Korupsi seakan menjadi kanker bagi bangsa Indonesia. Hampir semua sektor di Indonesia mulai dari hukum, perdagangan, pendidikan, bahkan pertanian telah dijangkiti oleh penyakit bernama korupsi. Di dalam artikel ini, penulis akan menyoroti sebuah kasus korupsi pupuk bersubsisi di Kabupaten Jombang yang dilakukan oleh oknum Pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) sekaligus oetani dan Penyuluh Pertanian Lapangan. Tentunya dari sudut pandang mahasiswa pertanian.
Pupuk merupakan salah satu kebutuhan vital dalam dunia pertanian. Pupuk berfungsi untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman menjadi tumbuh subur dan meningkatkan produktivitasnya. Sebagai bentuk kepedulian pemerintah kepada petani di Indonesia, Kementerian Pertanian meluncurkan program pupuk bersubsidi untuk meringankan beban petani. Pupuk bersubsidi diperuntukan bagi petani dengan lahan kurang dari dua hektar.
Mekanisme pemberian pupuk bersubsidi kepada petani tergolong rumit. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari potensi pungutan liar dan korupsi antara petani dengan penyuluh pertanian lapangan. Untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, para petani harus menjadi anggota kelompok tani yang terdaftar resmi di Balai Penyuluhan Pertanian setempat. Setelah menjadi anggota kelompok tani, ketua kelompok tani tersebut menyerahkan daftar anggota kelompoknya beserta usulan kuota pupuk yang diterima yang didasari oleh luas lahan yang dimiliki.
Kemudian usulan tersebut akan ditindaklanjuti oleh penyuluh pertanian untuk diusulkan kepada Dinas Pertanian Kabupaten atau Kota setempat. Setelah diverifikasi oleh Dinas Pertanian Kabupaten atau Kota, usulan akan diteruskan kepada Dinas Pertanian Provinsi. Finalisasi kuota pupuk bersubsidi yang diterima oleh petani akan diputuskan oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian.Â
Setelah difinalisasi oleh Dirjen PSP, maka petani yang telah diusulkan dalam RDKK akan mendapatkan kartu tani dan dapat mengambil pupuk bersubsidi di kios-kios yang telah ditunjuk secara resmi oleh Kementerian Pertanian. Jadi, fungsi kartu tani sama halnya dengan uang elektronik. Kartu tani harus diisi saldo melalui bank yang telah ditunjuk kemudian saldo tersebut akan digunakan untuk membayar pupuk bersubsidi dengan harga setengah dari pupuk non bersubsidi.
Pupuk bersubsidi yang diterima oleh petani adalah ZA, Urea, SP-36, NPK, dan petrogranik. Kelima pupuk tersebut akan diterima oleh petani sesuai dengan usulan yang diajukan dalam Rancangan Definitif Kebutuhan  Kelompok (RDKK). Seringkali pupuk yang diterima oleh petani kurang dari jumlah yang diusulkan, namun seringkali juga lebih. Meskipun model distribusi pupuk bersubsidi telah disusun sedemikian rupa, bahkan menggunakan kartu tani, masih terdapat celah yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam alur distribusi pupuk bersubsidi.
Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Jombang tahun 2019. Terdapat sebuah kasus korupsi pupuk bersubsidi yang ditaksir dapat merugikan negara hingga 542 juta. Kasus tersebut dilakukan oleh oknum Pengurus KUD berinisial (S) dan seorang PPL berinisial (K). Modus yang dilakukan adalah dengan memanipulasi RDKK dengan memasukkan nama kerabat dan saudara (S) agar mendapatkan pupuk lebih dari kuota. Menurut penjelasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di dalam siding, seharusnya (S) tidak berhak untuk menerima pupuk bersubsidi karena luas lahannya melebihi dua hektar.
Manipulasi tersebut mengakibatkan 132 ton pupuk yang terdiri dari 66 ton pupuk jenis NPK dan 66 ton pupuk jenis ZA mengalami kelangkaan di pasar, sehingga petani mengalami kendala dalam akses pupuk tersebut. Persidangan selanjutnya menghadikan 13 saksi yang terdiri dari anggota kelompok tani dan petani tebu. JPU menuntut (S) dan (K) dengan pasal 55 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Selain merugikan keuangan negara, kasus korupsi pupuk bersubsidi ini dapat dikatakan sebagai kasus yang tidak mempunyai hati nurani bagi siapapun pelakunya. Dapat dikatakan bahwa kasus korupsi pupuk bersubsidi berada satu tingkat dengan kasus korupsi bantuan sosial dan kasus korupsi dana haji. Alasannya adalah pupuk bersubsidi merupakan urat nadi kehidupan para petani, terutama petani dengan lahan kecil kurang dari dua hektar. Mereka menggantungkan perolahan pupuk dari pupuk bersubsidi karena harganya hampir 50% lebih murah dibanding pupuk non subisidi.
Selain itu, korupsi pupuk bersubsidi mengakibatkan kelangkaan di pasar dapat menjadi sumber yang menggiurkan bagi beberapa oknum untuk menaikkan harga. Pada akhirnya, petani adalah pihak yang paling dirugikan akibat kejadian tersebut. Kelangkaan pupuk bersubsidi juga dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas secara regional maupun nasional karena kelangkaan pupuk membuat petani enggan untuk memulai masa tanam. Implikasinya adalah meningkatnya harga kebutuhan pokok bagi masyarakat.