Masih berbahasa asing di negeri sendiri? Bahasa Indonesia sekedar imajinasi.
lagi-lagi masalah berbahasa di ruang publik. Masalah bahasa memang menjadi persoalan yang sangat pelit. Berbagai media dan kelompok terus menyuarakan masyarakat untuk berbahasa yang baik, sesuai kaidah bahasa Indonesia yang benar. Namun kebenarannya, ajakan tetaplah sebuah ajakan. Selama tidak ada perubahan, solusi tetap menjadi wacana tertulis tanpa coba diaplikasikan.
Di mana Letak Kekuatan Suatu Bahasa?
Selain digunakan untuk berkomunikasi, bahasa juga sebagai media ekspresi untuk menunjukan eksistensi manusia. Bentuk kata yang manusia ucapkan penuh dengan syarat identitas. Tidak hanya identitas si penutur itu sendiri, tetapi juga identitas pendahulunya, daerah, suku, budaya atau bahkan agama. Melestarikan bahasa tidak mudah seperti mengomentari gagasan orang lain dalam dunia maya.Â
Ada banyak kesemrawutan yang terjadi di sana-sini. Bahasa memang bukan logam mulia yang dapat dengan mudah diwariskan dan dijaga keadaannya. Ia adalah sebuah bentuk yang menyesuaikan kebutuhkan. Sementara sebagai seseorang yang berjiwa nasionalis, cinta tanah air, konservatif atau apalah itu, pasti menginginkan sesuatu yang lebih total.
Kekuatan sastra dalam mengenalkan bahasa Indonesia belum cukup menjadi solusi. Pasalnya minat baca masyarakat yang masih rendah menjadi penyebab hambatan itu terjadi. Harus ada kekuatan lain untuk mengenalkan bahasa pemersatu ini. Tentunya lingkungan formal saja tidak cukup. Saat ini kita melihat bahasa Indonesia yang baik dan baku hanya ada di dalam sebuah buku, teks artikel, esai, atau sastra. Tapi masih sangat jarang menemukan muda-mudi berbahasa baku dalam lingkungan yang tidak formal.
Entah kenapa bahasa Indonesia dipisahkan dengan adanya situasi formal dan tidak formal. Ragam formal selalu saja dikait-kaitkan dengan lingkungan akademis, orang-orang terpelajar, darah biru, dan level tinggi yang lainnya. Seolah-olah bahasa formal sangat tidak cocok bahkan dijauhkan untuk diucapkan dalam perbincangan kalangan muda-mudi, terutama sekali bagi generasi milenial.Â
Munculnya bahsa Slang dan percampuran bahasa asing, telah mencerdai sumpah. Padahal bahasa Indonesia memiliki tujuan sebagai bahasa pemersatu, bukan bahasa perbedaan mutu. Lantas di manakah letak kekuatan bahasa Indonesia yang sebenarnya? Mungkin demikianlah pertanyaan yang akan dilontarkan oleh orang-orang konservatif.
Perspektif Kelompok Membuat Bahasa Menjadi Begitu Sempit
Beberapa waktu lalu muncul kelompok yang melarang masyarakat untuk menggunakan kata-kata "anjay" dengan alasan yang sangat dangkal. Kata "anjay" pelaburan dari kata "anjing". Fenomena semacam ini sebenarnya sangat sering terjadi. Bermaksud untuk menciptakan kesopanan dalam berbahasa malahan justru sebaliknya. Gagasan itu berarti melarang seseorang untuk berekspresi dengan kata-kata.
Sejatinya kata "anjing" telah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Kata "anjing" merupakan kata-kata asli milik perbendaharaan bahasa Indonesia yang sah. Budaya telah merubah nilai kata "anjing" menjadi sedemikian negatif. Salah satu alasannya karena sifat ketersinggungan yang tinggi. Dengan demikian kata dari nama-nama binatang yang lain akan sama negatifnya sekalipun binatang tersebut tidak berlabel haram atau najis.
Dalam kalangan remaja, kata "anjing" sangat mendukung nilai keakraban. Adanya perubahan makna menjadi penyebabnya. Lain halnya ketika kata "anjing" digunakan untuk mengekspresikan kekesalan. Bisa diterima atau tidak tergantung lawan tuturnya. Tapi pada tulisan kali ini, penulis ingin berfokus pada kekuatan bahasa Indonesia itu sendiri.
Bahasa Indonesia sampai saat ini merupakan bahasa yang terus berkembang. Cita-cita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak dibarengi dengan perkembangan yang cukup baik.Â
Di awal tadi kita melihat sekelompok orang yang mempermasalahkan penggunaan kata "anjay" atau "anjing". Gagasan itu telah mencederai ekspresi masyarakat dalam berbahasa. Munculnya bahasa Slang bagi sebagian kalangan dianggap fenomena berbahasa rendah. Ragam bahasa ini menurut KBBI merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa suatu kelompok atau komunitas yang memiliki berbedaan budaya menggunakan ragam bahasa dapat memincu konflik, apa bila kedua ragam bahasa yang lain itu bercampur, dalam wilayah kekuasaan bahasa yang sama. Â Tulisan ini tidak hanya menyinggung kelompok penentang penggunaan kata "anjay", tetapi juga kelompok lain yang membuat sebuah ragam bahasa menjadi tabu untuk diucapan. Tidak terkecuali kelompok formal, dan kelompok nonformal.
Obral-Obrol Sisi lain Berbahasa Nonstandar
Bahasa slang awalnya dikenal dengan istilah prokem. Bahasa prokem dahulu digunakan oleh para preman untuk membuat kode rahasia dengan memanfaatkan bahasa Indonesia dan dialek betawi. Bahasa ini muncul di ibu kota Jakarta dan merambat hingga kota-kota di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, bahasa ini digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh kaum remaja. Dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan ekspresi berbahasa.
Bahasa Prokem, bahas Gaul, atau bahasa Slang adalah bahasa nonstandar dari bahasa Indonesia. Semakin sering bahasa seperti ini muncul maka semakin kurang diminatinya bahasa Indonesia. Bahasa Slang bisa saja mengancam keberadaan bahasa Indonesia. Jika seluruh khalayak tidak memiliki kesadaran akan kedudukan bahasa Indonesia di tengah pergaulan. Sebenarnya bahasa Indonesia yang baik dan benar masih bisa digunakan dalam kalangan remaja tanpa membatasi ekspresi mereka, dengan catatan paradigma tentang bahasa Indonesia yang kaku dan tidak menarik harus dihapus dari kepala.
Menghapus paradigma memang tidak gampang seperti membalik adonan martabak. Mungkin saat ini kita menganggap bahasa Indonesia benar yang mencirikan identitas bangsa adalah yang tercantum di dalam KBBI. Namun nyatanya budaya comot-menyomot sudah ada sejak berdirinya bahasa Indonesia.Â
Ada banyak serapan bahasa Arab, Sansekerta, Belanda, hingga bahasa Inggris. Dan semua bahasa asing yang telah diserap itu bukan merupakan tindakan dari KBBI untuk membentuk bahasa, melaikan ia hanya sebagai mesin pencetak kata.Â
Seperti sebuah jaring nelayan yang menangkap ikan dilautan. KBBI hanya melihat dan menggambil bentuk kata yang sudah ada ke dalam perbendaharaan. Sementara amat sangat sedikit jumlahnya, orang yang mau membaca KBBI sebagai panduan dalam memilih diksi.
KBBI Sekadar Mesin Pencetak Kata
Usaha untuk mencapai cita-cita bangsa dalam berbahasa tidak hanya mendapatkan kesulitan dari dalam tubuh saja. Tetapi juga dari luar tubuh bahasa Indonesia itu sendiri. Keberadaan KBBI sebagai perpustakaan kata bahasa Indonesia belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Adanya beberapa bahasa asing yang diangkat ke dalam bahasa Indonesia membuat kaum akademis dan para ilmuwan bahasa mengerutkan dahi. Seperti kata "oke" yang diserap dari bahasa Inggris. Padahal ada kata lain yang masih layak digunakan seperti kata "baik".
Sebenarnya masalah seperti di atas sudah muncul dari dahulu. Entah karena budaya main comot atau kurangnya pemahaman nasionalis. Bahasa Indonesia seperti layaknya kota Jakarta atau New York di Amerika. Ada banyak sekali bahasa asing yang sudah mengakar di dalamnya. Seperti kata "kantor" yang berasal dari serapan bahasa belanda, asal katanya Kantoor. Kemudian kata "lemari" yang diserap dari bahasa Arab, asal katanya almari. Dan masih banyak lagi.
Kita tahu bahasa daerah kita sangat beragam, dari Indonesia bagian yang paling timur sampai bagian yang paling barat. Dengan keadaan itu, bahasa daerah memungkinkan untuk menambah perbendaharaan bahasa Indonesia. Sekaligus untuk mencegah budaya main comot bahasa asing.
Sebelum kata "unduh" terpampang jelas dalam siber, kita telah familiar dengan kata download. Kata "Unduh" diambil dari bahasa Jawa yang memiliki arti ngepet atau memetik. Usaha semacam ini cukup mendapatkan apresiasi oleh pengamat bahasa. Tapi bagaimana dengan bahasa Slang? Apakah masih dianggap sebagai bahasa rendahan? Atau ancaman?
Bahasa Slang dalam Kacamata Kreativitas
Bahasa Slang, bisa muncul dan berpotensi menguntungkan. Jika dikreasikan dengan cukup baik. Dengan catatan bahasa Slang yang muncul bukan karena hadirnya eksistensi bahasa asing.Â
Penulis melihat beberapa bahasa Slang yang telah diangkat ke dalam bahasa Indonesia. Seperti kata "kepo" yang memiliki arti leksikal: rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Atau kata "alay" yang memiliki arti leksikal: gaya hidup yang berlebihan untuk menarik perhatian.
Usaha menambah kosa kata baru semacam ini tidak sepenuhnya mendapatkan apresiasi. Alasannya karena bahasa Slang masih dianggap sebagai bahasa rendahan, tidak mencirikan kaum intelek atau akademis dan lain sebagainya.
Secara sadar atau tidak, kita telah membentuk KBBI sebatas mesin pencatat perbendaharaan kata saja. Bukan menjadikannya sebagai pedoman belajar bahasa.Â
Sementara kawula muda hanya menggunakan bahasa seadanya, yang kemudian dikreasikan sedemikian rupa membentuk bahasa Slang. Begitu juga sebaliknya, KBBI hanya mengambil bentuk kata yang telah diciptakan oleh khalayak. Sehingga masalah berbahasa berputar-putar di situ-situ saja.
Jadi kita harus mengembalikan bahasa Indonesia pada sumpah yang pertama. Berbahasa satu, bahas Indonesia. Kita juga perlu mengembalikan paradigma yang pertama, menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tanpa kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H