Dalam wacana hukum Islam, maqashid syariah atau tujuan syariah menjadi tema yang semakin relevan di tengah masyarakat yang terus berubah. Gagasan ini pertama kali diuraikan secara sistematis oleh Imam Al-Syathibi (w. 790 H) dalam kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syariah. Kitab ini merupakan karya monumental yang mengubah paradigma fikih dari fokus pada detail teknis menjadi upaya memahami maksud dan tujuan dari hukum itu sendiri.
Artikel ini akan membahas bagaimana konsep maqashid syariah mampu menjembatani ketegangan antara teks syariah dengan realitas kontemporer, serta bagaimana kita dapat mengambil pelajaran darinya untuk menjawab tantangan modern.
Maqashid Syariah: Tujuan Universal dari Hukum Islam
Maqashid syariah didefinisikan oleh Al-Syathibi sebagai tujuan utama dari pemberlakuan syariat, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat. Dalam pembahasannya, beliau membagi maqashid ke dalam tiga tingkatan:
Dharuriyat (kebutuhan pokok), seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Hajiyat (kebutuhan pelengkap), yaitu kebutuhan yang meskipun tidak mendesak, membantu manusia menjalani hidup dengan nyaman.
Tahsiniyat (kebutuhan penyempurna), yang berfokus pada hal-hal yang meingkatkan estetika dan etika kehidupan.
Ketiga kategori ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga berorientasi pada kesejahteraan manusia secara holistik.
Teks dan Realitas: Ketegangan dalam Praktik Hukum
Al-Syathibi menegaskan bahwa maqashid syariah tidak bertentangan dengan teks, tetapi sebaliknya, keduanya saling melengkapi. Dalam Al-Muwafaqat (cetakan Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 2003, Jilid 2, hlm. 10), ia menyatakan:
"إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ."