Heru Kesawamurti dengan naskah "Dhemit"-nya memiliki kesamaan yaitu mengaitkan manusia dengan mahluk halus seperti setan atau hantu. Yang mana bagi masyarakat Indonesia cerita semacam itu telah mengakar dari dahulu. Heru berpikir logis jika setan atau demit memang benar ada, dengan menggambarkan aktivitas, permasalahan, sampai struktur sosial mereka. Nyatanya penyajian seperti itu membuat naskah "Dhemit" bergenre komedi, tidak terbayang bagaimana suara ketawa penonton saat milhat naskah "Dhemit" ini dimainkan. Tapi kembali lagi kepada pembaca, apakah dialog-dialog satir dalam naskah ini disebut komedi atau malahan menjadi bahan renungan. Bahawa sebenarnya demit adalah manusia itu sendiri, karena cerita tentang Genderuwo, Wilwo, Egrang, dan Kuntilanak berasal dari cerita buatan manusia itu sendiri.
Sedikit berbeda tapi sama, naskah "Setan dalam Bahaya" dengan "Dhemit" ini terbilang satu benang lurus namun berbeda ujung. Dhemit karya Heru Kesawamurti lebih condong untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru selama Bapak Pembangunan memimpin negara. Banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi. Di mana manusia Indonesia tidak lagi memegang teguh pendirian leluhur, tetapi malah merusaknya dengan kemodernan. Dan semua hinggar bingar tentang kehidupan mentereng yang semu.
Satu poin yang sama dalam kedua naskah drama ini adalah sama-sama membahas tentang sifat, pemikiran, dan kekuasaan manusia yang merusak. Keduanya sama-sama membawa gerakan perdamaian, mencintai kehidupan yang rukun dan membiarkan perbedaan sebagai ciri sebuah bangsa tanpa perang dan permusuhan. Jika Taufiq Al Hakim mendekonstruksi keberadaan Setan yang selalu membawa bencana peperangan, Heru Kesawamurti lebih memilih untuk mendekonstruksi demit yang menjadi tumbal atas keserakahan manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI