Mohon tunggu...
Muhamad Rafli Pribadi
Muhamad Rafli Pribadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Mercubuana

NIM : 43223010022 Jurusan : Akuntansi Kampus : Universitas Mercu Buana Jakarta Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

4 Desember 2024   21:34 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:41 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Muhamad Rafli Pribadi
Nim : 43223010022
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik
Dosen Pengampu Matkul: Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Pendahuluan

Korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat, melemahkan sistem hukum, serta menghambat pembangunan. Untuk menjerat pelaku korupsi, hukum pidana mengandalkan dua elemen utama, yaitu actus reus (tindakan fisik) dan mens rea (niat jahat). Konsep ini dikembangkan oleh Edward Coke, seorang tokoh hukum Inggris yang menekankan pentingnya elemen tindakan dan niat dalam menentukan kesalahan pidana.

Pemikiran Edward Coke, seorang tokoh hukum Inggris yang terkenal, memperkenalkan prinsip penting: "actus non facit reum nisi mens sit rea" (sebuah tindakan tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana kecuali disertai dengan niat jahat). Prinsip ini menjadi landasan hukum pidana modern di banyak negara, termasuk Indonesia.

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, penerapan actus reus dan mens rea membantu memastikan bahwa proses hukum berjalan secara adil dan tidak menargetkan pihak yang tidak bersalah. Pemahaman yang mendalam tentang kedua elemen ini juga menjadi kunci untuk membongkar korupsi yang sistemik dan kompleks, di mana pelaku sering kali berupaya menyembunyikan niat jahat mereka melalui berbagai cara.

Di Indonesia, konsep actus reus dan mens rea sangat relevan dalam memberantas korupsi, terutama karena kerumitannya. Tulisan ini membahas what (apa), why (mengapa), dan how (bagaimana) kedua konsep ini diterapkan dalam kasus korupsi di Indonesia.

Powerpoint Dokpri
Powerpoint Dokpri

What: Konsep Actus Reus dan Mens Rea

1. Actus Reus
Actus reus merujuk pada tindakan atau perbuatan fisik yang dilakukan seseorang yang melanggar hukum. Dalam kasus korupsi, actus reus dapat berupa:

  • Penerimaan suap.
  • Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
  • Manipulasi laporan keuangan.
  • Penggelapan dana publik.

Sebagai contoh, dalam kasus penerimaan suap, actus reus bisa berupa tindakan menerima uang atau barang dari pihak lain untuk memengaruhi keputusan atau kebijakan.

2. Mens Rea
Mens rea adalah elemen mental atau niat jahat dalam melakukan tindak pidana. Dalam korupsi, mens rea muncul ketika pelaku sadar dan sengaja melanggar hukum demi keuntungan pribadi. Elemen ini seringkali melibatkan motif seperti keserakahan, tekanan ekonomi, atau ambisi politik.

Sebagai contoh, seorang pejabat yang dengan sengaja memanipulasi anggaran untuk memperkaya diri sendiri menunjukkan adanya mens rea karena ia menyadari perbuatannya melanggar hukum.

Peran Edward Coke dalam Konsep Ini
Edward Coke menekankan pentingnya hubungan erat antara tindakan (actus reus) dan niat (mens rea) untuk menentukan seseorang bersalah secara hukum. Ia percaya bahwa tidak ada kejahatan tanpa kedua elemen ini: "actus non facit reum nisi mens sit rea" (sebuah tindakan tidak membuat seseorang bersalah kecuali jika niatnya jahat). Prinsip ini kini menjadi fondasi hukum pidana modern, termasuk di Indonesia.

Powerpoint Dokpri
Powerpoint Dokpri

Why: Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi

1.Menjamin Keadilan
Dalam kasus korupsi, memahami actus reus dan mens rea membantu memastikan bahwa hanya pelaku yang benar-benar bersalah yang dihukum. Tanpa kedua elemen ini, seseorang dapat dengan mudah dituduh tanpa bukti yang cukup, melanggar prinsip due process of law.

2.Membedakan Kesalahan Administratif dan Pidana
Banyak tindakan yang tampak seperti korupsi mungkin hanya merupakan pelanggaran administratif. Misalnya, kesalahan dalam laporan keuangan tidak selalu disertai mens rea sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai korupsi. Elemen ini penting untuk membedakan tindak pidana dari kelalaian.

3.Efisiensi Penegakan Hukum
Memahami kedua elemen ini membantu penegak hukum fokus pada pembuktian, sehingga proses hukum lebih efisien. Bukti actus reus dan mens rea menjadi dasar dakwaan yang kuat di pengadilan.

4.Pengaruh pada Hukuman
Tingkat kesalahan pelaku, berdasarkan mens rea, dapat memengaruhi beratnya hukuman. Misalnya, seorang pejabat yang korup dengan niat memperkaya diri sendiri mungkin mendapat hukuman lebih berat dibanding seseorang yang terlibat karena tekanan dari atasan.

5. Kepastian Hukum dan Keamanan Yuridis
Penerapan actus reus dan mens rea memastikan bahwa proses hukum terhadap pelaku korupsi berjalan berdasarkan prinsip kepastian hukum. Dengan membuktikan kedua elemen ini, hukum memberikan perlindungan bagi mereka yang tidak bersalah atau sekadar terlibat secara tidak langsung tanpa niat jahat. Misalnya, seorang pegawai yang melaksanakan perintah atasannya tanpa mengetahui adanya korupsi tidak dapat dihukum jika tidak memiliki mens rea.

Selain itu, konsep ini mencegah penyalahgunaan hukum oleh otoritas yang ingin memaksakan tuduhan tanpa bukti kuat. Hal ini krusial dalam konteks Indonesia, di mana isu-isu seperti tekanan politik dan kriminalisasi sering muncul.

6.Implikasi terhadap Hukuman
Mens rea membantu menentukan tingkat kesalahan dan beratnya hukuman. Misalnya, pejabat yang sengaja menggelapkan dana publik untuk keuntungan pribadi pantas menerima hukuman lebih berat dibandingkan pegawai rendah yang terlibat karena tekanan atau ancaman. Hal ini memastikan bahwa hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan dan kontribusi pelaku terhadap kejahatan.

7.Menjaga Integritas Sistem Hukum
Ketika elemen-elemen ini diterapkan dengan benar, proses hukum terhadap korupsi menjadi transparan dan adil. Kepercayaan publik terhadap sistem hukum meningkat, yang pada akhirnya memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Sebaliknya, jika elemen-elemen ini diabaikan, proses hukum dapat digunakan sebagai alat politik atau alat intimidasi.

8.Membatasi Kriminalisasi yang Berlebihan
Di negara yang rawan korupsi seperti Indonesia, ada risiko kriminalisasi yang berlebihan terhadap tindakan administratif yang sebenarnya bukan tindak pidana. Kesalahan administratif, seperti pengelolaan anggaran yang tidak efisien, sering disalahartikan sebagai korupsi. Elemen actus reus dan mens rea mencegah hal ini dengan membedakan antara kelalaian dan tindak pidana.

9. Relevansi dalam Konteks Indonesia
Indonesia dikenal memiliki tingkat korupsi yang tinggi dan sering kali melibatkan pejabat publik. Dalam banyak kasus, pejabat tinggi berusaha menyamarkan niat jahat mereka dengan membagi tanggung jawab kepada bawahan. Di sinilah pentingnya membuktikan mens rea untuk menjerat mereka yang benar-benar bersalah.

Studi Kasus: Kasus Hambalang
Kasus proyek Hambalang melibatkan berbagai pejabat dan kontraktor. Dengan menganalisis elemen actus reus dan mens rea, terungkap bahwa pelaku utama seperti Anas Urbaningrum memiliki niat jahat untuk memanfaatkan proyek tersebut demi keuntungan pribadi. Proses hukum yang teliti ini menunjukkan pentingnya membedakan antara pelaku utama dan mereka yang hanya terlibat secara administratif.

Powerpoint Dokpri
Powerpoint Dokpri

How: Penerapan Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia

1. Undang-Undang yang Mengatur Elemen Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia, UU Nomor 31 Tahun 1999 dan revisinya, UU Nomor 20 Tahun 2001, menjadi landasan hukum pemberantasan korupsi. Kedua UU ini menguraikan tindakan yang termasuk actus reus korupsi, seperti menerima suap, menyalahgunakan kewenangan, atau merugikan keuangan negara. Pasal-pasal tersebut juga menyinggung unsur mens rea, misalnya pada frasa "dengan sengaja" atau "untuk kepentingan pribadi."

Namun, tantangan muncul ketika bukti terkait niat jahat tidak cukup kuat. Dalam praktiknya, jaksa sering mengandalkan bukti-bukti tambahan, seperti aliran dana, komunikasi elektronik, atau testimoni saksi, untuk membuktikan elemen ini.

2. Proses Investigasi oleh KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran utama dalam investigasi kasus korupsi. Penerapan konsep actus reus dan mens rea dimulai dari tahap penyelidikan. Contohnya:

  • Actus reus: Melacak bukti fisik seperti aliran dana, kontrak proyek, atau dokumen keuangan.
  • Mens rea: Meneliti motif pelaku melalui pesan, percakapan, atau pola perilaku.

Teknologi modern, seperti analisis data forensik dan pelacakan aliran dana internasional, juga digunakan untuk mengungkap niat tersembunyi pelaku korupsi.

3. Penuntutan di Pengadilan
Jaksa penuntut umum harus menyusun dakwaan berdasarkan bukti yang menunjukkan actus reus dan mens rea. Proses ini melibatkan presentasi bukti seperti:

  • Dokumen dan Data: Kontrak atau laporan keuangan yang dimanipulasi.
  • Saksi: Kesaksian dari bawahan, pihak ketiga, atau ahli forensik.
  • Pengakuan: Pernyataan dari pelaku yang menunjukkan niat jahat.

Dalam kasus korupsi besar, seperti kasus e-KTP, pendekatan ini membantu jaksa membangun kasus yang kokoh dan menjerat para pelaku.

4. Studi Kasus: Kasus Jiwasraya
Kasus Jiwasraya, yang melibatkan kerugian negara triliunan rupiah, menunjukkan penerapan konsep ini. Pelaku utama, seperti Hendrisman Rahim, mantan Direktur Utama Jiwasraya, terbukti melakukan actus reus dengan mengatur investasi yang melanggar hukum. Mens rea-nya terlihat dari niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui skema investasi bodong.

5. Tantangan dalam Pembuktian

  • Modus Operandi yang Kompleks: Banyak kasus melibatkan strategi tersembunyi, seperti penggunaan offshore accounts atau aliran dana yang berlapis-lapis.
  • Pengaruh Politik: Pelaku dengan kekuasaan politik sering kali mempersulit penyelidikan.
  • Kurangnya Sumber Daya: Investigasi membutuhkan teknologi dan keahlian yang sering kali belum memadai.

6. Upaya Memperkuat Penerapan

  • Pelatihan Penegak Hukum: Penegak hukum perlu dilatih untuk memahami dan membuktikan actus reus dan mens rea.
  • Kerja Sama Internasional: Dalam kasus yang melibatkan aliran dana lintas negara, kerja sama dengan lembaga internasional seperti Interpol menjadi penting.
  • Transparansi Publik: Memanfaatkan pengawasan masyarakat untuk mendeteksi dan melaporkan indikasi korupsi.

Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Powerpoint Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Daftar Pustaka :

  • Ashworth, A. (2009). Principles of Criminal Law (6th ed.). Oxford University Press.
  • Hart, H. L. A. (1968). Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law. Clarendon Press.
  • Moleong, L. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
  • Muladi & Barda Nawawi Arief. (1992). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.
  • Simons, K. W. (2000). Actus Reus, Mens Rea, and the Criminal Law's 'Voluntary Act' Requirement. Journal of Criminal Law and Criminology, 92(2), 421--480.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun