandat oleh pemerintah Hindia Belanda karena kesetiaan dan kepatuhannya, bukan karena kemampuan baca tulisnya. Di dalam kisah ini perjodohan pun dianggap bukan suatu masalah tidak seperti pada novel Siti Nurbaya.
Novel seperti Student Hidjo inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat pribumi pada zaman itu. Sementara mungkin kebanyakan penulis hanya mewariskan pengalaman kepada pembaca, bukan mewariskan ide dan gagasan. Kita membutuhkan bentuk cerita yang seperti Student Hidjo, dalam artian terbarunya adalah sebuah cara pandangan lain yang lebih kongkrit dengan kebutuhan remaja kita pada saat ini. Bukan demi kepentingan sigmentasi, egoisme penulis, dan cuan. Jika dahulu kekuatan sastra begitu besar untuk membangun masyarakat yang homogen ini, lalu bagaimana dengan generasi kita sekarang? Apakah kita telah menggunakan sastra sebagai bahan literasi kita? Ataukah kita yang telah jauh meninggalkan sastra sebagai karya omong kosong yang berisi kebohongan? Atau jangan-jangan memang belum ada dari kita yang berhasil menulis dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan literasi remaja yang sehat, berbobot, dan tentunya mendidik? Ataukah para penulis kita masih terbuai dengn motivasi menulis untuk mendapatkan tanda ceklis biru dari Kompasiana, untuk menjadi terkenal, ingin masuk dipenerbitan mayor, dan masuk ke kurikulum sekolah?
Kalimat yang sama saya tulis pada esai sebelumnya, bahwa menulis bukan sekedar memberikan opini, gagasan, pendapat, dan argumentasi disertai bukti penguat akan tetapi menulis adalah cara kita mewarikan kebudayaan kepada peradaban. Maka dengan demikian bijaklah dalam menulis setiap kata yang akan kita publikasikan, karena kita semua adalah pemegang tokngkat estafet kebudayaan. Jika Anda masih menulis karena egoisme pribadi, dan jika Anda masih menulis untuk kepentingan sigmentasi maka percayalah bahwa itu semua akan menjadi sampah yang masuk ke dalam setiap karakter remaja kita. Saat ini menulis tidak lagi menggunakan keberanian seperti yang dikatakan oleh Pramudya, melainkan menulis membutuhkan pengetahuan yang luas, kepekaan, sensitifitas, dan misi kebudayaan. Karena era digital seperti saat ini tulisan yang berbau sastra begitu melimph ruah, namun dari mereka hanya selesai untuk dijadikan bahan skripsi. Sementara masyarakat di luar studi sastra masih asing dengan kata sastra itu sendiri, bahkan mungkin sangat sukar tersentuh. Kecuali peran Anda sebagai penulis yang memiliki motivasi tinggi untuk memperbaiki setiap pengetahuan sebelum menjadi tulisan dan memamtapkan visi kebudayaan. Terima kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H