Tentu saja seseorang yang merasa kehilangan adalah Krismon sendiri. Tidak berhasil menyatukan kakak-kakaknya di rumah kayu itu merupakan sebuah kegagalan yang serupa dosa. Memang Dukri sempat menyerah untuk menghubungi anak-anaknya. Namun Krismon kepalang terlanjur berjanji untuk mengembalikan hubungan antara bapak dan anak itu. Lalu ia kembali membawa kedua ponakannya. Menambah beban tersendiri bagi kehidupan Dukri yang sudah teramat menyesal. Padahal baru beberapa waktu yang lalu pria tua itu menerima kepulangan cucu-cucunya dengan wajah haru. Dukri merasa menyesal pernah bersikap keras kepada bapak-bapak kedua bocah itu. Dan belum lama kehidupan barunya dimulai dengan Eka kecil dan Saepul kecil lalu kini ia harus menutup mata meninggalkan semua pilunya.
Hari yang tidak seperti biasanya pada pagi itu. Mendadak rumah kayu lapuk yang dahulu sepi kini mendadak ramai. Cukup membuat kedua mata bocah itu kebingungan. Bagi Satrio dan Ridwan kedatangan banyak tamu yang tak dikenalnya merupakan sebuah pengalaman baru. Kedua bocah itu tidak mengerti sama sekali apa yang tengah terjadi. Mereka hanya tahu kalau kakeknya meninggal dunia. Tapi apalah arti semua kepergian itu dengan hadirnya manusia-manusia asing yang ikut berduka. Mereka berdua tidak berpindah posisi saat jenazah dimandikan. Mereka berdua duduk di teras rumah sambil memasang wajah polos menatap dalam-dalam keramaian. Tidak banyak yang mereka kerjakan selain menunggu Krismon kembali menemukan diri mereka. Dalam langkah kaki mungilnya Ridwan dan Satrio menunggu jenazah menuju proses pemakaman. Apakah yang akan terjadi kepada kakeknya dan kenapa semua orang ikut menangis. Bagi kedua bocah itu apa yang baru dilihatnya merupakan sebuah pengalaman baru. Meskipun sebuah pengalaman baru, tapi keduanya telah memahami bahwa itu artinya tidak ada lagi hari esok dengan Dukri lagi.
Begitu juga dengan Darno Blenduk yang menggagalkan rencananya. Kini ia pun harus mencari tenaga lain untuk mengerjakan apa yang dikehendakinya. Sementara itu Krismon sedang berduka untuk beberapa hari ke depan. Maka dengan itu artinya ia harus meliburkan diri untuk tidak pergi ke sawah. Mendalami kesendirian baru di rumah yang lama. Merasakan hari yang panjang tanpa berubahnya keadaan, tetap miskin dan tetap sendirian. Kedua bocah itu memang bersama dirinya. Tapi masalah lain dan untuk kebutuhan yang lain pula Krismon akan menjadi pria malang tanpa seorang kekasih.
Kini di setiap malam setelah meninggalnya Dukri, Satrio dan Ridwan sering kali menangkap wajah pamannya yang kerap murung. Kedua bocah itu pernah mendapati pamannya tengah duduk di depan pawon sambil meneteskan air mata. Mereka juga pernah memergoki pamannya yang tiba-tiba melamun di depan pintu rumah. Sekejap saja keadaan telah banyak berubah. Kedua bocah itu kini telah menangkap samar-samar rindu. Tentang sebuah kebenaran akan perpisahan. Mereka telah mengalami hal serupa tapi tak sama. Menambah antara rindu dan kesal menjadi sebuah perasaan baru. Perasaan yang pernah menimpanya, bagaimana bapak ibu mereka mengusir kedua bocah itu dan bagaimana kakek tua itu memberikan salam kepergian dengan melambaikan tangannya. Semua itu ialah perasaan tentang kesendirian.
Hari duka telah berlalu. Bagi seorang Krismon yang sudah matang berpikir, ia tahu apa yang harus dikerjakannya. Usia kedua bocah itu sebentar lagi menginjak tujuh dan itu artinya mereka akan segera disekolahkan. Mengingat kembali pada sebuah janji yang telah lalu. Krismon kembali dengan semangat baru. Kini ia tidak lagi bekerja pada Darno Blenduk lagi. Sebab tidak mungkin Krismon jauh dari kedua anak yang masih perlu pengawasan itu. Ditambah lagi pada waktu-waktu tertentu seperti sehabis salat ashar Krismon membuat jadwal khusus untuk para keponakannya. Jadwal itu berisi kegiatan yang dipersiapkannya menjelang mereka masuk sekolah. Seperti membaca dan menulis. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kini ia mempunyai sebuah rencana baru. Pekarangan di samping rumahnya akan ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Tentunya sesuai dengan kepandaiannya yaitu menanam. Namun sepertinya ada bagian yang terlupakan. Sebenarnya Krismon pernah melakukan upaya itu bersama dengan Dukri namun hasil yang didapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentu saja karena hasil menanam jagung yang hanya berbuah tiga bulan sekali kala itu tidak terjual dengan harga pantas. Sudah tentu Krismon tidak akan mengulangi nasib yang sama lagi. Lantas ia memutuskan untuk beralih dari ide awalnya.
Ketika malam memberikan ketenangan kepada para petani untuk mengobati lelahnya, Krismon mengunjungi kediaman Darno Blenduk untuk meminta pertolongan. Sebenarnya pria malang itu datang kesana berkeniatan untuk menawarkan sebidang tanah kepada Darno Blenduk. Tetapi posisi tanah dan keadaan tanah yang kering membuat Darno Blenduk tidak tertarik untuk membelinya. Krismon tidak tinggal diam atas kegagalan rencana itu, lantas ia memutar otaknya untuk dapat menerima segepok uang dari Darno Blenduk. Dengan kepandaiannya bernegosiasi yang entah dari mana datangnya itu maka diputuskan bahwa tanah itu akhirnya tidak jadi dijual melainkan digadaikan. Harga tanah di desa yang masih murah dan luas tanah yang tak seberapa itu hanya dapat menghasilkan sejumlah uang saja. Memang tidak sampai berpuluh-puluh juta. Hanya beberapa juta saja. Namun hasil dari uang itu Krismon belikan sebuah motor bekas dan sisanya ia gunakan untuk membuat gerobak sebagai modal usaha. Gerobak itu ia buat sendiri agar dapat menghemat biaya. Ia membuat gerobak yang dapat dikaitkan ke atas badan motor, namun masih menyisakan beberapa jengkal bagian untuk ia duduki.
Pagi yang cerah untuk hari depan. Tidak ada lagi sinar matahari di tengah sawah. Tidak ada lagi jatah makan siang yang dibungkus daun jati muda. Kini Krismon telah merubah dirinya menjadi tukang sayur dan berjualan bahan-bahan masakan. Dengan sepeda motor itu Krismon dapat menjual barang jajahannya ke desa-desa yang lebih padat penduduk. Baginya mencari pembeli adalah ide yang tepat daripada menunggu pembeli. Melihat orang-orang di desanya harus pergi jauh ke pasar untuk mendapatkan bahan makanan dan banyak menghabiskan biaya transport, maka dari itu ide ini muncul di pikiran Krismon untuk memudahkan para ibu-ibu bekerja di dapur. Apa lagi berjualan dengan model keliling seperti ini tidak banyak dijumpai. Terutama sekali di desanya. Para ibu-ibu cukup menunggu di teras rumah sambil bergosip atau sekedar mencari kutu. Kemudian datanglah Krismon memudahkan urusan mereka. Memilih bahan masakan sambil bergosip adalah sebuah kebahagiaan yang ditawarkan.
Berbulan-bulan usaha demikian itu digelutinya hingga datang pada sebuah masa, kedua bocah itu kini telah duduk di bangku sekolah dasar. Siapa yang tidak suka berangkat ke sekolah. Bertemu banyak teman dan bermain bersama. Menyapa guru setiap paginya dan mencium tangan mereka ketika pulang menuju rumah masing-masing. Beruntung surat kelahiran dan beberapa surat penting ikut diborong saat Krismon menjemput kedua bocah itu. Krismon agak kesulitan mengurus pendaftaran, pertama sekali karena kedua bocah itu bukan darah dagingnya sendiri. Apa lagi beberapa berkas penting milik Satrio tidak ada, habis terbakar. Kejadian itulah yang menyebabkan bocah tersebut bertemu dengan kakeknya. Bahkan Krismon sendir belum sempat melihat wajah Eka saat menjemputnya untuk menanyakan keadaan. Hasilnya Krismon membuat ulang data kelahiran tersebut. Dan beruntung sekali bocah itu sudah hafal hari lahirnya sendiri. Meskipun tidak semua surat penting ada di tangannya, namun hal itu tidak mengurangi kesulitan. Setidaknya melalui persyaratan yang cukup rumit itu Satrio dan Ridwan bisa segera mengenyam pendidikan.
Setiap pagi Krismon melakukan apa yang memang sudah menjadi rutinitasnya. Sebelum berangkat berdagang ia menyempatkan waktu untuk menyiapkan makanan. Terutama sekali makanan untuk sarapan di pagi hari, bekal untuk dirinya dan kedua bocah itu. Berminggu-minggu cara seperti ini dilakukan untuk menjaga perekonomian keluarga. Untungnya bagi Satrio dan Ridwan menyantap hidangan buatan pamannya adalah sebuah kebahagiaan. Mereka tidak sedikit pun tergiur dengan aneka macam makanan di kantin. Kalau sekedar melirik memang pernah mereka lakukan beberapa kali. Para pedagang makanan di depan sekolahnya memang cukup menyita perhatian mata. Tapi tentu saja ia harus menahan lidah. Juga karena tidak ada sepeserpun uang untuk membeli. Krismon memang tidak memberikan kedua bocah itu uang recehan. Bukan karena ia perhitungan dan bukan juga karena pelit. Selain harus membayar bulanan sekolah, pria itu pun harus membayar hutang-hutangnya. Darno Blenduk memang tidak meminta uang saat itu juga. Tetapi bagi diri Krismon tidaklah baik menunda pelunasan hutang jika waktu masih memberi kesempatan. Belum lagi pria malang itu pun harus segera menebus tanah milik bapaknya. Apa jadinya nanti kalau kedua kakaknya tahu, tapi terkadang Krismon perlu juga mengabaikannya. "Ah, apalah arti semuanya itu," seperti itulah gerutunya. Sekali waktu Krismon memang harus membulatkan perilakunya. Setidaknya uang dari hasil gadai tanah itu ia gunakan untuk kepentingan keluarga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H