Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan seorang pujangga besar yang berasal dari Kesultanan Surakarta yang hidup pada abad ke-19. Dalam berbagai karya sastranya, ia sering kali menggunakan bahasa simbolis dan filosofis untuk menggambarkan sebuah perjalanan kehidupan manusia dan masyarakat di tengah perubahan zaman. Salah satu gagasan penting yang ia wariskan adalah konsepsi tentang tiga era besar dalam kehidupan manusia dan bangsa, yang ia sebut sebagai Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Ketiga era ini menggambarkan siklus kehidupan masyarakat dari masa keemasan hingga masa keruntuhan.
Selain karya sastra dan filosofinya yang mendalam, pemikiran Ranggawarsita tentang tiga era ini sering kali dianggap relevan untuk memahami situasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia, khususnya fenomena korupsi yang terus menjadi masalah besar. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi konsep tiga era tersebut, bagaimana relevansinya dengan kondisi Indonesia saat ini, serta bagaimana korupsi bisa dipahami dalam kerangka pemikiran Ranggawarsita.
Apa Itu Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu?
Kalasuba: Era Kemakmuran dan Keemasan
Kalasuba, atau yang dalam bahasa Jawa berarti "masa subur" atau "masa keemasan," menggambarkan suatu periode atau masa dalam kehidupan masyarakat yang ditandai oleh sebuah kemakmuran, kesejahteraan, serta keadilan. Dalam era ini, Ranggawarsita membayangkan adanya sebuah ikatan harmoni antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin pada masa Kalasuba dipandang bijaksana, adil, serta menjalankan amanahnya dengan tulus demi kemaslahatan bersama. Di sisi lain, rakyat hidup dalam kedamaian, merasa terlindungi, dan memiliki kepercayaan tinggi kepada penguasa mereka.
Negara Indonesia pernah mengalami momen-momen seperti Kalasuba, misalnya pada masa awal kemerdekaan di bawah kepemimpinan Presiden dan wakil presiden pertama yakni Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Meskipun ada banyak tantangan, seperti ancaman dari dalam dan luar negeri, semangat kebersamaan dan keinginan untuk merdeka serta menciptakan masyarakat yang adil dan makmur tetap menjadi visi utama bangsa Indonesia. Pada masa itu, nilai-nilai seperti persatuan, gotong royong, dan solidaritas sangat kuat di kalangan rakyat.
Namun, era keemasan seperti ini tidak bertahan selamanya. Ranggawarsita menyadari bahwa setiap peradaban akan mengalami siklus, dan Kalasuba hanya satu fase dalam siklus tersebut.
Katatidha: Era Ketidakpastian dan Kegelisahan
Katatidha berasal dari kata Jawa "tidha" yang berarti ketidakpastian atau kebingungan. Era ini menggambarkan masa transisi dari masa kemakmuran menuju masa keruntuhan, di mana masyarakat mulai merasakan ketidakpastian dan ketidakstabilan. Dalam Katatidha, pemimpin mulai kehilangan arah, ada ketidakseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, serta munculnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Katatidha mencerminkan masa-masa di mana masyarakat mulai meragukan integritas para pemimpinnya. Para penguasa tidak lagi fokus pada kesejahteraan rakyatnya, melainkan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan mulai marak terjadi, dan rakyat mulai hidup dalam kebingungan karena tidak lagi merasa terlindungi atau dipimpin oleh sosok yang bijaksana.
Dalam konteks Indonesia, Katatidha bisa dikaitkan dengan periode pasca-Orde Baru. Setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang seharusnya membawa angin segar bagi demokrasi dan keadilan. Namun, kenyataannya, era ini juga diwarnai oleh ketidakpastian politik, ekonomi, dan sosial. Meskipun korupsi telah menjadi masalah sejak era sebelumnya, pada masa ini masalah tersebut justru semakin mengakar, terutama di kalangan birokrasi dan elit politik. Banyak kebijakan reformasi yang tidak berjalan dengan efektif, dan rakyat mulai kehilangan harapan terhadap perubahan yang diimpikan.
Kalabendhu: Era Kegelapan dan Keruntuhan
Kalabendhu adalah fase terakhir dari siklus kehidupan masyarakat menurut pandangan Ranggawarsita, yang ditandai oleh keruntuhan moral, kekacauan, dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. "Bendhu" berarti amarah atau murka, yang menggambarkan betapa rusaknya tatanan kehidupan sosial pada masa tersebut. Pemimpin tidak lagi menjalankan tugasnya dengan baik, korupsi merajalela, dan rakyat semakin tertekan. Kalabendhu adalah era di mana kegelapan moral dan spiritual menyelimuti kehidupan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, Kalabendhu bisa dilihat sebagai era di mana korupsi dan ketidakadilan mencapai puncaknya. Indonesia, meskipun telah berulang kali berusaha untuk memberantas korupsi melalui lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih terus bergulat dengan masalah ini. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat elit politik, tetapi juga telah merambah ke berbagai sektor, termasuk birokrasi, pendidikan, dan bahkan dunia hukum.
Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, anggota legislatif, dan pejabat birokrasi semakin sering muncul, dan hukum seolah-olah tumpul dalam menegakkan keadilan. Korupsi telah menjadi fenomena yang sistemik, di mana pelakunya merasa aman karena adanya perlindungan dari jaringan kekuasaan yang besar. Rakyat semakin frustrasi karena ketidakadilan yang terjadi di depan mata, sementara kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar.
Kenapa Fenomena Korupsi di Indonesia di Refleksikan Sebagai Bagian dari Kalabendhu?
Korupsi di Indonesia merupakan salah satu contoh nyata dari apa yang digambarkan Ranggawarsita sebagai Kalabendhu. Korupsi bukan hanya masalah hukum atau ekonomi semata, tetapi juga masalah moral dan budaya. Dalam Kalabendhu, rusaknya moralitas dan integritas menjadi sumber utama kehancuran masyarakat. Pemimpin tidak lagi melayani rakyat, tetapi justru menindas dan mengeksploitasi mereka demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 masih berada di peringkat yang cukup rendah, menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi masalah yang serius. Setiap tahun, miliaran rupiah uang negara hilang akibat praktek korupsi, yang pada akhirnya berdampak langsung pada kualitas pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
Korupsi di Indonesia memiliki pola yang kompleks, yang melibatkan banyak aktor dari berbagai lapisan masyarakat. Bukan hanya pejabat pemerintah yang terlibat, tetapi juga pihak swasta, lembaga hukum, dan bahkan masyarakat itu sendiri. Dalam banyak kasus, korupsi menjadi "normal" dan diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan betapa dalamnya penyakit ini telah meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Selain itu, sistem patronase yang kuat, di mana kekuasaan dan kekayaan dibagi-bagikan berdasarkan hubungan pribadi atau politik, semakin memperparah situasi. Reformasi yang dijalankan oleh pemerintah dari waktu ke waktu tampaknya tidak cukup efektif dalam mengatasi masalah ini, karena akar permasalahannya sangat mendalam dan melibatkan banyak kepentingan.
Bagaimana Cara Memperbesar Peluang Perubahan atau Harapan di Tengah Kalabendhu?
Meskipun Ranggawarsita menggambarkan Kalabendhu sebagai masa kegelapan, namun siklus ini tidak berhenti di situ. Seperti halnya roda kehidupan, Kalabendhu akan diikuti oleh kebangkitan baru, di mana masyarakat kembali menemukan keseimbangan dan harmoni. Namun, kebangkitan ini tidak akan terjadi dengan sendirinya. Diperlukan kesadaran kolektif, kemauan untuk berubah, dan komitmen yang kuat dari semua lapisan masyarakat untuk keluar dari era kegelapan ini.
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, harapan masih ada. Lembaga seperti KPK, meskipun sering kali menghadapi tekanan politik, tetap berusaha menjalankan fungsinya sebagai garda terdepan dalam memerangi korupsi. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang pentingnya integritas dan transparansi semakin meningkat, khususnya di kalangan generasi muda. Mereka adalah harapan baru yang dapat memutus siklus Kalabendhu dan membawa Indonesia menuju era yang lebih baik.
Pendidikan anti-korupsi, reformasi hukum yang lebih tegas, dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan merupakan beberapa langkah penting yang bisa dilakukan untuk mewujudkan perubahan. Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit dari era Kalabendhu menuju Kalasuba yang baru.
Kesimpulan
Ranggawarsita melalui konsep tiga era---Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu---telah memberikan gambaran mendalam tentang siklus kehidupan masyarakat yang penuh dengan tantangan. Fenomena korupsi di Indonesia saat ini dapat dipahami sebagai bagian dari Kalabendhu, masa di mana integritas, keadilan, dan moralitas telah terkikis. Namun, dengan kesadaran kolektif dan upaya bersama, Indonesia masih memiliki harapan untuk keluar dari kegelapan ini dan memasuki era kemakmuran yang
DAFTAR PUSTAKA
Sutopo, A. (2017). Ranggawarsita: Pengaruh Ajarannya terhadap Etika Sosial Jawa. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
Hidayat, T. (2018). "Masa Kalabendhu dalam Pandangan Ranggawarsita." Jurnal Kebudayaan dan Etika Jawa.
Pranoto, B. (2020). Korupsi di Indonesia: Perspektif Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H