Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan
Muhamad Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 teknik sipil di Universitas Muhammadiyah Mataram semester 7

Saya memiliki Hobi menikmati gunung dan tidak suka keramaian. Saya benci keributan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Narasi Kekosongan dan Kritikan, Apa Kabar Keadilan?

7 Februari 2024   22:17 Diperbarui: 7 Februari 2024   22:25 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi By Pinterest 

Narasi Kekosongan dan Kritikan. Apa Kabar Keadilan?

Oleh : Ridwan

Saat mentari bersinar di ufuk timur, ada seorang anak yang sedang mengarungi kota megah yang dipenuhi tanda tanya. Ternyata, hidup di antara beton-beton besar seperti memasuki arena sirkus di mana penguasa berperan sebagai raja yang menghibur dengan kebijakan-kebijakan sarkastiknya.

Kota ini, yang biasa disebut sebagai "magnet kemajuan," sebenarnya adalah pusat kezaliman yang tersembunyi di balik gemerlap lampu dan gedung pencakar langit. Para penguasa bersorak gembira setiap kali proyek megah selesai, sementara kaum miskin kota harus puas dengan sisa-sisa kebijakan yang menyengsarakan.

Penguasa seakan lupa bahwa negara ini seharusnya menciptakan keadilan sosial, bukan panggung sirkus yang hanya menguntungkan para penonton kelas atas. Mereka, seolah menjadi pemeran tambahan dalam pertunjukan politik yang tak kunjung berakhir.

"Selamat datang di kota impian!" begitu kata spanduk besar yang menyambut kedatangannya. Namun, mungkin seharusnya spanduk tersebut lebih jujur dengan menambahkan kalimat "hanya untuk sebagian orang." Kota ini memang impian, tetapi hanya bagi mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.

Pemerintah dengan bangga memperlihatkan infrastruktur modernnya, tetapi apakah mereka menyadari bahwa di balik gemerlap itu, ada ratusan cerita keprihatinan? Mereka yang datang dengan impian besar terkadang hanya menemukan reruntuhan harapan dan jalanan penuh keputusasaan.

Dalam kezaliman penguasa, proyek-proyek mahal dibangun di atas tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi rumah-rumah sederhana. Apakah kesejahteraan rakyat hanya diukur dari tingginya gedung pencakar langit? Terkadang mereka bertanya-tanya, apakah proyek tersebut mengubah hidup mereka atau hanya meningkatkan nilai estetika kota.

Di tengah gemerlapnya kota, mereka berjalan melintasi jalanan yang lebih mirip lantai panggung teater politik. Mereka menjadi figuran dalam pertunjukan ketidakadilan yang tak kunjung usai. Pemerintah, sebagai sutradara, sibuk menciptakan drama politik, sementara mereka menjadi penonton pasif yang tak bisa berbuat banyak.

Pendidikan dan kesehatan, seharusnya menjadi prioritas utama, namun nyatanya, sekolah dan rumah sakit dibiarkan membusuk tanpa perhatian yang cukup. Mereka harus berjuang melawan sistem pendidikan yang tak kunjung membaik dan layanan kesehatan yang lebih mirip ruang tunggu kematian.

Penguasa seakan memandang rendah pada mereka tanpa hak untuk menuntut keadilan. Mereka diabaikan oleh petinggi yang lebih memilih berkumpul di klub elit sambil membicarakan proyek-proyek ambisius yang tak kunjung mengentaskan kemiskinan.

Menggunakan kata-kata manis tentang inklusivitas dan keberlanjutan, penguasa menciptakan narasi palsu tentang perhatian mereka pada kepentingan rakyat. Namun, mereka menyadari bahwa kata-kata itu hanyalah sandiwara politik, semacam komedi hitam yang diperankan oleh pemerintah.

Proyek-proyek revitalisasi kota mungkin menjadi bahan banggaan penguasa, tetapi apakah mereka benar-benar memberikan manfaat bagi seluruh warga? Mereka tidak melihat perubahan yang signifikan, hanya pemandangan gedung-gedung mewah yang semakin membatasi ruang hidup mereka.

Ketidaksetaraan dalam lapangan pekerjaan semakin memperparah kondisinya. Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan, di mana akses terhadap pekerjaan layak semakin terbatas. Sementara itu, para pejabat tertawa riang di kantornya, mungkin sedang merencanakan proyek-proyek baru yang hanya akan memberikan sedikit manfaat pada rakyat jelata.

Bagi mereka, akses terhadap perumahan yang layak adalah mimpi yang semakin menjauh. Penguasa lebih suka menghabiskan anggaran untuk mempercantik kota daripada membangun rumah-rumah sederhana yang dapat memberikan tempat tinggal layak bagi semua warga.

Dalam kezaliman penguasa, para pejabat berbicara tentang "kota cerdas" sambil melupakan bahwa kecerdasan seharusnya diukur dari sejauh mana kota tersebut memberdayakan seluruh warganya. Mereka menatap dengan ironi pada gedung-gedung pintar yang tak mampu memberikan solusi pada kebingungan hidupnya.

Saat senja tiba, mereka hanya melihat kota yang seolah menjadi panggung utama bagi dramatisasi ketidaksetaraan. Penguasa, dengan segala kebijakan dan proyeknya, hanya meninggalkan jejak kekecewaan di hati mereka yang berusaha bertahan di tengah kesulitan.

Kritik terhadap penguasa bukanlah cerminan ketidaksetiaan, tetapi sebuah seruan untuk menertibkan kebijakan yang seakan bermain-main dengan nasib rakyat. Mereka berharap agar penguasa dapat melepaskan topeng penuh janji palsu dan benar-benar mendengarkan seruan keadilan dari para penjelajah kota yang terpinggirkan ini.

Sebuah kota seharusnya bukan hanya menjadi simbol kemegahan fisik, tetapi juga tempat di mana setiap warganya dapat hidup dengan layak. Mereka menantikan hari di mana pemerintah dapat menghentikan pertunjukan politiknya yang menyakitkan dan mulai berfokus pada kesejahteraan seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun