Contoh di atas adalah gambaran sederhana dari kegiatan literasi yang sebenarnya. Di mana si pelaku literasi bisa saja mendapatkan informasinya secara lisan ataupun tulisan. Bahkan ia juga perlu menggunakan kemampuannya dalam membaca keadaan, melihat gejala yang terjadi melalui kedua matanya secara langsung. Dalam artinya ia tidak membaca tulisan ataupun mendengar ucapan, melainkan membaca sendiri dengan seluruh panca indranya.
Apakah Kita Sudah Berliterasi?
Jawaban dari judul di atas tentu saja mudah, ya kita sudah berliterasi. Tapi literasi seperti apa yang terjadi pada masyarakat kita? Nah, itulah pertanyaan yang lebih tepatnya.
Seperti yang sudah dikatakan pada paragraf sebelumnya. Literasi tidak hanya membaca, tetapi juga mendengarkan. Secara mayoritas, literasi kita didapatkan melalui guru, pendakwah, pendeta, atau figur seorang tokoh yang menyampaikan sebuah pengetahuan atau informasi melalui lisan. Pada acara adat, kotbah jumat, pidato, atau kegiatan adat yang lain kita telah berliterasi dengan cara lisan. Tapi mendengarkan dan menyimak saja tidak cukup. Untuk mendapatkan kebenaran dari apa yang kita dengar, tentunya membutuhkan data yang valid. Dan data tersebut dapat kita temui melalui referensi bacaan.
Pasti kita tidak asing dengan pernyataan bahwa minta baca kita di urutan 60 dunia. Entah dengan metode analisa seperti apa, pernyataan itu secara kontan telah dipergunakan sebagai cara untuk berdagang. Baik oleh komunitas, penjual buku, maupun guru di sekolah kita. Bisa saja pernyataan itu benar dan bisa saja salah. Yang jelas minta baca masyarakat kita tidak mendadak melonjak naik hanya karena sebuah pernyataan. Seperti contoh mantan karyawan swasta tadi, perlu adanya sebuah kesadaran untuk berliterasi.
Kesadaran akan berliterasi melalui sumber bacaan memang tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat kita. Terkesan sepotong dan enggan untuk mengekspor lebih jauh. Sementara kegiatan literasi yang serius hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Di kampus, kita bisa membedakan jenis mahasiswa dari pola perilakunya. Ada yang malas pulang karena bosan di rumah, ada yang betah dilingkungan kampus karena aktivitas belajarnya, dan apa pula yang enggan untuk melakukan apapun kecuali segera berkemas dan rebahan di kamarnya.
Sebagai makhluk sapiens, kita pasti tidak akan mengelak dengan sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Untuk mencapai tujuan, kita tidak boleh sampai salah dalam memilih belokan. Maka di sanalah kita semua menyadari bahwa pengetahuan sangatlah penting dan bermanfaat dalam menjalani kehidupan.
Bagaimana Cara Berliterasi di Era Digital Seperti Saat Ini?
Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, sekalipun pertanyaan dan jawaban serupa kerap muncul di berbagai tulisan. Sebelum kita menjawab pertanyaan pada sub judul di atas, terlebih dahulu kita membuka pandangan terhadap realita yang dialami sebuah media. Sepenuhnya bukan kesalahan sebuah pendidikan, adanya realitas yang terjadi membuat keadaan idealis berliterasi menjadi sekedar kebutuhan konsumtif saja. Yang padahal kebutuhan itu diciptakan oleh penyiar media. Bukan melalui kebutuhan bersama sebagai sebuah bangsa.Â
Kekayaan intelektual yang memadai ini, tidak dapat diolah sedemikian terarah oleh beberapa media. Banyaknya kebutuhan operasional untuk bertahan hidup dan menambah panjang umur menjadi sebuah tantangan media dalam menghadapi realita. Sebenarnya yang demikian itu adalah hal yang lumrah. Mengingat manusia membutuhkan material untuk bertahan hidup dari segala kebutuhan duniawi. Sehingga banyaknya iklan yang terpampang pada kolom berita merupakan nafas hidup bagi media itu sendiri. Keadaan semacam ini perlu dipahami oleh pembaca, sehingga pembaca dapat menentukan sumber yang bisa dipercaya.
Segmentasi atau pasar media juga perlu diketahui oleh calon pembaca. Secara naluri mungkin ini sudah dilakukan, namun tidak benar-benar dipahami. Dalam artian, si pembaca hanya membaca media yang sama setiap hari atau membaca berita secara acak tanpa mengetahui sumber yang tepat.