Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Krismon: Bagian 2 di Atas Tanah yang Subur

23 Maret 2022   14:16 Diperbarui: 9 Maret 2023   00:48 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2. Di Tanah yang Subur

Hidup di desa bagi sebagian orang merupakan hal yang tidak istimewa. Apalah yang dikerjakan pemuda desa, paling-paling hanya menggembala kambing, mencari rumput dan pergi ke tegalan untuk mencari batang kayu kering. Mencari pekerjaan di ibu kota menurut sebagian orang desa adalah sebuah kelebihan. Entah mengapa pemikiran ini terjadi bertahun-tahun. Siapa sangka orang-orang tua kerap mengusir anak-anaknya untuk segera mandiri, mencari kehidupan dengan tangan sendiri, merantau sejauh-jauhnya. Mengharapkan segala sesuatu yang ditawarkan ibu kota. 

Bagi Krismon sendiri hidup di kota tidak lagi menjadi tujuannya. Pikirannya terpusat pada kedua anak-anak yang belum khatam mengelap ingus. Setiap hari pemuda berusia dua puluh tujuh tahun ini harus membagikan waktunya dengan kedua keponakannya. Menjadi seorang ayah sebelum menikah adalah malapetaka bagi dirinya sendiri. Namun semua keputusan itu telah ditetapkan sebagai bagian dari tanggung jawabnya.

Di rumah kayu beralaskan tanah itu Krismon harus mengurus tiga orang sekaligus. Seseorang pria tua dan kedua bocah berusia enam tahun. Tidak ada kata mengeluh dari bibirnya sedikit pun. Juga tak ada tanda-tanda penyesalan. Wajah pria berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat bersahabat dengan siapa saja. Tidak terutama kepada bapaknya sendiri. Dukri sudah tidak berdaya menarik lutut-lututnya untuk beranjak. Paling-paling ia hanya mampu berjalan sebentar saja dan hanya beberapa meter saja. Semua waktunya telah habis begitu saja, hanya menyisakan garis keriput pada wajah malang itu. Tentu saja bagi Krismon waktu terbaik bagi dirinya saat ini adalah bersama keluarga. Membesarkan kedua ponakan yang entah bagaimana kabar bapak-ibunya. Sekaligus menemani sisa-sisa umur Dukri di kursi hukumannya itu.

Hampir tak kenal Lelah, seorang Krismon mencari penghidupan siang dan malam. Ketika suara subuh telah usai menggema dalam langit yang masih gelap, pria itu sudah mulai sibuk di dapur seperti layaknya wanita. Membangunkan seisi keluarga untuk segera sembahyang lalu beradu lapar di meja makan. Tidak nampak rasa kesal sama sekali pada dirinya, meskipun membangunkan kedua anak-anak ingusan bukanlah hal yang mudah. Apa lagi menyuruhnya pergi ke musala. Juga kepada tubuh kakek tua itu, dengan sepenuh hati Krismon membantunya berdiri dari ranjang dan memapahnya sampai ke musala lalu mendudukan tubuh itu di kursinya. Tidak ada kalimat mengeluh, meskipun diri telah begitu direpotkan oleh manusia-manusia lemah.

Sehabis menyantap menu sarapan yang hanya gorengan tempe dan nasi putih hangat biasanya Krismon bergegas menuju sawah. Tidak banyak yang dapat ia kerjakan dengan pena, meskipun pria itu pandai menulis. Tidak banyak yang dapat dikerjakannya dengan buku, meskipun ia pandai membaca. Bagi krismon sendiri hidup sebagai anak muda yang aktif di lingkungan dengan rajin membuat banyak kegiatan adalah masa lalu. Keadaan telah berubah seiring berjalannya waktu. Sampai suatu ketika datanglah hari yang penuh lelah. Bahkan Krismon sendiri tidak pernah memikirkan bagaimana cara untuk menutup masa-masa membujangnya. Ia sendiri lupa bagaimana cara menyukai seorang gadis yang elok dengan lekukan tubuh yang indah. Pria malang itu hamper-hampir tidak pernah melirik satu gadis pun untuk ia culik. Tubuhnya yang telah berubah membuat dirinya tak lagi bernafsu mencari kesenangan dengan perempuan. Kulitnya sudah mulai menghitam akibat terlalu sering terkena matahari. Belum lagi ia juga tak punya pakaian bagus yang cukup untuk menarik hati siapa saja termasuk perempuan. Kebanyakan baju-bajunya di lemari hanya berisi pakaian dinasnya menguli. Ada beberapa potong kaos dan beberapa potong celana pendek. Pakaian terbaiknya hanyalah sarung dan baju koko saja. Itu pun ia kenakan hanya saat hari jumat tiba.

Ketika waktu siang sebelum adzan dzuhur tiba biasanya Krismon mempercepat pekerjaannya dan bergegas menuju ke rumah. Tentu saja yang di pikirannya tidak lain tidak bukan adalah perut lapar dari kedua ponakannya dan Dukri, pria tua itu. Meskipun hanya menggarap sawah Krismon tidak pulang dengan tangan kosong. Biasanya ia membawa lauk pauk yang dibungkus dengan daun jati muda. Pemilik sawah yang akrab dipanggil Darno Blenduk selalu memberikan jatah makanan bagi para pekerjanya. Si pemilih sawah selalu memberikan Krismon jatah makan siang yang spesial. Sebenarnya Darno Blenduk tidak benar-benar menjadikan pria malang itu spesial. Tapi Krismon sendiri yang meminta agar jatah makan siangnya cukup lauk saja tidak perlu nasi. Karena permintaan yang demikian itu Darno Blenduk melebihkan jumlah lauk untuk mengganti jatah nasinya.

Darno Blenduk sebenarnya bukanlah seseorang yang meletakan perhatian kepada keluarga Dukri. Ia menganggap semua kulinya sama saja. Tidak ada yang dispesialkan. Namun beberapa kali Krismon selalu datang kepadanya untuk meminta kasbon dan memohon agar Darno Blenduk segera memanggil dirinya jika tenaga pria bertubuh besar dan berkulit gelap itu dibutuhkan. Tentunya maksud Krismon supaya ia tidak kesusahan lagi mengembalikan hutang-hutangnya dengan mencari hutang baru. Tapi ternyata secara tidak langsung Darno Blenduk memberi perhatian melalui analisa-analisa dipikirannya yang ia tangkap dari kedua matanya untuk menghabiskan waktu mengawasi gerak-gerik pria malang itu.

Pada suatu hari di pagi yang berselimut mendung ketika sawah-sawah terus diguyur hujan dan padi-padi tumbang oleh hama, Darno Blenduk berencana menyuruh Krismon untuk menjaga kondisi sawah dengan mendirikan beberapa panggok. Tentunya panggok-panggok itu akan digunakan untuk berteduh jika para kuli di sawah terkena hujan. Sekaligus untuk dijadikan pos penjagaan saat malam. Maklum saja dalam kondisi serba terpepet banyak kawanan maling yang merusak bibit padinya. Bahkan bibit-bibit padi itu pernah suatu hari dicuri lalu para pencuri juga menggondol habis jagung-jagungnya yang masih muda. Mungkin para pencuri menganggap kehilangan dua tiga buah jagung bagi seorang Darno tidaklah berarti apa-apa. Ia punya tanah yang melimpah dan subur. Tentunya ia masih cukup kaya. Tapi bagi Darno Blenduk sendiri itu sama artinya dengan sebuah kepercayaan dan tanggung jawab. Jika ada beberapa tanaman yang dicuri dari tanahnya, itu sama artinya dengan merusak kebahagiaan kaum tani, terutama sekali kebahagiaan para kulinya. Namun sayangnya ketika ia baru sampai di rumah Dukri untuk melanjutkan keniatannya itu, dengan suasana hening dan haru terbengong-bengonglah ia melihat seorang pria tua memejamkan mata di atas kursi.

Kabar tentang meninggalnya Dukri kakek berusia tujuh puluh tahun lebih itu menggaung ke seluruh desa. Ia telah meninggalkan anaknya yang masih hidup membujang dan kedua cucunya yang belum khatam ingusan. Selalu saja ada perasaan sedih di setiap kepergian. Padahal belum tentu yang pergi akan merasakan penderitaan. Tidak selamanya yang pergi membawa rindu. Dan tidak selamanya pula yang ditinggalkan akan tetap ada sampai dunia kiamat. Sejatinya manusia hanyalah makhluk yang memberikan luka kepada orang terkasih. Memberikan banyak kenangan semasa hidup dalam kepala orang-orang terkasih. Lalu orang-orang terkasih akan menelan baik-baik rindu itu sampai gilirannya tiba.

Tentu saja seseorang yang merasa kehilangan adalah Krismon sendiri. Tidak berhasil menyatukan kakak-kakaknya di rumah kayu itu merupakan sebuah kegagalan yang serupa dosa. Memang Dukri sempat menyerah untuk menghubungi anak-anaknya. Namun Krismon kepalang terlanjur berjanji untuk mengembalikan hubungan antara bapak dan anak itu. Lalu ia kembali membawa kedua ponakannya. Menambah beban tersendiri bagi kehidupan Dukri yang sudah teramat menyesal. Padahal baru beberapa waktu yang lalu pria tua itu menerima kepulangan cucu-cucunya dengan wajah haru. Dukri merasa menyesal pernah bersikap keras kepada bapak-bapak kedua bocah itu. Dan belum lama kehidupan barunya dimulai dengan Eka kecil dan Saepul kecil lalu kini ia harus menutup mata meninggalkan semua pilunya.

Hari yang tidak seperti biasanya pada pagi itu. Mendadak rumah kayu lapuk yang dahulu sepi kini mendadak ramai. Cukup membuat kedua mata bocah itu kebingungan. Bagi Satrio dan Ridwan kedatangan banyak tamu yang tak dikenalnya merupakan sebuah pengalaman baru. Kedua bocah itu tidak mengerti sama sekali apa yang tengah terjadi. Mereka hanya tahu kalau kakeknya meninggal dunia. Tapi apalah arti semua kepergian itu dengan hadirnya manusia-manusia asing yang ikut berduka. Mereka berdua tidak berpindah posisi saat jenazah dimandikan. Mereka berdua duduk di teras rumah sambil memasang wajah polos menatap dalam-dalam keramaian. Tidak banyak yang mereka kerjakan selain menunggu Krismon kembali menemukan diri mereka. Dalam langkah kaki mungilnya Ridwan dan Satrio menunggu jenazah menuju proses pemakaman. Apakah yang akan terjadi kepada kakeknya dan kenapa semua orang ikut menangis. Bagi kedua bocah itu apa yang baru dilihatnya merupakan sebuah pengalaman baru. Meskipun sebuah pengalaman baru, tapi keduanya telah memahami bahwa itu artinya tidak ada lagi hari esok dengan Dukri lagi.

Begitu juga dengan Darno Blenduk yang menggagalkan rencananya. Kini ia pun harus mencari tenaga lain untuk mengerjakan apa yang dikehendakinya. Sementara itu Krismon sedang berduka untuk beberapa hari ke depan. Maka dengan itu artinya ia harus meliburkan diri untuk tidak pergi ke sawah. Mendalami kesendirian baru di rumah yang lama. Merasakan hari yang panjang tanpa berubahnya keadaan, tetap miskin dan tetap sendirian. Kedua bocah itu memang bersama dirinya. Tapi masalah lain dan untuk kebutuhan yang lain pula Krismon akan menjadi pria malang tanpa seorang kekasih.

Kini di setiap malam setelah meninggalnya Dukri, Satrio dan Ridwan sering kali menangkap wajah pamannya yang kerap murung. Kedua bocah itu pernah mendapati pamannya tengah duduk di depan pawon sambil meneteskan air mata. Mereka juga pernah memergoki pamannya yang tiba-tiba melamun di depan pintu rumah. Sekejap saja keadaan telah banyak berubah. Kedua bocah itu kini telah menangkap samar-samar rindu. Tentang sebuah kebenaran akan perpisahan. Mereka telah mengalami hal serupa tapi tak sama. Menambah antara rindu dan kesal menjadi sebuah perasaan baru. Perasaan yang pernah menimpanya, bagaimana bapak ibu mereka mengusir kedua bocah itu dan bagaimana kakek tua itu memberikan salam kepergian dengan melambaikan tangannya. Semua itu ialah perasaan tentang kesendirian.

Hari duka telah berlalu. Bagi seorang Krismon yang sudah matang berpikir, ia tahu apa yang harus dikerjakannya. Usia kedua bocah itu sebentar lagi menginjak tujuh dan itu artinya mereka akan segera disekolahkan. Mengingat kembali pada sebuah janji yang telah lalu. Krismon kembali dengan semangat baru. Kini ia tidak lagi bekerja pada Darno Blenduk lagi. Sebab tidak mungkin Krismon jauh dari kedua anak yang masih perlu pengawasan itu. Ditambah lagi pada waktu-waktu tertentu seperti sehabis salat ashar Krismon membuat jadwal khusus untuk para keponakannya. Jadwal itu berisi kegiatan yang dipersiapkannya menjelang mereka masuk sekolah. Seperti membaca dan menulis. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kini ia mempunyai sebuah rencana baru. Pekarangan di samping rumahnya akan ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Tentunya sesuai dengan kepandaiannya yaitu menanam. Namun sepertinya ada bagian yang terlupakan. Sebenarnya Krismon pernah melakukan upaya itu bersama dengan Dukri namun hasil yang didapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentu saja karena hasil menanam jagung yang hanya berbuah tiga bulan sekali kala itu tidak terjual dengan harga pantas. Sudah tentu Krismon tidak akan mengulangi nasib yang sama lagi. Lantas ia memutuskan untuk beralih dari ide awalnya.

Ketika malam memberikan ketenangan kepada para petani untuk mengobati lelahnya, Krismon mengunjungi kediaman Darno Blenduk untuk meminta pertolongan. Sebenarnya pria malang itu datang kesana berkeniatan untuk menawarkan sebidang tanah kepada Darno Blenduk. Tetapi posisi tanah dan keadaan tanah yang kering membuat Darno Blenduk tidak tertarik untuk membelinya. Krismon tidak tinggal diam atas kegagalan rencana itu, lantas ia memutar otaknya untuk dapat menerima segepok uang dari Darno Blenduk. Dengan kepandaiannya bernegosiasi yang entah dari mana datangnya itu maka diputuskan bahwa tanah itu akhirnya tidak jadi dijual melainkan digadaikan. Harga tanah di desa yang masih murah dan luas tanah yang tak seberapa itu hanya dapat menghasilkan sejumlah uang saja. Memang tidak sampai berpuluh-puluh juta. Hanya beberapa juta saja. Namun hasil dari uang itu Krismon belikan sebuah motor bekas dan sisanya ia gunakan untuk membuat gerobak sebagai modal usaha. Gerobak itu ia buat sendiri agar dapat menghemat biaya. Ia membuat gerobak yang dapat dikaitkan ke atas badan motor, namun masih menyisakan beberapa jengkal bagian untuk ia duduki.

Pagi yang cerah untuk hari depan. Tidak ada lagi sinar matahari di tengah sawah. Tidak ada lagi jatah makan siang yang dibungkus daun jati muda. Kini Krismon telah merubah dirinya menjadi tukang sayur dan berjualan bahan-bahan masakan. Dengan sepeda motor itu Krismon dapat menjual barang jajahannya ke desa-desa yang lebih padat penduduk. Baginya mencari pembeli adalah ide yang tepat daripada menunggu pembeli. Melihat orang-orang di desanya harus pergi jauh ke pasar untuk mendapatkan bahan makanan dan banyak menghabiskan biaya transport, maka dari itu ide ini muncul di pikiran Krismon untuk memudahkan para ibu-ibu bekerja di dapur. Apa lagi berjualan dengan model keliling seperti ini tidak banyak dijumpai. Terutama sekali di desanya. Para ibu-ibu cukup menunggu di teras rumah sambil bergosip atau sekedar mencari kutu. Kemudian datanglah Krismon memudahkan urusan mereka. Memilih bahan masakan sambil bergosip adalah sebuah kebahagiaan yang ditawarkan.

Berbulan-bulan usaha demikian itu digelutinya hingga datang pada sebuah masa, kedua bocah itu kini telah duduk di bangku sekolah dasar. Siapa yang tidak suka berangkat ke sekolah. Bertemu banyak teman dan bermain bersama. Menyapa guru setiap paginya dan mencium tangan mereka ketika pulang menuju rumah masing-masing. Beruntung surat kelahiran dan beberapa surat penting ikut diborong saat Krismon menjemput kedua bocah itu. Krismon agak kesulitan mengurus pendaftaran, pertama sekali karena kedua bocah itu bukan darah dagingnya sendiri. Apa lagi beberapa berkas penting milik Satrio tidak ada, habis terbakar. Kejadian itulah yang menyebabkan bocah tersebut bertemu dengan kakeknya. Bahkan Krismon sendir belum sempat melihat wajah Eka saat menjemputnya untuk menanyakan keadaan. Hasilnya Krismon membuat ulang data kelahiran tersebut. Dan beruntung sekali bocah itu sudah hafal hari lahirnya sendiri. Meskipun tidak semua surat penting ada di tangannya, namun hal itu tidak mengurangi kesulitan. Setidaknya melalui persyaratan yang cukup rumit itu Satrio dan Ridwan bisa segera mengenyam pendidikan.

Setiap pagi Krismon melakukan apa yang memang sudah menjadi rutinitasnya. Sebelum berangkat berdagang ia menyempatkan waktu untuk menyiapkan makanan. Terutama sekali makanan untuk sarapan di pagi hari, bekal untuk dirinya dan kedua bocah itu. Berminggu-minggu cara seperti ini dilakukan untuk menjaga perekonomian keluarga. Untungnya bagi Satrio dan Ridwan menyantap hidangan buatan pamannya adalah sebuah kebahagiaan. Mereka tidak sedikit pun tergiur dengan aneka macam makanan di kantin. Kalau sekedar melirik memang pernah mereka lakukan beberapa kali. Para pedagang makanan di depan sekolahnya memang cukup menyita perhatian mata. Tapi tentu saja ia harus menahan lidah. Juga karena tidak ada sepeserpun uang untuk membeli. Krismon memang tidak memberikan kedua bocah itu uang recehan. Bukan karena ia perhitungan dan bukan juga karena pelit. Selain harus membayar bulanan sekolah, pria itu pun harus membayar hutang-hutangnya. Darno Blenduk memang tidak meminta uang saat itu juga. Tetapi bagi diri Krismon tidaklah baik menunda pelunasan hutang jika waktu masih memberi kesempatan. Belum lagi pria malang itu pun harus segera menebus tanah milik bapaknya. Apa jadinya nanti kalau kedua kakaknya tahu, tapi terkadang Krismon perlu juga mengabaikannya. "Ah, apalah arti semuanya itu," seperti itulah gerutunya. Sekali waktu Krismon memang harus membulatkan perilakunya. Setidaknya uang dari hasil gadai tanah itu ia gunakan untuk kepentingan keluarga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun