Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Distorsi Sosial Berbahasa Indonesia pada Masyarakat Daerah Jawa

5 Juni 2021   08:41 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:51 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya bahasa pemersatu, eh malah jadi bahasa perbedaan mutu.

Masalah berbahasa Indonesia masih menjadi kendala orang masyarakat Jawa. Sebenarnya maslah seperti ini tidak hanya dihadapi oleh orang daerah saja, tetapi juga setiap bangsa di seluruh dunia.

Dasarnya bahasa Indonesia dibuat dan disepakati untuk menyatukan semua bahasa yang ada di nusantara. Bahasa Melayu menjadi bagian awal yang diangkat, karena bahasa tersebut tidak memiliki kasta. Lebih lanjut guna menghindari imperialisme berbahasa. Namun bahasa Indonesia tidak semerta-merta menjadi bahasa ibu. Karena keberadaan bahasa daerah juga perlu dilestarikan. Tak khayal keadaan yang seperti ini mewarnai konflik-konflik berbahasa.

Lucunya bahasa Indonesia tidak terlalu diminati oleh sebagian besar masyarakat Jawa yang berdiam diri di tanah kelahirannya. Hal ini tentu saja sangat dilumrahkan. Mengingat bahasa Jawa menjadi bahasa ibu mereka.

Berbeda dengan orang-orang perantauan, mereka yang pernah menginjakkan kaki di kota Jakarta atau pun sekitarnya. Mereka akan sangat terbuka menggunakan bahasa Indonesia. Baik untuk penduduk yang menetap, sesama perantau, ataupun sesama komunitas Jawa di perantauan.

Gara-Gara Kelamaan di Kota

Lagi-lagi kemajuan kota urban dan segala daya tariknya telah menciptakan stereotip di kalangan penduduk tradisional yang konservatif. Keterbukaan kota-kota maju di negeri ini telah banyak menarik minat penduduk dari berbagai penjuru pelosok dengan latar budaya dan bahasanya masing-masing. Mereka merantau dalam upaya mencari penghidupan, menjauhkan dirinya dari kampung halaman. 

Lambat tahun, mereka mendiami kota tersebut dalam waktu yang cukup lama. Sampai pada generasi berikutnya yang dilahirkan dan dibesarkan pada kota maju itu. Sehingga terasa wajar apabila mereka mengaku bahwa dirinya berasal dari kota maju itu, bukan tempat kakek neneknya berasal. Ketertarikan terhadap bahasa daerah dapat hilang pada generasi berikutnya. 

Alhasil kemajuan sebuah kota metropolis dibarengi pula dengan kecemasan akan hilangnya sebuah ciri kebahasaan daerah. Meskipun begitu, masih banyak pendatang di tanah urban yang masih menerapkan bahasa daerah mereka dalam lingkungan komunitas yang kecil. Tetapi pengaruh ibu kota masih sama terasanya.

Alkisah seorang pemuda yang baru saja menggelandang di ibu kota. Ia pulang ke kampung halaman di Jawa Tengah dengan tujuan menghabiskan suasana lebaran bersama keluarga tercinta. Sesampainya di kampung halaman, si pemuda bertutur sapa dengan bahasa Indonesia dengan salah seorang kerabatnya. Bukannya mendapatkan balasan hangat, ia malah dikasih amanat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun