Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imajinasi Senja dan Penulis Indie

3 Maret 2023   19:42 Diperbarui: 4 Maret 2023   17:05 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang diimajinasikan dalam kata senja?
Kenapa senja punya arti perpisahan?
Kenapa banyak judul buku "senja"?

Belakangan ini banyak penulis yang menggunakan kata "senja" sebagai judul mereka. Keajaiban apakah sebenarnya yang sedang dibuat mereka? 

Penggunaan kata ini cukup ramai di kalangan penulis senior maupun pemula, penulis kelas kecebong, sampai kelas kodok, ya pokoknya hampir disudut bacaan pasti ada judul buku menggunakan kata "senja". 

Sepopuler apakah sebenarnya sesuatu di balik senja ini? Bukankah malam juga indah, sama indahnya seperti sore. Bukankah siang juga indah, sama indahnya seperti pagi. Dan bukankah semua waktu itu indah? Tapi sepertinya anak indie punya imajinasinya sendiri.

Sama seperti kata hujan yang belakangan sangat populer dan menjadi bacaan massal kaum remaja, terutama bagi para pencinta kerinduan, cinta tak sampai, kegalauan, kepedihan, luka, derita, dan semua jenis duka yang penuh kemalangan. 

Berbeda dengan kata sore, setiap hurufnya jelas terlihat berbeda jauh dari kata hujan, akan tetapi pembaca senja umumnya menerjemahkannya sebagai sesuatu yang indah sekaligus menyakitkan. Ada apa lagi dengan kata senja atau sore?

Pembaca cerita senja atau sore bisa disebut sebagai korban perangkap strategi sigmentasi, sekalipun penulisnya tidak melihat itu sebagai sebuah sigmentasi pasar, namun para penerbit pasti memiliki target penjualan dan pilihan produk yang sudah ditentukan. 

Mungkin saja pasar penikmat senja atau sore bukan diciptakan dari sebuah cerita berbentuk novel atau cerpen. Sama sekali bukan dari bentuk produknya. Bisa jadi penikmat cerita senja atau sore diciptakan dari persepsi massal pembacanya di dalam atau di luar komunitas mereka. 

Seperti rasa penasarannya akan arti di balik senja atau sore karena tidak terbiasa mendengarnya. Atau bisa jadi karena kata "senja" ini menurut mereka terdengar lebih indah dan menyentuh saat diimajinasikan mengingat kata ini jarang digunakan untuk perbincangan sehari-hari. 

Bahkan mungkin saja kepala mereka telah ditanami imajinasi "senja" berikut arti di balik kata itu menurut sudut pandang personal yang telah dihadirkan oleh guru-guru kita, dosen-dosen kita, para pemateri, atau bahkan penulisnya sendiri. Sehingga kata "senja" seolah-olah begitu menarik untuk dibahas.

Ini bukan tentang makna atau sekadar persepsi biasa. "Senja" kata ini jelas telah menjadi sigmentasi pasar untuk para penikmat cerita. Lingkungan sekitar kita yang jorjoran dalam mengartikan kata "senja" menurut isi kepalanya sendiri, tanpa disadari telah menularkan hasil pemaknaan yang tidak berdasar tentang kata "senja" itu sendiri kepada orang lain. 

Hingga akhirnya kata ini dianggap spesial, karena ditafsirkan oleh orang-orang yang dianggap mempuni. Mereka mempresuasifkan kata "senja" dan makna-makna yang dibuatnya, seolah-olah kata ini memiliki arit dan kedalaman makna yang sangat menyentuh.

Filosofi senja yang katanya merupakan buah pemikiran selama ini kebanyakan melahirkan gagasan tentang tindakan moral, bagaimana berlaku dan berbuat baik. Sementara tidak ada hubungannya antara keindahan alam di langit dengan tindakkan moral. 

Semua filosofi tentang keindahan senja selama ini hanya sebuah tafsiran analogi yang terdengar keren. Tidak memposisikan senja sebagai pemantik untuk berpikir, dan memikirkan alam. Senja hanya digunakan sebagai inspirasi, alat, cerminan, gambaran atau apalah itu.

Tafsiran senja selama ini seperti berikut. Ketika kita melihat seorang buruh pabrik atau seorang pekerja kantoran pulang menuju kediamannya, mereka memadati jalan-jalan sambil menggeber gas sepeda motornya atau duduk tenang di kursi penumpang. Sama sekali tidak ada yang menikmati senja dengan memandangannya berlama-lama. Tapi memanfaatkan waktu senja untuk bergegas pulang, menuju ruang peristirahatan.

Ketika kita melihat seseorang pedagang kopi sepeda bekerja, yang kita lihat bukanlah seorang kopi sepeda yang duduk manis melihat senja. Tetapi tukang kopi sepeda yang memanfaatkan kerumunan orang di kala sore menjelang dan merauk rezeki sebanyak-banyaknya. 

Mereka tidak paham filosofi senja, mereka pula tidak tahu menahu tentang arti apa di balik senja. Mereka terus bekerja sampai lewat senja, dan terus menuju malam sampai dagangan mereka habis terjual atau sampai tubuh mereka begetar menahan lelah.

Atau pada penikmat senja yang kebanyakan anak muda, turun memadati jalan-jalan hingga singgah di kedai kopi. Mereka menikmati senja bukan dengan filosofi atau menatap langit berlama-lama. 

Apa yang mereka sebut menikmati sore sebenarnya yang mereka rasakan adalah kesenangan akan suasana keramaian. Menikmati waktu berkumpul dengan sesama di kala sore menjelang, menikmati segelas kopi hangat atau dingin, berbincang dengan teman sebaya, atau kawan lama. 

Tidak ada dari mereka yang benar-benar menikmati senja sebagaimana senja bersinar di atas ubun mereka. Tidak ada yang menikmati senja seperti bunyi filosofinya.

Antara imajinasi dan realis keadaan sore sangat tipis jaraknya. Mereka yang hadir di saat langit mengeluarkan warna senja, mungkin tidak terlalu mengindahkan kehadirannya. 

Mereka malahan bersorak sorai menikmati perbincangan, seolah senja bersama mereka tetapi tidak untuk dinikmati melainkan sebagai imajinasi perjamuan belaka. 

Senja menjadi sebuah pemikiran, karena kemunculannya di langit yang terabaikan. Sehingga keluarlah filosofi yang menganalogikan perbuatan seharusnya seperti jingga di langit itu. 

Bahwa berbuat baik tidak perlu karena ingin dilihat, dan kadang ada kalanya yang indah selalu terabaikan. Tapi tunggu dulu, itu hanyalah sudut pandang orang yang berusaha mengambil makna dari kemunculan fenomena senja. 

Tulisan ini tidak sedang mengarahkan Anda untuk melihat dengan cara itu. Melainkan bagaimana senja dianggap punya nilai keajaiban? Bagaimana senja bisa menjadi analogi pemikiran? Jawabannya tentu saja, karena kita hanya mengenal senja dari atas bumi bukan mendekapnya.

Selama ini "senja" diartikan sebagai sebuah pemandangan indah namun menyakitkan, karena di dalamnya terdapat sebuah perpisahan. Selama ini kata "senja" pada sebuah novel atau cerita lain, diartikan sebagai sebuah garis pertemuan antara siang dengan malam. 

Ada pula penulis yang mengartikan kata "senja" sebagai media melepas kerinduan dengan kekasih yang telah lama meninggalkannya. Yang padahal "senja" sama sekali tidak bermakna apa-apa, ia hanyala fenomena alam yang terus berulang setiap hari, dan kita bisa menjumpainya kembali di hari berikutnya dan hari berikutnya lagi. 

Biasanya orang akan menganggap sesuatu yang terus berulang sebagai sebuah kewajaran. Tapi untuk hal yang berbau wajar atau tidak wajar, penggunaan kata "senja" yang sudah sangat ramai ini justru memperlihatkan bahwa "senja" bukan lagi hal yang wajar untuk di bahas, karena judul semacam itu sudah sangat biasa. 

Tetapi apakah ada penulis yang menyampaikan atau menganalogikan senja dengan hal yang lebih baik selain cinta, luka, kenangan, dusta, perpisahan, dan semua hal yang menyakitkan itu?

Sama seperti halnya hujan, padahal senja hanyalah sebuah siklus alam yang terjadi secara berkelanjutan dan teratur. Senja tidak meninggalkan apa-apa, selain membedakan waktu antara siang dan malam. 

Upaya untuk menjual cerita dengan kata "senja" yang diartikan secara polos dan tidak berdasar justru memberikan gambaran pada diri kita, bahwa kita rupanya terlalu candu dengan imajinasi keindahan yang sama sekali tidak nampak keindahannya itu.

Dengan menuliskan kata "senja" seolah-olah penulis menjadi superior di hadapan pembacanya. Mereka mengganggap dan menyampaikan arti senja sebagai sesuatu yang ajaib, lain dari pada yang lain.

Padahal senja sama halnya dengan malam, siang, atau pagi. Kenapa hanya kata "senja" saja yang diartikan sebagai sebuah perpisahan, bukankah subuh merupakan perpisahan dari waktu pagi menuju siang. 

Ya, subuh tidak dianggap sebagai waktu perpisahan karena ia berada di awal hari. Tapi siapa yang tahu kalau hari itu selalu diawali dari jam 00.00? Bukankah ini membutuhkan kesepakatan? 

Lagi pula siapa yang menyepakati 00.00 adalah pentanda awal hari? Bukankah itu hanyalah angka yang menghitung mundur? Bagaimana jika pukul 00.00 diatur saat matahari baru terlihat di sebelah timur atau setelah subuh, dan yang akan terjadi sore atau senja akan muncul pada pukul 12.00 bukan 17.40, sementara biasanya pukul 12.00 kita sebut sebagai siang.

Dengan uraian di atas maka senja bukanlah persoalan waktu, bukan persoalan tafsir arti atau makna. Senja memang fenomena alam, tetapi senja bukanlah sebuah permainan. 

Menafsirkan fenomena alam menjadi uraian kata-kata yang berisi gagasan, belum bisa disebut sebagai sebuah pemikiran. Banyaknya kisah dengan judul "senja" ini justru kebalikannya dari pemikir yunani, mitos ke logos. 

Dengan menafsirkan fenomena alam secara serampangan, membumbuinya dengan cerita-cerita, dengan arti-arti, dengan makna-makna sebetulnya itu semua adalah tindakan untuk menciptakan sebuah mitos. Tidak ada yang mengartikan senja sebagai sesuatu fenomena alam yang penuh pesan.

Senja bukan soal cinta terhadap sesama manusia, kepada Tuhan atau romansa biasa. Selama ini tidak ada penulis yang berhasil menerjemahkan senja dengan sudut pandang yang baru kecuali kemalangan, dan perpisahan. 

Seolah siapapun yang membawa kata-kata senja tidak boleh hanya sekadar ucapan kosong, maka mereka mengarang-ngarang cerita yang entah diambil dari mana, ide, pengalaman batin penulisnya sendiri, ataupun orang lain. Dan pada kenyataannya kebanyakan dari mereka memang ucapan kosong. Yang jelas mereka telah mengubah apa yang disebut rasional menjadi irasional. Dan bisa jadi merupakan pengulangan pemikiran dari penulis sebelum-sebelumnya.

Yang perlu kita ketahui sebagai seorang pembaca dan penulis adalah, bahwa menulis tidak hanya menyampaikan cerita, gagasan, opini, pendapat, argumentasi, dan sejenisnya, akan tetapi, menulis berarti mewariskan buah pemikiran kepada zaman dan peradaban. 

Jadi siapapun Anda, bijaklah dalam membaca, bijaklah dalam menyampaikan isi bacaan kepada orang lain, dan bijaklah dalam menulis dan menentukan kata karena Anda adalah pemegang tonkat estafet kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun