Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Profesi Bukan Perbandingan Bumi dan Langit

27 Desember 2022   13:08 Diperbarui: 28 Desember 2022   02:01 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa profesi dianggap menunjukan level seseorang di mata sosial?

Kenapa ada profesi yang dianggap lebih tinggi di mata sosial?

Dan kenapa ada profesi yang dianggap lebih rendah di mata sosial?

Ada apa dengan cara pandang kita melihat pribadi sesorang?

Kita pasti pernah mendengar kalimat yang sering sekali menggambarkan suatu profesi. Atau mungkin kita pernah mendapatkan nasihat dari orang tua kita terdahulu yang berisi, "belajarlah supaya kau tidak seperti ibu dan bapakmu." Bahkan mungkin ada yang lebih parah dari itu, sebuah nasihat yang berisi kalimat merendahkan suatu profesi "jika kamu malas belajar, kamu akan menjadi seperti tukang sapu jalanan di sebrang sana." Kita sudah sangat sering mendengar kalimat-kalimat semacam ini, sehingga membentuk sebuah pemikiran yang dianggap telah lazim oleh kebanyakan orang. 

"Dia hanya seorang tukuang bakso, tidak cocok bersanding dengan anakku," kira-kira contoh terburuknya dapat kalian lihat saat Ibu Megawati perbidato saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-P pada Selasa (21/6/2022). "Jadi ketika saya mau punya mantu, saya sudah bilang ke anak-anak yang tiga ini. 

Awas lho kalau nyarinya kayak tukang bakso," memang kenapa dengan tukang bakso. Bahkan Ia juga menambahi "Jadi maaf, tapi bukannya saya apa. Maksud saya, manusia Indonesia ini kan Bhinneka Tunggal Ika. Ya maka harus berpadu. Bukan hanya tubuh dan perasaan. Tapi juga dari rekayasa genetika. Kita cari-cari gitu," memangnya kenapa dengan gen tukang bakso? Bagaimana sebuah profesi bisa mengkatagorikan gen yang unggul?

Kenapa satu profesi dengan profesi lain dipercaya memiliki kedudukan yang berbeda? Memangnya nilai apa yang sebenarnya sedang diimajinasikan oleh kebanyakan orang tetang berprofesi? Jika profesi guru sangatlah mulia, apakah profesi tukang sol sepatu tidak mulia? Jika profesi seorang bakso rendah, kenapa Ia sanggup menamatkan anak-anaknya sampai menjadi sarjana? Bukankah ini tidak sebanding dengan yang katanya "cuman tukang bakso." Memangnya kenapa kalau jadi tukang bakso? 

Bukankah kedudukan tukang bakso yang berstatus sebagai rakyat di atas presiden yang bekerja untuk rakyat? Jadi seharunya jikalau ada nilai suatu profesi di mata sosial maka profesi yang paling rendah adalah menjadi presiden, bukankah begitu? Tapi kenapa anggapan ini tidak terlalu berlaku?

Selain profesi guru yang dianggap mulia karena alasan tertuntu, apakah ada alasan pada profesi lain yang dianggap memiliki kedudukan yang tinggi di mata sosial? Pasti ada alasan untuk menjawab kenapa suatu profesi dianggap paling terhormat dan berpengaruh di mata sosial. Kita bahas di sini, jika seorang pejabat katakanlah seorang Gubernur dianggap memiliki peran penting sehingga terhormat dan memiliki kududukan yang cukup tinggi pada suatu wilayah provinsi, maka jika seseorang yang berpangkat Gubernur ini tidak ada akan dianggap  darurat dan harus segera diganti. 

Bukankah tukang tambal ban juga memiliki peran yang sama penting di suatu wilayah provinsi tersebut, apa jadinya jika tidak ada tukang tambal ban? Mungkin semua orang haru belajar menjadi tukang ban jikalau memang profesi ini semakin hari semakin hilang. Tapi tidak semua orang benar-benar bisa menjadi tukang ban seutuhnya. Karena tidak mungkin Anda membawa semua peralatan untuk menambal ban saat mudik kan? Pasti yang Anda bawa hanyalah ban cadangan bukan peralatan untuk menambal. Sementara setiap orang di setiap generasi yang akan datang berhak dan memiliki potensi menjadi Gubernur. Karena hanya sedikit orang yang menolak untuk menjadi Gubernur, lain dengan tambal ban.

Nasihat-nasihat orang-orang terdahulu telah menurunkan kepada kita, yang secara sadar telah meletak nilai sosial pada suatu profesi. Sehingga kita secara sadar pula menolak suatu profesi yang tidak kita inginkan dengan alasan nilai sosial. Dengan adanya pemikiran seperti ini secara kontan telah merendahkan profesi lain secara terbuka. Yang tidak sedikit pernyataan "aku lebih beruntung dari tukang ojek" atau "aku lebih beruntung dari tukang sayur" kebanyakan diungkapkan oleh seseorang yang berpendidikan. 

Padahal tujuan pendidikan kita bukanlah untuk menghindari takdir menjadi tukang ojek, atau pedagang sayur. Tujuan pendidikan kita bukan untuk menghindari diri dari profesi-profesi yang dianggap rendah. Tujuan pendidikan kita bukan hanya sekedar menjadikan diri kita bermartabat. Karena sejatinya tukang ojek dan pedagang sayur pun mempunyai martabat.

Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis. Bukan karena siapa dia, apa pekerjaannya, apa profesinya, seberapa banya yang Ia kerjakan, seberapa berpengaruhnya dia di mata sosial, dan lain sebagainya. Tapi martabat merupakan suatu konsep yang penting dalam bidang moralitas, etika, hukum, dan politik yang berakar dari konsep hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat dicabut oleh karena memiliki profesi yang dianggap rendah. Dan bahkan sebaliknya, bukan karena memiliki profesi yang dianggap lebih tinggi maka apa yang dimaksud martabat itu berlaku baginya.

Kita semua menjalani profesi karena kemampuan, bukan karena siapa yang lebih unggul. Kalaupun ada seseorang naik pangkat karena kompetensinya dianggap unggul dari para pesaingnya yang lain, alasannya adalah karena Ia bekerja keras dan itu merupakan pencapaian pribadi bukan pencapaian yang bernilai sosial. Sementara tukang kuli bangunan juga bekerja keras. Setiap hari Ia bekerja mengeluarkan keringat lebih banyak ketimbang para dewan yang duduk dikursi. Mereka juga bisa naik jabatan seperti menjadi mandor atau menjadi pemborong. 

Tapi orang yang bekerja di kursi cukup mengeluarkan tenaga untuk kerja otaknya. Dan mereka memiliki jenjang karir yang sesuai dengan apa yang mereka telah kerjakan. Maka bukankah ini tidak jauh berbeda. Tapi bagai mana dengan pedagang buah yang menyewa kios milik orang lain? Setidaknya mereka bekerja untuk dirinya sendiri bahkan sekaligus mereka bekerja untuk negara, karena para dewan yang dikursi tadi mendapatkan gaji dari keringat mereka. Bukan hanya pedagang buah, penjual pakaian, pedagang sayur, tukang ojek, kuli, tukang sapu, dan semua jenis profesi yang lainnya bekerja untuk dirinya sendiri dan negara melalui iuran pajak.

Semua pekerjaan sejatinya mulia, selagi pekerjaan itu bukanlah suatu tindakan yang melanggar norma. Dan kalaupun banyak kasus pelanggaran norma yang dilakukan oleh rakyat kecil, bukankah kalangan yang besar juga banyak melanggar norma seperti korupsi misalnya. Kita bukan hidup di negara yang berkasta, tapi imajinasi kasta sepertinya masih diimpi-impikan. Kenapa manusia membutuhkan kasta? Dan kenapa pula manusia membutuhkan kesetaraan? Bukankah ini dua hal yang saling bersebrangan. 

Sebenarnya yang manusia butuhkan adalah pengakuan. Setidaknya itu mengapa orang tua kita terdahulu kerap memberikan nasehat "belejarlah yang tekun agar menjadi pria yang terhormat" kenapa bukan "belajarlah yang tekun agar kau menjadi wanita yang terhormat", iya itu karena gender berpengaruh pada suatu nilai profesi. Laki-laki dianggap lebih kuat dalam urusan apapun, sehingga Ia berkesempatan menjadi pemimpin dan bukan perempuan. Sementara profesi yang dihindari oleh laki-laki dengan paham patriarki kebanyakan adalah profesi seperti tukang kebun, tukang cilok, atau petani. Sekalipun tukang kebun, tukang cilok, dan petani juga menggunakan paham patriarki yang sama.

Jika penilaian tentang suatu profesi yang dianggap rendah ataupun yang dianggap lebih tinggi masih ada dan berkelanjutan, maka mungkin saja keramah tamahan kita terhadap sesama bisa semakin tenggelam. Rasa saling menghormati sebagai mahluk ciptaan tuhan lambat tahun semakin pudar. Semua dilihat dari profesi apa dia bekerja, bukan manfaat apa yang dihasilkan dari pekerjaan suatu profesi itu. Kita adalah orang timur yang beragama, sementara di dalam agama semua pekerjaan memiliki level yang sama. 

Karena sebaik-baiknya orang yang bermanfaat adalah orang yang bekerja. Dan seburuk-buruknya orang yang bekerja adalah orang yang gelap dengan tahta. Di lain itu, keimanan dan ketakwaan hanya diketahui oleh Tuhan semata. Sementara sampai saat ini melalui profesi yang kita tekuni, kita masih bersikeras agar orang lain mengetahui siapa diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun