(01/03/2023- Bandung Tempo dulu dikenal dengan pemandangan yang indah, iklimnya yang sejuk serta infrastruktur buatan kolonial yang sudah dibangun sejak awal abad ke-19.
Perlahan Bandung dan daerah Priangan ditempati oleh para Preanger Planters ( para pengusaha Belanda) yang fokus pada bisnis komoditas berupa kopi dan teh, satu diantaranya yang paling terkenal adalah Karel Albert Bosscha.
Selain dikenal sebagai kota kembang dan kota yang secara alami terbentuk dari bekas Danau Bandung Purba ini lambat Laun terutama pasca pemindahan karesidenan dari Cianjur tahun 1810 secara bertahap berbenah menjadi sebuah kota yang layak huni dan elite.
Sampai akhirnya kemudian di tahun 1895 sebuah tempat kongkow-kongkow para elit dan Preanger Planters membangun sebuh gedung perkumpulan bernama Sociteit Concordia diambil dari nama perkumpulan mereka sendiri Concordia.
Sebelum bangunan ini didirikan mereka biasa mempergunakan sebuah toko kelontong di seberang bangunan tersebut bernama De Vries mulai tahu 1877 sampai akhirnya pindah ke bangunan yang sekarang menjadi Museum Konperensi Asia-Afrika.
Pada perjalanannya di tahun 1921 oleh Charles Wolff Schoemacker diperintahkan untuk merenovasinya sehingga kemudian terdapat perluasan area sampai kebagian dari Gedung Merdeka berada saat ini.Â
Sayangnya kemudian menurut salah satu peneliti di Bandung Heritage bahwa bangunan yang kita lihat hari ini merupakan bangunan baru sebab, di tahun 1940 A.F Aalbers merenovasi dengan cara membongkar seluruh bangunan lama dengan membangun kembali bangunan baru di bekas bangunan lama tersebut.
" Gedung ini menjadi salah satu bangunan yang tua di Bandung, gedung ini jadi cikal bakal nantinya Jalan Braga. Sebelumnya di tahun 1879 perkumpulan Concordia menggunakan De Vries sebagai tempat perkumpulan sampai akhir di tahun 1895 dibangun Sociteit Concordia," kata Aji Bimarsono, pada acara seminar nasional di Gedung Merdeka, Minggu (19/03/2023).
Sampai kemudian pada masa penjajahan Jepang di tahun 1942-1945 digunakan sebagai Pusat Kebudayaan Jepang ( Daai Tai Kokan).
Sociteit Concordia kemudian diganti namanya oleh Presiden Sukarno pada 1955 bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika tanggal 18-24 April 1955 dan mengubah sekaligus nama jala didepannya dari sebelumnya bernama Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia-Afrika.
Sebagai peristiwa bersejarah yang besar dan melahirkan Dasa Sila Bandung yang mana merujuk pada The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani, acara tersebut berlangsung sukses dan nama Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan semakin dikenal luas di kancah internasional.
29 negara yang merumuskan komunike akhir yang mana dapat disimpulkan menjadi 4 nilai utama yaitu, persamaan hak, mengakui kedaulatan bangsa lain, hidup berdampingan secara damai dan peningkatan kerjasama internasional.
Saking pentingnya peristiwa ini memiliki dampak yang luas bagi dunia hingga melahirkan istilah dunia ketiga atau negara-negara non blok yang mulai muncul pada tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia.
Cikal bakal dari konferensi yang digelar di Gedung Merdeka dan Gedung Dwi Warna tersebut, sebetulnya merupakan kelanjutan dari Konferensi Branville tahun 1926, Konferensi Colombo 1954 dan Konferensi Bogor di tanggal 28-30 Desember 1954.
Maka kemudian karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya masih relevan sampai hari ini, Direktorat Jenderal Diplomasi dan Informasi Publik, Kementerian Luar Negeri lewat Museum Konperensi Asia-Afrika mengajak masyarakat untuk mengenal lebih jauh sekaligus secara dalam akan peristiwa yang menggoyang dunia ini.
Maka kemudian wajar jika setiap tahunnya Museum Konperensi Asia-Afrika yang sudah berdiri sejak tanggal 24 April 1980 berbarengan dengan peringatan 25 tahun konferensi tersebut terus berkomitmen mengenalkan dan melestarikan semangat Bandung dengan segala upaya pemanfaatan teknologi yang ada.
Museum Konperensi Asia-Afrika bukan hanya digunakan untuk belajar sejarah dan aset diplomasi milik publik melainkan lebih dari itu semua juga rumah bagi Komunitas Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika yang didirikan pada 11 Februari 2011 silam oleh Deni Rachman dan kawan-kawan.
Guna menyongsong 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di tahun 2025 mendatang, pada peringatan tahun ini yang ke- 68 tahun, Museum Konperensi Asia-Afrika mengusung tema peringatan Road To 2025: Towards Stronger Asia- Africa.
Sementara itu seperti pada tahun-tahun sebelumnya rangkaian acara peringatan tanggal 18-24 April 2023 akan kembali dilaksanakan mulai dari acara pengibaran 109 negara termasuk bendera PBB, jamuan teh petang dengan para saksi sejarah, serta penurunan bendera negara-negara Konferensi Asia-Afrika juga akan pula kembali dilakukan.
Maka kemudian peringatan setiap tahun ini jangan hanya menjadi sebuah ceremonial belaka, romantisme sejarah dan nostalgia melainkan lebih dari itu semua kita sebagai generasi penerus harus mau dan mampu mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai dari Dasa Sila Bandung.
Refleksi perjalanan 68 tahun Konferensi Asia-Afrika merupakan kunci nyata bahwa negara adidaya bisa kalah jika negara-negara non-blok atau dunia ketiga bersatu melawan dan mengedepankan sisi diplomasi ketimbang berperang dengan sesama bangsa lainnya.
Maka kemudian pemeliharaan dan perawatan dari Gedung Merdeka sendiri juga harus dilakukan secara nyata dan teratur jangan sampai aset diplomasi dan bukti nyata politik bebas aktif Indonesia ini, runtuh bahkan hancur tergilas oleh perkembangan zaman yang tiada henti sepanjang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H