Mohon tunggu...
Muhamad Nur Hasani
Muhamad Nur Hasani Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Andong

Menjelalah ide-ide kreatif dan menuangkan pengalaman penjelahan dalam karya yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Positif dan Ikhtiar Layanan Pendidikan Terbaik

20 Agustus 2024   05:26 Diperbarui: 20 Agustus 2024   06:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

/1/

Berbicara tentang pendidikan Indonesia, tidak bisa lepas dari membicarakan peserta didik dan guru, dan interaksi keduanya. Peserta didik dengan keunikannya, dan guru dengan segudang aktivitasnya, diharapkan dapat bertemu pada titik interaksi yang positif.

Dalam penerapan kurikulum merdeka, lebih spesifiknya adalah modul 1.4. yang telah dipelajari penulis sebagai proses pendidikan Calon Guru Penggerak, terdapat istilah budaya positif. Budaya positif ini, menjadi 'target' bersama untuk dapat ditegakkan oleh seluruh warga sekolah sebagai 'jaminan' kemanan dan kenyamanan dalam aktivitas pendidikan sehari-hari, utamanya peserta didik.

/2/

Melalui artikel ini, penulis mencoba mengutarakan pemikiran, pengalaman, refleksi, terkait budaya positif. Hal itu, kemudian sebagai bentuk keyakinan baru, budaya positif sebagai keyakinan yang dijalankan, bukan sebagai aturan yang dipaksakan.

Pemahaman Penulis terkait Isi Modul 1.4.

Kuncinya ada pada guru. Untuk dapat menegakkan disiplin positif, yang telah menjadi kesepakatan bersam warga sekolah, khususnya peserta didik, guru tentunya memahami segenap perangkat pengetahuan mengenai berbagai instrumen yang berkaitan dengan budaya positif itu, antara lain teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi.

Lazim jika peserta didik akan menghadapi problematika dalam hidupnya, termasuk di dalamnya dalam menjalani kehidupan sosial di sekolah. Tingkat emosional yang masih labil, serta kontrol diri yang masih kurang, seringkali ia akan berbenturan dengan teman-temannya. Bahkan, tidak jarang juga ia akan melakukan tindakan di luar norma yang berlaku di sekolah. Tidak jarang pula, baik sengaja ataupun tidak ia berbenturan dengan budaya positif yang telah ada di sekolah.

Persoalan ini sangat mungkin terjadi karena ada ragam sebagian kebutuhan dasarnya yang tidak terpenuhi. Ada lima kebutuhan dasar, (1) kebutuhan bertahan hidup, (2) kebutuhan kasih sayang dan bisa diterima, (3) kebutuhan penguasaan, (4) kebutuhan kebebasan, dan yang (5) kebutuhan kesenangan.

Apabilan satu atau beberapa kebutuhan dasar itu tidak terpenuhi, maka akan berpotensi timbul konflik yang ditimbulkan peserta didik bersangkutan. Dorongan yang mucul, baik dari dalam dirinya sendiri (motivasi internal) dan dari luar dirinya (motivasi eksternal), juga bida menjadi pemicu.

Dan, untuk dapat mengatasi persoalan itu, seorang guru tentu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan secara tepat. Misalnya, guru tersebut tahu betul posisi kontrol apa yang dibutuhkan untuk dapat menemukan solusi terbaik: menyukseskan siswa. Ada lima posisi kontrol, menurut William Glasser, guru sebagai penghukum, guru sebagai pembuat rasa bersalah, guru sebagai teman, guru sebagai pemantau, dan guru sebagai manajer. Dari kelima posisi kontrol ini, dan atas dasar masalah yang ada, apa kira-kira posisi paling tepat untuk menylesaikannya. Simpulan pemahaman dari penulis setelah mempelajari modul 1.4. posisi yang tepat dan ideal adalah posisi manajer.

Posisi manajer, guru berperan sebagai manajer yang setiap tindakan mengarah pada solusi. Posisi ini, siswa yang tadinya merasa 'kalah'  dapat menjadikan sukses. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah segitiga restitusi, yang dilakukan secara bertahap hingga peserta didik dapat menemukan kesuksesannya. Dimulai dari tahap menstabilkan identitas, menvalidasi tindakan, dan tahap terakhir adalah menanyakan keyakinan.

Dengan langkah-langkah ini, peserta didik mendapat kesempatan merefleksi tindakannya, dan menemukan solusi berdasarkan motivasi internal, dorongan dari dalam dirinya sendiri. Guru dalam hal ini, berposisi sebagai manajer, yang diharapkan dapat menyingkap apa yang sebenarnya terjadi dalam diri peserta didik itu. Dan, selanjutnya tindakan mentaati disiplin positif, kesepakatan bersama, yang menjadi keyakinan bersama (kelas/sekolah), pada gilirannya terwujud karena dorongan/motivasi  internal. Motivasi internal inilah yang diyakini lebih dapat mengubah perilaku peserta menjadi lebih baik lagi di masa-masa akan datang.

              

Perubahan Pola Pikir dalam Ciptakan Budaya Positif di Kelas dan Sekolah

Setelah memlapajari modul 1.4. ini, perubahan pola pikir penulis sangat kentara. Terutama dalam menghadapi peserta didik yang 'spesial'.

Dalam menghadapi peserta didik spesial, tentu diawali dari keyakinan kelas yang sudah terbentuk sebelumnya. Keyakinan/kesepakatan ini merupakan buah dari diskusi  sumbang saran, dan butir-butir pemikiran dari peserta didik. Sehingga ada perumpamaan, dari siswa untuk siswa. Di tahap ini, semua peserta didik sudah tahu apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Jadi, tidak seperti yang sudah-sudah: guru/sekolah yang membuat aturan, siswa yang menerapkannya. Keyakinan ini merupakan buah komunikasi dua arah. Dengan ini, motivasi internal dapat muncul.

Penulis, sebelum mempelajari modul 1.4. ini, masih berpikir dengan posisi kontrol sebagai pemberi hukuman atau pembuat rasa bersalah. Saat ini, penulis mengalami perubahan pola pikir, lebih mayakini, tepat penggunaan posisi kontrol sebagai manajer, yakni berupaya menerapkan segitiga restitusi untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di kelas atau di sekolah. Selain itu, telah meninggalkan membuat peraturan, namun membuat keyakinan kelas/sekolah bersama.

Selain itu, penulis juga memiliki pemahaman, bahwa setiap tindakan pasti dilatarbelakangi alasan. Dan, alasan ini yang mendorong peserta didik melakukan sesuatu. Alasan ini, dalam modul 1.4. ini dimaknai sebagi kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.

Jadi, apakah modul ini mengubah pola pikir penulis, saya pun dapat menjawab secara tegas "ya", berubah menjadi lebih baik tentunya. Penulis menemukan manfaat yang luar biasa dari perubahan pola pikir ini, terutama pada saat menjalankan peran sebagai pendidik di lembaga pendidikan tempat bertugas.

Pengalaman Penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif

Pernah penulis menerapkan sikap indisipliner peserta didik saat lomba antarkelas dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 79. Terjadi selisih paham saat permainan ular ekor beracun. Perselisihan tersebut terjadi antara peserta putra kelas XI 3 dan XII 7. Salah satu peserta didik kelas XI 3 memberikan komentar terhadap kelas XII 7 yang dianggap provokasi. Sementara, kelas XII 7 yang merasa lebih senior, dan ikut perguruan persilatan tertentu, merasa tertantang dan dilecehkan. Maka, semakin runcing dan panaslah permasalahan.

Kebutuhan dasar 'penguasan' kelas XII 7 ini merasa tidak terpenuhi, sehingga mengajak perkelahian:kontak fisik, sebagai ajang pembuktian siapa yang menang. Saya dan rekan-rekan segera mengambil langkah cepat: membawa semua yang terlibat ke dalam ruang tertentu, untuk menjalankan segitiga restitusi. Dari mulai mestabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Hingga pada akhirnya, terjadilah perdamaian. Pernyataan damai itu pun, mereka sampaikan di tengah halam sekolah, disaksikan seluruh peserta didik.

Dari pengalaman ini, penulis dapat mengambil nilai, bahwa penerapan budaya positif akan selalu menghadapi tantangan dalam waktu tertentu. Penerapannya, tentu saja tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hanya dengan kesungguhan dan komitmen, ikhtiar ini akan membuahkan hasil yang manis. Ada rasa kepuasan sendiri pada diri penulis, dapat mengambil  peran dalam menegakkan budaya positif di sekolah.

Perasaan saat Mengalami Tantangan 

Penulis merasa tertantang untuk menerapkan konsep segitiga restitusi dalam kasus yang disebutkan di atas. Pasalnya, bagi penulis konsep itu merupakan hal baru. Dan, tantangan ini penulis coba hadapi dengan berkolaborasi bersama rekan-rekan sejawat.

Selain tertantang, penulis merasakan bahagia dan puas dengan hasilnya. Hasil akhir damai dan pengakuan salah peserta didik XII 7, menjadikan kondusivitas sekolah yang ramah anak. Kegiatan dapat dilanjutkan dengan nilai toleransi dan kolaborasi yang lebih mengental lagi. Bisa jadi ini adalah garansi pertama, terjaganya kondusivitas sekolah dengan penerapan budaya positif, segitiga restitusi.

Hal yang Sudah Baik dan yang Perlu Diperbaiki di Sekolah

SMA Negeri 1 Andong, sebagai sekolah penggerak, tentunya sudah menerapkan disiplin positif dalam dua tahun terakhir, hingga saat ini. Penerapan disiplin sudah dilakukan. Nilai-nilai kebajikan, keyakinan sekolah, keyakinan kelas juga sudah dibangun bersama. Semua itu, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam penerapan kurikulum merdeka. Terlebih, saat ini sudah ada belasan guru penggerak yang telah selesai menempuh pendidikannya. Hal ini menjadi 'amunisi' untuk lebih dalam lagi menerapkan prinsip-prinsip guru penggerak-sekolah penggerak.

Apa ada yang perlu diperbaiki? Tentu saja tiada gading yang tak retak. Demikian juga sekolah tempat penulis bertugas. Ada beberapa guru yang masih menerapkan posisi kontrol belum sebagai manajer, tetapi sebagai penghukum atau pembuat merasa bersalah. Untuk itu, perlu kiranya, hal ini menjadi tanggung jawab bersama, berbagi praktik baik agar posisi kontrol guru saat menghadapi permasalahan peserta didik dapat berubah. Untuk mengubahnya, tentu saja perlu mengubah pola pikirnya terlebih dahulu. Ini adalah PR bersama, saya dan rekan-rekan.

 

Sebelum Mempelajari Modul 1.4., Posisi kontrol yang sering Penulis Gunakan

Penulis sering menggunakan posisi kontrol sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah dan pemantau. Posisi itu saya ambil, dengan asumsi guru memiliki kewenangan untuk melakukannya asalkan tujuannya baik, agar perilaku peserta didik sesuai dengan aturan yang ada. Penulis merasa, hal itu adalah langkah terbaik, meskipun ada kejanggalan dalam diri penulis. Terlebih hasilnya juga tidak maksimal. Dan, kejanggalan itu saat mempelajari modul 1.4. ini terjawab: adanya pengabaian hak-hak peserta didik, sehingga seringkali mereka melakukan perintah guru tidak didasari dengan ketulusan.

Suasana berbeda, setelah penulis mempelajari modul 1.4. ini. Penulis akan berupaya selalu memosiskan diri sebagai manajer. Selain itu, penulis juga menerapkan segitiga restitusi untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Penulis merasa lebih bangga karena siswa menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar untuk memperbaiki kesalahan mereka.

Penerapan Segitiga Restitusi sebelum Mempelajari Modul 1.4

Sebelum mempelajari modul ini, penulis pernah menerapkan segitiga restitusi yang tidak lengkap. Misalnya, pernah ada peserta didik yang tidak menyelesaikan tugas proyek pementasan drama. Yang penulis lakukan hanya memvalidasi tindakan yang salah.

Penulis bertanya, alasan tidak mengerjakan. Setelah itu, langsung pada poin, bahwa tindakan itu salah. Selanjutnya, secara singkat penulis 'menghukum' peserta didik bersangkutan untuk menyelesaikan pekerjaannya di luar kelas. Itu artinya, tidak ada keyakinan kelas yang dibangun. Yang ada adalah peraturan yang harus dipatuhi. Siapa yang tidak patuh, hukuman siap menanti. Tahap menstabilkan identitas tidak ada. Menanyakan keyakinan, juga tidak ada.

Hal lain yang Penting untuk Dipelajari dalam Menciptakan Budaya Positif

Budaya positif tidak mungkin bisa dilakukan satu atau dua orang saja. Namun, perwujudan budaya positif di sekolah mau atau tidak, perlu adanya kolaborasi seluruh guru dan stake holder yang ada. Kolaborasi akan menumbuhkan jiwa korsa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ataupun berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Kesamaan hati dan perasaan inilah poin kunci terwujudnya budaya positif yang menjadi impian bersama seluruh warga sekolah.

Pengetahuan bagaimana manajemen kolaborasi inilah yang penting untuk dipelajari. Kolaborasi yang efektif, efisien, dan tepat guna.

/3/

Budaya positif merupakan 'garansi' terwujudnya keamanan, kenyamanan, keadilan, dan kebahagiaan peserta didik berada di lingkungan sekolah. Pada gilirannya, akan lahir istilah sekolahku surgaku.

Hanya, semua perlu berikhtiar dengan kesungguhan, bahwa budaya positif akan mengahadapi tantangan yang membutuhkan kesiapan kita untuk mengatasinya. Budaya positif merupakan impian bersama yang membutuhkan kolaborasi seluruh warga sekolah, tidak lain.   Budaya positif akan menjadi instrumen penting, layanan terbaik sebuah lembaga pendidikan. Semoga!

Penulis saat ini merupakan Guru bahasa Indoensia 

di SMA Negeri 1 Andong, yang sedang mengikuti 

Program Pendidikan guru Penggerak Angkatan 11. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun