Penguasa seakan memandang rendah pada mereka tanpa hak untuk menuntut keadilan. Mereka diabaikan oleh petinggi yang lebih memilih berkumpul di klub elit sambil membicarakan proyek-proyek ambisius yang tak kunjung mengentaskan kemiskinan.
Menggunakan kata-kata manis tentang inklusivitas dan keberlanjutan, penguasa menciptakan narasi palsu tentang perhatian mereka pada kepentingan rakyat. Namun, mereka menyadari bahwa kata-kata itu hanyalah sandiwara politik, semacam komedi hitam yang diperankan oleh pemerintah.
Proyek-proyek revitalisasi kota mungkin menjadi bahan banggaan penguasa, tetapi apakah mereka benar-benar memberikan manfaat bagi seluruh warga? Mereka tidak melihat perubahan yang signifikan, hanya pemandangan gedung-gedung mewah yang semakin membatasi ruang hidup mereka.
Ketidaksetaraan dalam lapangan pekerjaan semakin memperparah kondisinya. Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan, di mana akses terhadap pekerjaan layak semakin terbatas. Sementara itu, para pejabat tertawa riang di kantornya, mungkin sedang merencanakan proyek-proyek baru yang hanya akan memberikan sedikit manfaat pada rakyat jelata.
Bagi mereka, akses terhadap perumahan yang layak adalah mimpi yang semakin menjauh. Penguasa lebih suka menghabiskan anggaran untuk mempercantik kota daripada membangun rumah-rumah sederhana yang dapat memberikan tempat tinggal layak bagi semua warga.
Dalam kezaliman penguasa, para pejabat berbicara tentang "kota cerdas" sambil melupakan bahwa kecerdasan seharusnya diukur dari sejauh mana kota tersebut memberdayakan seluruh warganya. Mereka menatap dengan ironi pada gedung-gedung pintar yang tak mampu memberikan solusi pada kebingungan hidupnya.
Saat senja tiba, mereka hanya melihat kota yang seolah menjadi panggung utama bagi dramatisasi ketidaksetaraan. Penguasa, dengan segala kebijakan dan proyeknya, hanya meninggalkan jejak kekecewaan di hati mereka yang berusaha bertahan di tengah kesulitan.
Kritik terhadap penguasa bukanlah cerminan ketidaksetiaan, tetapi sebuah seruan untuk menertibkan kebijakan yang seakan bermain-main dengan nasib rakyat. Mereka berharap agar penguasa dapat melepaskan topeng penuh janji palsu dan benar-benar mendengarkan seruan keadilan dari para penjelajah kota yang terpinggirkan ini.
Sebuah kota seharusnya bukan hanya menjadi simbol kemegahan fisik, tetapi juga tempat di mana setiap warganya dapat hidup dengan layak. Mereka menantikan hari di mana pemerintah dapat menghentikan pertunjukan politiknya yang menyakitkan dan mulai berfokus pada kesejahteraan seluruh rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI