Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembaca Hujan: Duka, dan Kemalangan

29 Desember 2022   14:17 Diperbarui: 4 Maret 2023   14:33 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa melulu puisi tentang  hujan?

Kenapa lagi-lagi makna tentang hujan?

Kenapa hujan sebetas sendu dan lara?

Kenapa banyak penulis menulis tentang hujan?

Apa salah hujan?

Hujan terus mengguyur di berbagai wilayah, Desember yang mendung dan segala imajinasi pergantian akhir tahun. Setidaknya ada banyak jutaan masyarakat yang menunggu tahun yang akan datang dengan mudik ke kampung halaman di tengan badai hujan. Mereka tidak menunggu hujan sebagai gambaran utopis, mereka memanfaatkan waktu libur mereka yang panjang walaupun cuma beberapa hari. 

Sementara alam tidak pernah berkompromi dengan tujuan manusia menjelang akhir tahun. Namun hujan yang terus menerus turun di negeri beriklim tropis ini malahan menjadi simbol tersendiri. Kita dapat menemukannya pada seuntai atau sekumpulan puisi tentang hujan, atau melalui cerpen dan novel yang juga membahas tentang kesenduan di balik hujan.

Tapi kenapa hanya sebatal simbol dan makna tentang hujan? Kenapa hujan dimaknai dengan sesuatu yang lara, dan menyedihkan? Padahal hujan di bulan Desember ini bagi orang yang percaya dengan Natal dan berbahagia dengan tahun baru adalah sebuah anugerah tersendiri.

Kenapa hanya hujan saja yang ditulis oleh kebanyakan penulis populer kita?

Kenapa hujan begitu sangat difavoritkan oleh banyak orang, yang padahal pembaca kita sudah terlalu sedikit. Siapa pula yang membuat hujan sekedar simbol? Bukankah hujan ini bukanlah simbol apa-apa. Ia turun karena kehendak alam. Tidak ada orang yang salah karena telah menulis sesuatu, tetapi pertanyaannya kenapa Ia menulis itu? 

Penulis manapun perlu membaca banyak hal, guna mengasah hati dan pikirannya. Tapi menulis tentang hujan yang bermakna sendu dan bersimbol kepedihan adalah gambaran bahwa penulis-penulis kita hanya sekedar bermain dengan kata-kata. Tidak ada yang sanggup dibaca olehnya tentang hujan selain makna, dan simbol yang teleh membudaya.

Sejak kapan hujan dimaknai sebagai sesuatu yang sendu, dan penuh lara? Dan siapa yang mencetuskannya?

Kita tidak perlu menjadi paham akan makna, dan simbol untuk memahami bacaan tentang hujan yang populer itu. 

Kita sebagai pembaca tentu memiliki hak sendiri untuk menganalisa apa yang terjadi saat hujan tiba, seperti tanah yang basah, jalanannya yang tiba-tiba sepi dari lalu lalang kendaraan, jalanan batako yang menghambat air untuk meresap ke dalam tanah, gorong-gorong yang tiba-tiba mampet lalu meluap, berita banjir di mana-mana, pejabat sibuk berpidato, pedangan kaki limo melongo di depan televisi, dan belum lagi para jurnalis sibuk membahas jani-janji manis pejabat yang katanya akan merevitalisasi sungai dan ekosistem kita. Tapi banjir sudah lebih dahulu menenggelamkan kota, dan mimpi para warganya.

Penulis kita hanya menulis kata-kata dengan makna, dan simbol utopis tentang kepedihan dibalik hujan dibalut dengan romantisa percintaan dan pengelaman pribadi penulisnya saja.

Sementara buku-buku mereka laku di tangan para pembaca yang umumnya remaja. Tidak ada yang bener-benar memiliki tujuan idealis.

Di tangan penulis seperti mereka yang senang dengan kegalauan perasaan, ditinggal mati oleh kekasih yang sangat disayangi, cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau cinta yang tak pernah sejalanan, fenomena hujan tidak lebih dan tidak bukan hanyalah sebuah inspirasi. Belum atau mungkin tidak ada yang sanggup membaca hujan lebih dari itu.

Hujan tidak dijadikan sebagai perunungan, hujan seharusnya menjadi sahabat yang membahagiakan, karena dibalik hujan kita bisa melihat cacing-cacing hidup di dalam tanah, biji-biji mulai mengeluarkan tunas, dan sawah-sawah petani yang basah. 

Akan tetapi, dari hujan pula kita bisa membaca kalau selama ini pengetahuan kita tentang geografi tidak berguna sama sekali. Seperti yang terjadi di Jakarta timur sana, setiap tahun tanah turun lima belas sentimeter, dan bibir pantai semakin dengan dekat masjid-masjid mereka. 

Semuanya itu diakibatkan karena hujan tidak sanggup melewati tanah yang telah tercampur dengan pasir, semen, batako, dan aspal. Padahal yang mengaspal, mengecor, dan yang menghalangi hujan untuk masuk ke dalam tanah tidak lain dan tidak bukan adalah manusia yang katanya mempunyai pengetahuan. Di sana berdiri sebuah stadion sepak bolah terbesar di negeri ini, mungkin juga di asia. 

Entah imajinasi utopis apa yang ada di dalam pikiran pencetus untuk membangunnya. Stadion yang dibangun dengan begitu megah menghadap pantai Jakarta, mengandalkan kemampuan arsitektur yang mempuni, dan jasa pengiklanan stadion yang terus meng-update postingan mereka semua adalah orang-orang berpengetahuan yang gagal membaca hujan.

Menulis hujan bukan sekedar menulis hujan!

Menulis tidak hanya membutuhkan bakat menulis. Tetapi juga membutuhkan bakat berpikir kritis, menganalisa, dan bukan sekedar merangkai kata-kata dalam bentuk argumentasi.

Menulis memang membutuhkan kejujuran, tetapi bukan untuk menyebarkan air sendiri, seperti kebanyakan para penulis kita. Sampai kapan para penulis kita memaknai hujan sebagai duka dan lara. Dan sampai kapan kita mencerna hujan sebagai gara-gara, contohnya seperti pada kalimat "hujan itu sebuah penjaga rahasia di mana kita bisa menangis di balik hujan" atau yang lebih parah "hujan ini turun karena kepergianmu".

Kalimat-kalimat yang ditulis oleh para pengarang ini hanya sekedar memberikan hiburan dengan kata hujan, namun sifatnya menjerumuskan.

Semakin banyak penulis tentang hujan yang penuh lara dan duka, semakin banyak pembaca puisi tentang hujan, semakin tenggelam diri kita dalam makna dan simbol yang utopis itu. Semuanya adalah rangkaian kata-kata galau yang tidak bener-benar di sampaikan oleh hujan.

Penulis memang membutuhkan bakat mengarang, tetapi tidak selamanya mengarang berangkat dari hanya sekedar ide. Mengarang berangkat dari apa yang disebut dengan hasil menganalisa. Namun kebannyakan penulis saat ini, mengarang berangkat dari kebutuhan sigmentasi. 

Atau jangan-jangan kebanyakan pengarangan kita adalah pengarang yang dungu. Yang hanya mencari pembaca, dan mendapatkan kepopuleran, tanpa memikirkan efek jangka panjang dari dosis yang telah ia suntikan di dalam tulisan-tulisannya.

Mengarang berasal dari pemikiran, menggembarkan apa yang ada di dalam kepala berupa gagasan-gagasan. Bisa dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi.

Tetapi mengarang juga tidak hanya menggunakan kata-kata, dan sekali lagi mengarang membutuhkan pemikiran. Karena banyak kalimat yang tertulis dengan pilihan diksi indah, tetapi berisi ide pemikiran yang usang dan terus menerus diualngi.

Mari kita baca hujan sekali lagi dengan ilmu pengetahuan!

Sudah saatnya penulis kita memaknai hujan bukan sebagai duka dan lara. Dan sudah saatnya kita mencerna hujan bukan sebagai gara-gara. Karena masih banyak kita temukan di berbagai sudut bacaan, entah di kampus, di kedai kopi, di ruang diskusi ataupun di tempat lain, tulisan-tulisan tentang hujan melulu soal perasaan pribadi pengarang.

Lebih lanjut lagi bagi kaum awam dan masyarakat luas, akibat efek penulis hujan yang dungu tadi banyak tentangga kita, om atau paman kita, tante atau bibi kita, atau bahkan orang tua kita sendiri selalu menjadikan hujan sebagai gara-gara. 

Mereka memang tidak membaca buku-buku cerita tentang hujan yang membawa perasan galau bagi pembacanya, sama sekali mereka tidak suka membaca buku.

Namun menurut mereka hujan membawa kemalangan, seperti banjir, dan tanah longsor. Itu artinya memberikan gambaran bahwa penulis cerita tentang hujan yang membawa duka, dan lara ini sama seperti om atau paman kita, tante atau bibi kita, atau bahkan orang tua kita sendiri yang tidak gemar membaca.

Hujan bukan pembawa gara-gara, justru kitalah yang telah menyalahkan dan mengkambing hitamkan hujan. Padahal hujan adalah fenomena alam yang sudah sangat rutin terjadi di muka bumi ini.

Adanya banjir, dan tanah longsor bukan disebabkan oleh hujan. Justru hujanlah yang menyadarkan sebagian orang yang peka, bahwa tanah yang gundul, gorong-gorong yang mampet oleh sampah, dan semua keburukan manusia yang menjadi sebabnya. Tapi saudara-saudara kita amat sering menyalahkannya. 

Sepertinya ada yang salah dengan literasi kita. Sekali lagi, hujan justru memberikan kita pengetahuan. Dan seharusnya kita selalu siap menyambut hujan apa lagi diakhir tahun menjelang pergantian tahun baru. Seperti kasus di Jakarta timur tadi, telah menunjukan bahwa kita gagal memahami hujan. Bukan hanya gagal dalam memahami hujan, kita juga telah gagal sebagai homo sapiens yang katanya arif dan bijaksana.

Saya sampaikan pesan ini sekali lagi, dalam menyambut hujan kita perlu pengetahuan. Dan kita harus membaca hujan dari awal lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun