Contoh kasus:
A: "Apa kabar Mas?
B: " Alhamdulillah, sehat."
A: "Lama tidak jumpa."
B: "Wah-wah, suwe neng Jakarta omongane malyu-melayu. Wis kelalen apa primen sampean?!"
Dalam dialog di atas, tokoh A menyapa tokoh B dengan bahasa Indonesia tanpa ada masalah. Baru kemudian tokoh B mempermasalahkan tokoh A, karena lawan tuturnya kembali menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur.
Masalah di atas muncul akibat tokoh A menggunakan bahasa Indonesia berulang kali, sehingga tokoh B merasa bahwa tokoh A telah mengalami perubahan. Tokoh B menduga kalau Jakarta telah merubah tokoh A dalam berbahasa. Akhirnya situasi tersebut tidak mendapatkan satu kesepakatan. Alasannya karena tokoh B mengharapkan tokoh A berdialog dengan bahasa Jawa.
Dalam kasus di atas, kota Jakarta dianggap telah merubah budaya berbahasa tokoh A. Entah kenapa kota Jakarta menjadi simbol akan hilangnya identitas kedaerahan seseorang dalam berbahasa. Padahal inti dari permasalahan itu ialah karena tidak adanya kesepakatan berbahasa Indonesia.
Dari permasalahan ini, penulis menemukan distorsi sosial berbahasa Indonesia. Di mana kedudukan bahasa Indonesia terdengar cukup tabu untuk diucapkan. Terlepas dari kesalahan tokoh A dalam melihat situasi bertutur.
Menurut lawan bicara si pemuda itu, berbahasa Indonesia di daerahnya sendiri bukanlah perilaku yang terpuji. Ia menganggap si pemuda itu telah lupa dengan identitas asalnya. Bagi sebagian banyak orang di Jawa tengah, berbahasa Jawa adalah bentuk perilaku ke-jawaan seseorang. Maka berbahasa Indonesia di tanah Jawa dengan sesama Jawa, tidak menghargai bahasa daerahnya sendiri dan keluar dari identitas ke-jawaan.
Bahasa untuk Membangun Citra
Di Jawa Tengah, ragam bahasa Jawa kromo mengisi ruang-ruang formal seperti, lingkungan sekolah, Kantor Kecamatan atau instansi formal lain. Di luar itu, ragam kromo kerap digunakan untuk bertutur dengan seseorang yang lebih tua. Sehingga pemuda tadi tidak mendapatkan perlakuan yang hangat untuk berbahasa pemersatu ini.
Namun sebuah paradoks muncul ketika sesama orang Jawa yang sebaya ataupun tidak berbahasa Indonesia dalam situasi lain. Dalam kasus-kasus alih kode, bahasa Indonesia kerap muncul sebagai bentuk eksistensi diri. Apalagi kasus alih kode antara bahasa Jawa ke bahasa Indonesia di lingkungan Jawa. Tujuannya agar terlihat lebih terpelajar.
Seperti contoh kasus berikut ini:
A: "Sampean kayong apal temen dalanan Jakarta ya. Kayong beres pengalamane."
B: "Jenenge golet pengalaman."
A: "Berarti sukses sing pengalaman?"
B: "Modal sukses itu ya pengalaman."
A: "Bener, pancen hebat sampean."
Ada perubahan bentuk bahasa yang digunakan tokoh B dalam bertutur dengan tokoh A. Semula tokoh B berdialog dengan bahasa Jawa dialek ngapak untuk menanggapi ucapan tokoh A. Namun tokoh B merubah bentuk bahasanya ke bahasa Indonesia untuk menunjukkan kualitas dirinya.