Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan
Muhamad Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 teknik sipil di Universitas Muhammadiyah Mataram semester 7

Saya memiliki Hobi menikmati gunung dan tidak suka keramaian. Saya benci keributan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Narasi Kekosongan dan Kritikan, Apa Kabar Keadilan?

7 Februari 2024   22:17 Diperbarui: 7 Februari 2024   22:25 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi By Pinterest 

Narasi Kekosongan dan Kritikan. Apa Kabar Keadilan?

Oleh : Ridwan

Saat mentari bersinar di ufuk timur, ada seorang anak yang sedang mengarungi kota megah yang dipenuhi tanda tanya. Ternyata, hidup di antara beton-beton besar seperti memasuki arena sirkus di mana penguasa berperan sebagai raja yang menghibur dengan kebijakan-kebijakan sarkastiknya.

Kota ini, yang biasa disebut sebagai "magnet kemajuan," sebenarnya adalah pusat kezaliman yang tersembunyi di balik gemerlap lampu dan gedung pencakar langit. Para penguasa bersorak gembira setiap kali proyek megah selesai, sementara kaum miskin kota harus puas dengan sisa-sisa kebijakan yang menyengsarakan.

Penguasa seakan lupa bahwa negara ini seharusnya menciptakan keadilan sosial, bukan panggung sirkus yang hanya menguntungkan para penonton kelas atas. Mereka, seolah menjadi pemeran tambahan dalam pertunjukan politik yang tak kunjung berakhir.

"Selamat datang di kota impian!" begitu kata spanduk besar yang menyambut kedatangannya. Namun, mungkin seharusnya spanduk tersebut lebih jujur dengan menambahkan kalimat "hanya untuk sebagian orang." Kota ini memang impian, tetapi hanya bagi mereka yang memiliki uang dan kekuasaan.

Pemerintah dengan bangga memperlihatkan infrastruktur modernnya, tetapi apakah mereka menyadari bahwa di balik gemerlap itu, ada ratusan cerita keprihatinan? Mereka yang datang dengan impian besar terkadang hanya menemukan reruntuhan harapan dan jalanan penuh keputusasaan.

Dalam kezaliman penguasa, proyek-proyek mahal dibangun di atas tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi rumah-rumah sederhana. Apakah kesejahteraan rakyat hanya diukur dari tingginya gedung pencakar langit? Terkadang mereka bertanya-tanya, apakah proyek tersebut mengubah hidup mereka atau hanya meningkatkan nilai estetika kota.

Di tengah gemerlapnya kota, mereka berjalan melintasi jalanan yang lebih mirip lantai panggung teater politik. Mereka menjadi figuran dalam pertunjukan ketidakadilan yang tak kunjung usai. Pemerintah, sebagai sutradara, sibuk menciptakan drama politik, sementara mereka menjadi penonton pasif yang tak bisa berbuat banyak.

Pendidikan dan kesehatan, seharusnya menjadi prioritas utama, namun nyatanya, sekolah dan rumah sakit dibiarkan membusuk tanpa perhatian yang cukup. Mereka harus berjuang melawan sistem pendidikan yang tak kunjung membaik dan layanan kesehatan yang lebih mirip ruang tunggu kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun