Berbeda dengan dialog sebelumnya, dalam kasus ini kedua tokoh saling menyepakati keberadaan bahasa Indonesia. Meskipun tokoh A tidak bertutur dengan bahasa Indonesia juga. Faktor penyebabnya karena tokoh A mencoba terbuka dengan keadaan di luar bahasa Indonesia itu sendiri. Yaitu pengalaman lawan tuturnya, tokoh B.
Jika dalam kasus sebelumnya kota Jakarta dianggap memberikan pengaruh akan hilangnya identitas bahasa daerah yang cenderung negatif, pada kasus kali ini justru sebaliknya. Bahasa Indonesia yang dituturkan tokoh B mendapatkan perlakuan baik. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh dari luar bahasa Indonesia itu sendiri. Yaitu pribadi si tokoh B.
Lebih lanjut lagi, ternyata paradoks yang serupa muncul di atas mimbar. Seorang kepala daerah berpidato dengan bahasa Indonesia untuk menunjukkan kebolehannya. Para hadirin yang berisi orang-orang dewasa, tua dan sesepuh mengindahkannya begitu saja. Sementara di lingkungan kantor, para pegawai terbiasa menggunakan ragam bahasa Jawa kromo. Artinya kepala daerah tadi sama seperti si pemuda yang baru mudik. Hanya saja faktor jabatan dan situasi membuatnya lebih dihargai.
Citra Penutur Terhadap Bahasa
Lagi-lagi bahasa Indonesia dapat diterima oleh masyarakat daerah karena citra dari si penutur. Entah kenapa hal-hal di luar tata bahasa Indonesia senantiasa mempengaruhi kedudukan bahasa pemersatu. Â
Jika masalah orang Jawa yang berbahasa Indonesia di tanah Jawa selalu membutuhkan situasi, maka yang terjadi adalah bahasa Indonesia tidak sepenuhnya diterima oleh orang Jawa di tanahnya dalam aktivitas sehari-hari. Kecuali bagai orang Jawa yang pernah merantau ke kota Jakarta. Bahasa Indonesia akan menjadi hal yang sangat biasa untuk digunakan kapan saja.
Di sini penulis melihat adanya tidak keterbukaan masyarakat Jawa dalam menerima bahasa Indonesia di tanah mereka. Terkecuali bagi mereka yang pernah menginjakkan kaki di ibu kota. Atau orang-orang yang mengenal situasi bertutur, tahu kapan saatnya bahasa Indonesia digunakan.
Dalam hal ini, tentu saja cita-cita bangsa menggunakan bahasa pemersatu tidak dapat dikatakan gugur. Tetapi mengalami perubahan tujuan. Yang semula sebagai bahasa pemersatu malahan berubah sebaliknya, menjadi pembeda antara individu dengan individu lainnya.
Mirisnya, secara sadar masyarakat daerah menyimbolkan kota Jakarta sebagai kota yang meruntuhkan identitas kedaerahan. Dan masyarakat daerah mempunyai paradigma kalau bahasa Indonesia berasal dari kota metropolis itu. Padahal di kota Jakarta banyak masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana layaknya orang Jawa berbahasa Jawa di tanahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H