Hal ini cukup miris mengingat semua orang yang telahir sejak bayi memiliki hak untuk hidup, dan memilih sekalipun seorang balita belum tahu dan bisa menentukan pilihan. Namun kebanyakan orang tua memberikan harapannya sebagai sebuah tuntutan atau semacam balas budi setelah apa yang ia berikan sepanjang hayat.
Sama seperti kisah Tuyul, sang bocah pencuri profesional dari jagat halus. Sebagai anak dari kehidupan gaib, ia dirawat oleh manusia dengan catatan balas budi. Si Tuyul diwajibkan untuk mencuri uang sebanyak-banyaknya, sementara ia mendapatkan hadiah berupa air asi. Asi yang dimaksud dalam cerita tentu saja bukan asi yang sebenarnya, namun hal ini sangat mirip sekali dengan refleksi kehidupan nyata. Di mana orang tua menuntut anaknya untuk membalas budi.
Asi sendiri memiliki arti sebagai hak seorang bayi yang baru terlahir kedua. Sebuah simbol kasih sayang sekalipun diwujudkan dengan bentuk material. Karena asi telah menjadi hak bagi seorang bayi, maka kurang tepat adanya jika benda cair itu digunakan sebagai alasan balas budi.
Sejauh ini hubungan Tuyul dengan majikan yang mengasuhnya hanyalah sebatas fisik belaka. Meskipun kenyataannya secara fisik Tuyul bukanlah anak asli mereka. Sama seperti alasan seorang anak mencari harapan yang didasari oleh balas budi, yang bersifat materialistik kepada orang tuanya. Begitu pula dengan konsep balas budi yang terdapat dalam cerita ini, di mana  majikan memberikannya asi dan si Tuyuk membalasnya dengan menjadi pencuri untuk mendapatkan banyak uang.Â
Sering terjadi dalam lingkungan hidup manusia pada abad yang teramat sulit untuk bertahan ini. Orang-orang tua kerap memberikan doktrin bagi anak-anak mereka untuk mencapai sesuatu yang tidak sesuai kebebasan sang anak. Dalih ingin memberikan pesan dan amanat, tidak sedikit orang tua yang mencoba menggunakan narasi balas budi agar anak-anaknya menurut.
Alasan-alasan balas budi anak kepada orang tua melulu soal material fisik, adanya muncul dialog-dialog pertanyaan seperti: siapa yang membesarkan dan memberikanmu makan sejak kecil? Siapa yang menyekolahkanmu? Dengan uang siapa kamu mendapatkan gelar? Dan sederet pertanyaan menyudutkan balas budi yang lainnya.
Seorang anakpun tidak dapat mengelakkan pertanyaan yang dilemparkan orang tua kepadanya. Ia kemudian membalas budi atas dasar pemberian material fisik dengan jawaban: karena orang tua yang melahirkan aku, karena mereka membesarkanku dan memberiku makan sejak kecil, karena mereka menyekolahkanku hingga tamat sarjana, dan semua alasan balas budi yang kadung menjadi dasar cita-cita.
Tanpa disadari, seorang anak dalam posisi ini telah kehilangan kebebasannya untuk mencari jati diri. Memang harapan balas budi orang tua tidak sedikit yang membatu anak dalam mencari penghidupan. Tetapi bagaimana dengan kejujuran hati mereka? Tidak sedikit pula seorang anak yang melakukan penyimpangan akibat paksaan halus orang tua.
Seperti itulah refleksi kisah hantu Tuyul yang memiliki relevansi terhadap keadaan nyata. Dalam cerita sendiri Si Tuyul dibuat seolah-olah sebagai makhluk yang sangat licik dan juga biadab. Ia selalu meminta tumbal dan cemburu mana kala sang majikan memiliki momongan. Sebenarnya ini akibat perbuatan majikannya sendiri. Si pencuri dari negeri gaib itu tidak lantas menjadi anak kesayangan hanya karena pandai mencari uang. Ya tentu saja karena sang majikan hanya menginginkan uang darinya bukan keberadaan bocah gaib berkepala plontos itu.
Paragraf di atas dapat kita artikan dalam kasus anak-anak yang merasa tidak bahagia setelah mewujudkan harapan orang tuanya. Mereka merasa hidupnya begitu hampa di bawah cengkraman yang katanya cita-cita keluarga. Biasanya seseorang anak yang terpaksa menjadi sesuatu atas dasar tuntutan orang tua, ia akan mengalami gangguan psikis sperti, stres, dan gangguan psikis yang cendrung menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak berdayaannya dalam mencapai cita. Tidak jarang kasus semacam ini akhirnya malahan menyulitkan orang tua itu sendiri dan anaknya yang berimbas pada hubungan emosional mereka.
Tokoh hantu pesugihan bernama Tuyul dalam pemabahasan di atas dapat dijadikan sebuah simbol impian seorang ibu dan bapak dalam meletakan beban harapan kepada anak-anaknya yang tidak jarang harapan itu tandas akibat egoisme mereka sendiri.Â