Oleh: Syamsul Yakin dan Muhammad Rifqi Sya'ban
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dakwah dan retorika, sebagai sebuah ilmu, harus bebas nilai. Artinya, ilmu dakwah dan ilmu retorika harus dikembangkan semata berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Baik ilmu dakwah dan ilmu retorika tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan di luar ilmu pengetahuan.
Tetapi nampaknya, dalam ilmu dakwah dan ilmu retorika terdapat adab di dalamnya. Meskipun kedua ilmu itu bebas nilai, namun tetap harus dipertimbangkan keberatan dan implikasi yang terjadi. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan ilmu retorika keduanya terikat dengan adab yang bersumber dari budaya dan agama.
Dengan begitu adab dan ilmu dalam retorika dakwah harus dipadukan. Dalam konteks ini berlaku jargon “ilmu bukan untuk ilmu”, tapi ilmu untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu untuk kemanusiaan. Dalam konteks adab penting keberadaannya
Retorika dakwah itu bukan hanya ilmu berdakwah secara efektif dan efisien, menarik dan atraktif, namun juga aturan kesopanan, keramahan, dan Budi pekerti yang agung. Apalagi pada awalnya dakwah itu subjektif, dogmatik, penuh nilai. Selain itu retorika juga berangkat dari satu sistem nilai yang berawal dari budaya.
Saat retorika lahir dari rahim budaya, merangkak jadi seni bertutur, tumbuh jadi pengetahuan, dan secara permanen diakui sebagai ilmu, pada titik tertinggi inilah retorika perlu diikat oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus dipadukan dengan adab.
Tidak berbeda jauh dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, kemudian jadi pengentahuan berdasar pengalamann yang belum teruji secara ilmiah, lalu secara ajeg jadi ilmu dakwah tentu juga harus didampingi adab. Seorang da’i di dalam berdakwah melekat kesopanan, keramahan, dan budi pekerti.
Menyelaraskan adab dan ilmu dalam retorika dakwah mengupayakan dua hal. Pertama, tergusurnya komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan. Da’i yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah. Selama ini komodifikasi dakwah berlindung di bawah payung profesionalisme dan manajamen.
Dilarang keras membisniskan dakwah bagi da’i dan mitra dakwah. Namun boleh mendakwahkan bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Da’i bukan menggantikan hidup dari berdakwah namun harus menghidupkan dakwah.
Yang kedua, memadukan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan menghantarkan da’i menjadi profesional dalam pengertian yang sebenarnya. Makna profesional itu bukan terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, namun memiliki adab dan ilmu dalam beretorika dan berdakwah.
Profesional juga bukan berarti tidak memiliki pekerjaan sebagai da’i. Da'i boleh bekerja sebagai apa saja tanpa menanggalkan aspek profesionalisme. Karena makna da’i profesional dalam konteks ini adalah menghayati sepenuh hati yang dikatakan kemudian mengamalkannya
berdasar ilmu dan adab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H