Menghilangkan Presidential Threshold di Pemilu Serentak  2019
Oleh : Muhamad Saleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pelaksanaan Pemilihan Umum telah menimbulkan perdebatan dan diskusi yang panjang. Putusan yang mengabulkan permohonan Dr. Effendi Ghozli dan kawan-kawan tersebut masih menyisahkan persoalan. Ketentuan pasal yang di ajukan oleh Pemohon sebagian besar dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi terutama terkait dengan pelaksanaan pemilu serentak, sedangkan ketentuan yang terkait dengan abang batas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden atau yang di kenal dengan istilah Presidential Threshold tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di lakukan sebagai upaya mencari sosok ideal berdasarkan kehendak rakyat yang di lakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seperti yang di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis.
Selama ini problem yang kita hadapi dalam pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah terkait dengan abang batas pemilihan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), karena dinilai diskriminatif. Â Diskriminasi yang di maksud adalah tertutupnya akses bagi partai politik kecil unruk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan lebih dari itu tertutupnya akses bagi setiap warga negara Indonesia secara umum yang sebenarnya punya potensi besar untuk memimpin bangsa Indoneisia.
Ketentuan tentang abang batas atau yang di kenal dengan istilah Presidential Threshold dalam Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tidak ada. Ketentuan tentang pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang berbunyi :
- Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
- Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Munculnya ketentuan Presidential Threshold terdapat pada Undang-Undang Pilpres. Untuk pertama kalinya di atur dalam UU No. 23 tahun 2003 tentang pilpres. Â Dan untuk pilpres tahun 2009 dan 2014, di atur dalam UU no. 42 tahun 2008 tentang pilpres. Prosentasi ambang batas pada UU pilpres mengalami peningkatan dari UU no. 23 tahun 2003 ke UU No. 42 tahun 2008.
 Perbandingan Prosentasi Ambang Batas
Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen)dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon (Ketentuan Peralihan Pasal 101 UU No. 23 tahun 2003)
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suarasah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008)
Secara konstitusional tidak ada dasar hukum yang mewajibkan persyaratan ambang batas tersebut. Secara teori tidak ada yang dapat menjelaskan angka-angka tesebut, bahkan penulis menilai sarat ambang batas pengajuan presiden atau Presidential Threshold yang di atur dalam UU No. 42 Tahun 2008 merupakan permainan politik partai besar. Oleh karena penentuan ambang batas ini sarat kepentingan politik, terutama partai-partai besar yang memilii peluang lebih besar untuk mencalonkan presiden.
Beberapa waktu terakhir ini pembicaraan tentang ambang batas atau  Presidential Threshold  Kembali mencuat di DPR  mengingat kian dekatnya waktu penyelenggaraan pemilu yang jika di hitung tersisa 2 tahun lagi, dan pembahasan ini masih kian panas di kalangan fraksi-fraksiÂ