1. Definisi Korupsi
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tindakan ini bisa berupa suap, gratifikasi, penggelapan, penyalahgunaan anggaran, atau bahkan konflik kepentingan.Â
Dalam pengertian yang lebih luas, korupsi mencakup segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau sumber daya negara yang merugikan keuangan negara atau masyarakat. Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai salah satu hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi dan sosial di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, korupsi telah menjadi isu yang sangat mendalam dan meluas, menggerogoti hampir semua sektor pemerintahan dan ekonomi. Dalam konteks hukum, korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mendefinisikan korupsi sebagai setiap tindakan yang merugikan keuangan negara atau melanggar hukum demi keuntungan pribadi.Â
Praktik korupsi ini, baik dalam bentuk suap, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya, telah banyak terjadi dalam berbagai kasus besar yang mencuri perhatian publik. Kasus-kasus seperti korupsi e-KTP, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan berbagai kasus suap lainnya menunjukkan betapa merugikannya korupsi terhadap anggaran negara dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Korupsi tidak hanya berdampak langsung pada ekonomi negara, tetapi juga merusak moralitas publik dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Dampaknya sangat luas, mencakup kemiskinan, ketimpangan sosial, serta pelambatan pertumbuhan ekonomi.Â
Korupsi dapat menghambat alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program sosial, dan sering kali menciptakan sistem yang tidak adil bagi masyarakat.
2. Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard, seorang ekonom yang terkenal dengan risetnya tentang korupsi, merumuskan sebuah kerangka kerja yang dikenal sebagai "Rumus Korupsi". Klitgaard menggambarkan bahwa korupsi dapat dijelaskan melalui formula:
Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas.
- Monopoli: Monopoli merujuk pada konsentrasi kekuasaan atau kontrol terhadap suatu keputusan dalam satu individu atau kelompok tanpa adanya persaingan. Monopoli ini menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan wewenang, karena hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada kontrol dari pihak lain. Di Indonesia, monopoli ini sering ditemukan dalam berbagai sektor publik, seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah atau proyek-proyek besar lainnya yang dijalankan tanpa transparansi. Ketika sebuah sektor atau proyek hanya dikuasai oleh pihak tertentu, peluang untuk melakukan korupsi meningkat, karena kontrol dan pengawasan yang ada tidak cukup kuat untuk mencegah penyalahgunaan.
- Diskresi: Diskresi merujuk pada kebebasan atau keleluasaan individu dalam mengambil keputusan tanpa adanya aturan yang jelas atau pengawasan yang ketat. Dalam banyak kasus, pejabat atau pegawai yang memiliki kewenangan besar dan kebebasan dalam pengambilan keputusan sering kali menyalahgunakan wewenang tersebut. Misalnya, dalam kasus pengadaan barang dan jasa atau dalam proyek-proyek pembangunan, pejabat dapat dengan mudah menentukan siapa yang akan mendapatkan proyek atau bagaimana dana akan dialokasikan tanpa ada batasan yang jelas. Diskresi yang luas tanpa pengawasan yang memadai menciptakan peluang bagi praktik korupsi untuk berkembang.
- Akuntabilitas: Akuntabilitas mengacu pada kemampuan untuk mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil. Dalam banyak kasus, korupsi terjadi ketika sistem pengawasan atau akuntabilitas sangat lemah atau bahkan tidak ada sama sekali. Di Indonesia, lemahnya sistem akuntabilitas dalam pemerintahan telah memberi ruang bagi terjadinya tindak korupsi. Banyak keputusan yang diambil tanpa transparansi yang cukup, dan tidak ada mekanisme yang memadai untuk memastikan bahwa para pejabat dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. Tanpa akuntabilitas yang jelas, praktik korupsi dapat berkembang dengan bebas, dan sangat sulit untuk mengidentifikasi atau menghukum pelaku korupsi.
Dengan demikian, Klitgaard menekankan bahwa korupsi sering kali terjadi ketika ada konsentrasi kekuasaan yang tinggi (monopoli), kebebasan atau keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan (diskresi), dan minimnya sistem akuntabilitas yang efektif.