Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kebhinekaan Menggunakan Kata

11 Maret 2022   23:58 Diperbarui: 17 Maret 2022   09:52 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berkata-kata. (sumber: thinkstock via kompas.com)

China sudah bisa pergi keluar angkasa, sementara Indonesia masih sibuk mengurus somasi, dan klarifikasi.

Apa yang sedang terjadi di negeri ini? Kenapa belakangan banyak sekali isu sosial yang coba menguji Kebhinekaan kita sebagai penduduk berideologi Pancasila. 

Ataukah karena ajaran guru Kewarganegaraan di sekolah tidak pernah menjadi pelajaran favorit? Lebih membingungkan mana, rumus fisika atau makna tiap sila dalam Pancasila kita?

Setelah kasus di awal pandemi beberapa saat silam, kemarin dan hari ini lebih tepatnya, kita masih mendapatkan masalah sosial yang sama. 

Konspirasi, Isu, opini, dan semua pemicu lainnya, seakan bergiliran menguji Kebhinekaan kita. Kenapa bangsa kita lebih suka obral-obrol ketimbang bergerak dan melakukan sesuatu tanpa seruan.

Apa sebenarnya yang kita dapatkan dengan berbicara? Bukankah setiap kata dan kalimat memiliki terjemahan yang berbeda tergantung di mana, siapa, dan dalam situasi apa kata atau kalimat itu diucapkan? Apa yang akan terjadi dengan hari depan kebhinekaan kita?

Belakangan kita melihat pada media, sebuah masalah yang dialami oleh sejumlah figur diakibatkan oleh sebuah rangkaian kata. Keadaan ini membuat kita sebenarnya selalu bermasalah dengan kata, bukan dengan masalah yang benar-benar terjadi.

Seperti masalah penggunaan bahasa daerah dalam sebuah forum resmi yang mempertemukan sejumlah penutur dari berbagai bahasa. 

Tentunya semua rakyat Indonesia setuju, bahwa bahasa daerah merupakan sebuah kekayaan dari warisan leluhur yang patut dijaga. Bagaimanapun juga kedudukan bahasa Indonesia memiliki andil untuk menyatukan perbedaan ini. 

Forum resmi yang mempertemukan sejumlah penutur bahasa dari berbagai daerah perlu menyadari rasa nasionalisme berbahasa. 

Bahwa forum resmi tersebut telah mempertemukan mereka dengan penutur bahasa daerah yang lain, sehingga seluruh anggota forum yang berinteraksi harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai wujud Kebhinekaan mereka.

Belakangan ini bahasa daerah telah kembali melejit di kalangan penggiat, dan seniman.

Seperti film pendek berjudul "Tilik" karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo misalnya, suguhan cerita berdialog Jawa yang keluar dari mulut ibu-ibu menjadi sesuatu yang menarik untuk menggait pasar. 

Entah ada atau tidaknya misi melestarikan bahasa daerah, yang jelas dialog-dialog berbahasa Jawa yang diucapkan di dalam trek oleh para ibu-ibu itu amat sangat menghibur dan mengundang tawa. Tidak ada masalah bagi penonton di luar bahasa Jawa yang menikmati film ini bukan?

Film Tilik diunggah ke dalam Youtube pada tanggal 17 Agustus 2020 ini nyatanya telah mendapatkan penonton sebanyak dua puluh enam juta. Dan orang sebanyak itu kemungkinan besar bukan hanya orang berbahasa Jawa. 

Orang sebanyak itu tidak berkomentar buruk dengan bahasa yang digunakan, sekalipun mungkin mereka tidak benar-benar mengerti apa yang para aktor katakan di dalam cerita jika tanpa melihat teks terjemahan bahasa Indonesia. Itu karena tempat untuk tersampaikannya ekspresi berbahasa itu sesuai dan tepat. 

ilustrasi berkata-kata. (sumber: thinkstock via kompas.com)
ilustrasi berkata-kata. (sumber: thinkstock via kompas.com)

Lalau bagaimana jika sebuah dialog berbahasa daerah dituturkan saat sebuah acara resmi berjalan? Sementara si penutur berada di tengah-tengah sejumlah orang berbahasa daerah lain dengannya. 

Bukankah ini menandakan tidak adanya kesopanan berbahasa, yang malah justru mencedrai nasionalisme berbahasa, dan kebhinekaan kita dalam memeluk bangsa yang beragam ini.

Sebagai pewaris suku budaya, kita memiliki bahasa ibu yang mana berasal dari daerah kita masing-masing. 

Namun kita perlu juga mengetahui kedudukan bahasa Indonesia di tengah-tengah kita. Atau jangan-jangan bahasa Indonesia hannyalah sebuah pelengkap identitas saja, tanpa dibarengi dengan pemahaman atas fungsi, peran, dan kedudukannya.

Selain masalah penggunaan bahasa daerah yang menuai isu permusuhan, belakangan kita juga disuguhkan dengan banyaknya aksi klarifikasi. Entah kenapa masyarakat kita seolah-olah tidak paham bagaimana cara berbahasa, dan bagai mana cara memahami bahasa. 

Bahkan dengan konsep seni bercerita saja harus ketar-ketir untuk menyiapkan bahan kata-kata klarifikasi. Sudah berapa banyak teman-teman komedian kita akhirnya tak dapat demokrasi. Mereka hannyalah menggunakan bahasa untuk seni mereka.

Somasi membuat pelaku berbahasa menjadi kian buntu dalam memilih kata-kata. Menumpulkan daya kritis, dan menakut-nakuti yang baru belajar pengetahuan. 

Sehingga semua orang memilih untuk diam ketimbang berkata-kata. Somasi pula menunjukan ketersinggungan seseorang dalam menerima pendapat yang mana isinya hanyalah sebuah kata-kata. Ia tidak meledak, dan tidak pula menjerat, namun ketersinggungan membuat kebhinekaan tampak jauh di sebrang lautan.

Padahal ada banyak sekali penjajahan bahasa Asing yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Hampir di seluruh aktivitas, dan di setiap jengkal kota. 

Kedatangan mereka acap kali memotong kalimat yang memberikan simbol-simbol globalisasi. Khusunya bagi warga kota Jakarta, yang membuat sejumlah variasi baru menggunakan bahasa asing. 

Bahkan keberadaannya seolah jauh lebih punya gaya ketimbang menggunakan bahasa Slang yang dianggap lebih rendah dari bahasa Indonesia.

Sudah berapa kali kita mendengar dari lawan bicara kita yang berbahasa asing di tengah-tengah perbincangan? Sudah sesering apa kita membaca bahasa asing pada poster iklan? 

Mereka datang dengan hipnotis yang luar biasa pada ponsel kita. Dan apa yang terjadi hari ini, tidak ada satu pun warga negera yang membela. Padahal bahasa Indonesia milik seluruh suku bangsa dari ujung Papua, hingga ujung Sumatera.

Di mana sebenarnya sifat konservatif kita yang berkubu-buku itu? Apakah sebatas untuk egoisme kedaerahan sendiri? Seharusnya rasa yang sama pula muncul untuk mencegah kehancuran bahasa pemersatu kita. Ataukah mungkin makna kebhinekaan hannyalah sebatas isapan jempol saja.

Suku bangsa yang beragam di negeri ini hannyalah dapat bersatu dengan kedewasaan. Sementara kecintaan kita kepada bahasa daerah sejatinya adalah sebuah tiang penyangga untuk memperlihatkan kearifan.

Sekaligus pula sebagai penyokong bahasa Indonesia yang telah terlalu banyak menyerap bahasa asing. Jika kita bersatu di bawah bendera yang sama, maka kita menjadi besar sebagai contoh untuk dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun