Yang mereka jual sebenarnya hanyalah sejarah. Mereka dianggap dan mengaggap diri mereka sendiri klub elit Eropa karena pencapaian-pencapaian di masa lalu. Sedekat apapun masa lalu itu--10 tahun, 5 tahun, 2 tahun---tetaplah masa lalu, dan tidak relevan untuk menentukan nasib sebuah kompetisi. Hey, bahkan banyak klub lain yang lebih sukses secara historis daripada beberapa klub founder itu.
Jaminan keikutsertaan ini juga membuat klub-klub founder tidak mempertaruhkan apa-apa di liga domestik. Nothing to lose.
Logikanya, mereka akan menomor-duakan liga domestik dan fokus ke ESL yang lebih prestisius. Liga domestik tak ubahnya akan seperti Carabao Cup, hanya jadi ajang unjuk gigi pemain lapis dua klub-klub elit tersebut. Entah Carabao Cup akan jadi apa nantinya.
Menutup Kesempatan Tim Lain untuk Berkembang
Hanya terbukanya 5 tempat di ESL membuat kesempatan klub-klub lain untuk tampil di panggung besar menjadi semakin kecil. Ya, memang tujuan ESL adalah untuk meniadakan klub-klub 'penggembira' yang hanya jadi bulan-bulanan klub besar. Padahal, performa klub-klub 'kecil' itu juga dapat menjadi daya tarik sebuah kompetisi.
Tengoklah Lyon di Liga Champions musim lalu dan Ajax di musim sebelumnya. Lebih ke belakang, ada Deportivo dan Porto yang menjadi finalis tak terduga di 2004. Iceland di Piala Eropa 2016, Ghana di Piala Dunia 2010. Cerita-cerita kesuksesan tim underdog seperti itu selalu menarik untuk diikuti.
Orang-orang yang tidak senang dengan kesuksesan mereka hanyalah fans dari tim-tim yang mereka kalahkan dan pemilik klub yang gagal meraup keuntungan maksimal. Pencetus ESL adalah golongan yang kedua.
Dan ini bukan tentang cerita romantisme sepakbola semata. Klub-klub yang melaju jauh di Liga Champions atau liga domestik akan mendapat banyak pemasukan untuk membentuk tim di musim selanjutnya. Klub dapat merekrut pemain yang lebih berkualitas, mempertahankan prestasi di musim selanjutnya, dan menarik pemain-pemain yang lebih berkualitas lagi.
Ambil contoh Leicester City. Setelah menjuarai liga inggris di tahun 2016, mereka dapat mempertahankan kualitasnya; bukan menjadi one season wonder, tapi berhasil bersaing dengan the big six setiap musimnya.
Mereka bahkan sempat melaju sampai perempat final Liga Champions dan Liga Europa. Dan melihat bagaimana Leicester menjadi salah satu klub dengan manajemen terbaik saat ini, saya yakin mereka akan tetap berada di level tinggi dalam 5--10 tahun ke depan.
Kalau dilihat beberapa musim ke belakang pun, harusnya kita sudah mengeluarkan Arsenal dan memasukkan Leicester ketika bicara klub big six.
Di Italia, Atalanta telah berkembang menjadi pesaing serius posisi Liga Champions selama beberapa musim terakhir. Sementara, mantan pesaing posisi Liga Champions di Jerman, Schalke, berada di dasar klasemen dan akan degradasi musim ini.