(09/09/2023)- Dunia perkuliahan memang tidak ada habisnya untuk dibicarakan mulai dari para mahasiswa hingga para dosennya yang memiliki berbagai kepribadian yang berbeda.
Bukan hanya memiliki kepribadian yang beragam, isu-isu politik, sosial, sampai budaya kerap ditampilkan dalam sejumlah aktivitas di lembaga pendidikan tertinggi di tanah air kita tercinta.
Salah satunya yang sering jadi momok menakutkan utamanya bagi mereka para mahasiswa akhir adalah bimbingan dengan dosen pembimbing.
Melakukan bimbingan merupakan suatu hal yang wajar dan keniscayaan semua mahasiswa di Indonesia baik S1, S2 dan S3 yang entah sejak kapan mulai diterapkan.
Bagi saya bimbingan ini dengan dosen pembimbing ada plus minusnya, plusnya kamu bisa memperbaiki berbagai kekurangan dan kesalahan penelitian yang sudah dilakukan dengan para dosen pembimbing yang jauh lebih lama berkecimpung dibidangnya.
Sementara dari segi minusnya, mahasiswa sangat rawan stress, depresi bahkan sampai putus asa menghadapi berbagai tingkah laku para dosen pembimbing yang beragam dan terkadang menjengkelkan.
Mulai dari susah diajak untuk bimbingan, menghilang bak hantu, sampai-sampai adanya idealisme pertentangan yang terjadi antara mahasiswa yang dibimbingnya maupun dari dosen pembimbing itu sendiri dengan mahasiswa yang bersangkutan.
Sehingga kemudian rasa keinginan seorang peneliti jadi hilang atau buyar semata, bahkan ide-ide baru seringkali dianggap jelek bahkan tidak berbobot hanya karena dianggap tidak menuruti kemauan dosen pembimbing.
Agaknya pemerintah dalam hal ini Kemenristek yang baru-baru ini mengeluarkan kebijakan agar skripsi tidak lagi diwajibkan sebagai satu-satunya syarat kelulusan tugas akhir perkuliahan merupakan cara yang jitu dan brilian.
Dengan adanya keputusan tersebut, baik pemerintah dalam hal ini melalui Kemdikbudristek dan Kemenag sudah seharusnya memberikan keleluasaan memberikan pilihan kepada mahasiswanya sebagai bahan pertimbangan kelulusan dari perguruan tinggi.