(27/04/2022)- Perguruan Tinggi diartikan sebagai tingkat tertinggi dari strata pendidikan di dunia termasuk di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh adanya gelar yang diraih oleh para peserta didik yang dianggap sudah bisa mandiri dan tidak bergantung sebagai mana siswa maka diberi label Mahasiswa/Mahasiswi.
Fakta di lapangan justru berbanding terbalik yakni adanya kejomplangan diantara mahasiswa atau mahasiswi terhadap dosen yang seharusnya dianggap sebagai pengajar dalam artian jika mahasiswa tidak mengerti artinya mereka seharusnya bisa membantu agar ada semacam timbal balik satu sama lain.
Agaknya dosen yang baik dan dianggap friendly tidaklah sebanyak yang kita kira dominasi dosen yang menganut sistem feodal alias anti kritik dan harus dipatuhi masih banyak biasanya dosen tipe ini beranggapan mahasiswa tidak selevel dengan gelar yang mereka raih misalkan sudah mendapat gelar S3 bahkan sampai Profesor.
Merasa berkuasa, mengancam otak-atik nilai, tidak meluluskan dan lain sebagainya sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pendidikan yang dianggap bisa melahirkan agent of change faktanya tidak se suci yang dibayangkan masyarakat pada umumnya.
Feodalisme ini dianggap sebagai sebuah cara jika dosen merasa tersaingi pengetahuannya dari mahasiswa,atau bahkan tidak mau menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya lantas memarahi mahasiswa dengan dalih jawabannya salah dan ia merasa paling benar tidak patut untuk tetap menyandang title dosen.
Saya banyak menemukan hal tersebut sepanjang melaksanakan perkuliahan 6 semester kebelakang ada dosen yang humble, baik bahkan tidak sungkan menerima masukan, ada pula yang sebaliknya marah-marah, tidak beretika dalam marah, berkata kasar, kurang sopan dan lain sebagainya yang bisa dikategorikan sudah tidak cocok menjadi dosen tetap dipertahankan oleh kampus.
Biasanya pihak kampus kebanyakan hanya diam karena beranggapan hal tersebut biasa saja dan tidak memberi efek apapun pada mahasiswa padahal secara psikis bisa saja ada yang stress, tertekan sampai banyak kasus diberbagai kampus ada yang mengakhiri hidupnya karena permasalahan dengan dosen yang dianggap mempersulit mahasiswa.
Jika pun dilaporkan akan sulit bagi mahasiswa bisa menang melawan jurusan, fakultas sampai kampus karena biasanya para dosen yang dekat dengannya akan membela habis-habisan dosen yang salah tersebut dan mahasiswa sebaliknya akan disalahkan jadi saya sendiri agak ragu sebenarnya karena feodalisme di kampus saya khususnya di jurusan saya sangat kuat dan susah untuk dilawan.
Bukannya diberikan kebebasan untuk berpendapat sebanyak tiga dosen yang merasa berkuasa sering seenaknya dalam berperilaku ada yang hanya marah-marah di online dan memaksa mahasiswa untuk offline jika tidak diancam nilai jelek karena tidak hadir offline, ada yang hanya masuk satu kali dalam satu semester bahkan tidak masuk sepenuhnya karena alasan kesibukan dengan dalih karena gelar prof, di lain sisi ada yang merasa paling berkuasa karena dianggap paling mengerti agama dan menjadi pimpinan di sebuah Ponpes, agaknya perilaku sombong karena seabrek gelar dan congkak ke atas tidak patut ditunjukkan seorang dosen.
Berperilaku sesuai zamannya, tidak otoriter sebaiknya dilakukan agar mahasiswa dan dosen tersebut juga merasa nyaman satu sama lain. Jangan pernah merasa lebih pintar karena seabrek gelar yang diraih namun justru dengan seabrek gelar yang banyak bisa menjadikan dosen semakin melihat kebawah dan tidak anti kritik.
*Artikel ini murni pengalaman dan tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun harapnya pembaca bisa bijak dalam menyikapi tulisan ini tanpa berprasangka yang tidak-tidak. Tujuan penulis menuliskannya hanya sebagai bentuk aspirasi selaku warga kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H