Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal Al Hilal
Muhamad Iqbal Al Hilal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freelance Writer

Penulis berkonsentrasi pada isu sejarah, politik, sosial ,ekonomi, hiburan dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pasang Surut Hubungan Indonesia dan Belanda

19 Februari 2022   08:59 Diperbarui: 19 Februari 2022   09:04 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi VOC/ Foto: Sumber sejarah

(19/02/2022)- Kerajaan Belanda mulai melakukan pelayaran untuk mencari wilayah penghasil rempah-rempah yang melimpah mengikuti sejumlah perjalanan yang sudah dilalui beberapa negara tetangganya seperti Portugis ( Portugal) dan Spanyol yang sudah terlebih dahulu berekspansi dan menjelajahi bagian dunia lain.

Belanda yang saat itu belum memiliki niatan menjajah wilayah kepulauan Nusantara karena seperti kita ketahui bersama armada laut Cornelis de Houtman sampai ke Pelabuhan di Banten tahun 1595 ada juga yang berpendapat Belanda datang pada tahun 1596.

Cornelis de Houtman/ Foto: Wikimedia
Cornelis de Houtman/ Foto: Wikimedia


Sebelumnya Portugis sudah sampai terlebih dahulu di Selat Malaka tahun 1511 karena dirasa Selat Malaka merupakan jalur penting perdagangan pada masa itu. Dengan hal ini, maka secara tidak langsung kekuasaan Kesultanan Malaka runtuh dan kekuatan Kerajaan Aceh mulai hadir dan bersiap melakukan perlawanan pada tahun 1529 nantinya.

Setelah penguasaan Portugis terhadap Malaka maka pada tahun itu juga Malaka yang tadinya sibuk dan ramai mulai sepi dan merosot popularitasnya diakibatkan adanya keengganan sejumlah pedagang melintasi Malaka sampai akhirnya secara perlahan bandar pelabuhan pindah ke wilayah Kesultanan Aceh.

Aceh sendiri giat melakukan perlawanan terhadap Portugis dan berhasil mengusirnya tahun 1524 dan menguasai wilayah Pidie sampai Deli. Akibat kalahnya Portugis hal ini membuat Aceh pada akhirnya harus berhadapan dengan Kesultanan Johor yang sekarang masuk wilayah Malaysia.

Sampai akhirnya Aceh sendiri berhasil menguasai sejumlah wilayah lain misalnya Bintan tahun 1614, Pahang tahun 1617 dan Johor tahun 1624.

Namun, sayang di tahun 1629 Aceh mengalami kekalahan meskipun demikian, Aceh tetap bisa mempertahankan eksistensinya sampai awal abad ke-20 meskipun popularitasnya tidak sekuat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Nah kita kembali ke pembahasan mengenai Belanda. Pada tahun 20 Maret  1602 Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie ( VOC) atau kita lebih mengenalnya sebagai kongsi dagang Belanda di Hindia-Belanda.

Ilustrasi VOC/ Foto: Sumber sejarah
Ilustrasi VOC/ Foto: Sumber sejarah

Sebenarnya dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa Belanda mulai melakukan perlawanan sekaligus upaya penguasaan wilayah bumi Nusantara bukan 350 tahun seperti yang kita kenal dalam buku-buku sejarah di sekolah.

Meskipun hanya sebatas perusahaan kongsi dagang VOC, memiliki berbagai keistimewaan yang diberikan Kerajaan Belanda yaitu memiliki pasukan sendiri, memiliki mata uang sendiri dan diperbolehkan melakukan perang dan membuat perjanjian dengan pihak lain istilah ini sering disebut sebagai (octrooi).

VOC bertahan sampai tahun 1799 diakibatkan sejumlah faktor yaitu adanya korupsi yang dilakukan para petinggi di perusahaan dagang tersebut, selain itu adanya peperangan melawan Inggris dan sejumlah Kerajaan di Nusantara berakibat merosotnya keuangannya, tidak diresponnya keluhan pegawai dan faktor lain sebagainya yang membuat dengan terpaksa VOC dinyatakan di tutup pada tanggal 31 Desember 1799.

Selama VOC berdiri sejumlah barang dan kebutuhan pangan seperti teh, keramik, tebu, padi,logam dan lain sebagainya menjadi komoditas utama yang diperjualbelikan oleh perusahaan dagang Hindia Timur tersebut.

 Dari sini juga istilah kompeni yang berasal dari nama akhirnya VOC yakni Compagnie mulia dipakai oleh orang Kepulauan Nusantara maksudnya wilayah Indonesia, dan Malaysia sekarang.

 Dalam pembubaran VOC ini, sebenarnya peran Heeren XVII Atau Dewan Tujuh Belas juga dianggap tidak becus mengurusi perusahaan ini jika para Heeren atau direktur yang terdiri dari 17 orang perwakilan 17 provinsi di Belanda sana mau mendengarkan keluhan para karyawan niscaya VOC akan bertahan sampai akhir Belanda di Indonesia yaitu tahun 1949.

Namun, bubarnya VOC ini tidak membuat gentar para penjajah kolonial barat ini untuk hengkang dari Hindia-Belanda. Akibat bubarnya VOC dan jatuhnya Kerajaan Belanda pada tahun 1800-1811 ke tangan Perancis yang saat itu dipimpin oleh Napoleon Bonaparte maka jabatan Gubernur secara tidak langsung diatur oleh Kerajaan Perancis.

Dari sini bisa dilihat bahwa kekuasaan seorang Gubernur Jenderal sudah ada sebenarnya sejak tahun 1610 di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both meskipun demikian, kemungkinan besar Pieter bukan disebut sebagai Gubernur Jenderal melainkan sebagai Duta VOC, sebab penyebutan jabatan tersebut sendiri diperkirakan baru ada pada tahun 1691 artinya Gubernur Jenderal Johannes Camphuys atau Gubernur Jenderal Willem Van Oouthoorn.

Selepas bubarnya VOC di tahun 1799 Hindia-Belanda dipimpin sepenuhnya oleh Gubernur Jenderal diawali oleh Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten tahun 1796 namun ia dilantik ulang oleh Belanda karena saat itu Belanda dikuasai oleh Perancis.

Pada masa penguasaan Perancis atas Belanda di Hindia-Belanda inilah proses penjajahan yang sering disebut sebagai pembangun Jalan Raya Pos dari tahun 1808-1811 dibawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dilakukan.

Sampai akhirnya kekuasaan penguasaan Perancis atas Belanda berakhir setelah kalahnya Belanda dalam Kapitalisasi Tuntang yang dimana dalam Tuntang Gubernur Jenderal Jan Willem Janssen pada 1811 secara resmi menyerahkan kekuasaan Hindia-Belanda dari Belanda ke Kerajaan Inggris yang kemudian Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi menggantikan Janssen sebagai gubernur jenderal yang baru.

Tidak berselang lama Lord Minto digantikan oleh Thomas Stamford Raffles yang berkuasa sejak tahun 1811-1816 di kepemimpinannya inilah berbagai pengembangan seperti Taman Raya Bogor, dan penemuan kembali Candi Borobudur terjadi pada kepemimpinannya.

Selain itu, Raffles juga menulis sebuah buku berjudul History of Java yang terbitkan oleh John Murray tahun 1817. Setelah Raffles berkuasa akhirnya dalam sebuah kesepakatan di Wina tahun 1816 maka Jawa kembali diserahkan kepada Belanda dan John Fendall kemudian menjadi pejabat perantara untuk penyerahan Jawa dari Inggris ke Belanda.

Sejak tahun 1816-1942 Nusantara berada dalam kendali sepenuhnya Kolonial Hindia-Belanda dimulai dari Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen yang liberal dan kejam sampai Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

Selepas datangnya Jepang tahun 1942 ke tanah air dan berkuasa selama 2,5 tahun sampai tahun 1945 membuat Belanda akhirnya hengkang sebab sejak 1914-1918 terjadi Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1939-1945 yang membuat kekalahan Jepang kepada sekutu tahun 1945 sebagai serangan balik dari Amerika Serikat karena Jepang menyerang pangkalan militer di Pearl Harbour tahun 1941.

Akibat kekalahan Jepang sejumlah kaum muda memaksa agar kaum tua segera memproklamasikan kemerdekaan, namun karena kaum tua masih ragu akan kekalahan Jepang maka aksi penculikan Soekarno-Hatta yang dilakukan oleh kaum muda pada tanggal 16 Agustus 1945, akhirnya Achmad Subardjo yang mengetahui hal tersebut meminta agar Soekarno-Hatta dibawa Ke Jakarta dan benar saja dengan bermodalkan rumah milik petinggi Jepang Laksamana Maeda yang bersimpati kepada Indonesia dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia pun akhirnya dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta.

Meskipun sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Belanda tetap saja datang kembali ke Indonesia dengan Agresi Belanda I dan II dengan dibonceng oleh NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie) antara tahun 1947-1948 tetap saja tetap membuat Belanda enggan hengkang.

Padahal sejak tahun 1947 berbagai perjanjian mulai dari Perjanjian Renville, Roem Royen, Linggarjati tetap tidak membuahkan hasil. Baru pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar ( KMB) di Den Haag negeri Kincir Angin tersebut mengakui kemerdekaan Indonesia.

Konferensi Meja Bundar 1949/ Foto: Detik.com
Konferensi Meja Bundar 1949/ Foto: Detik.com

Ratu Juliana pada mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1945 bukan 17 Agustus 1945. Dengan segala konsekuensinya Indonesia menerimanya. Sejak tahun 1971 sejumlah pemimpin Kerajaan Belanda beberapa kali berkunjung ke Indonesia yakni Ratu Juliana tahun 1971, Ratu Beatrix tahun 2005 dan Raja Willem Alexander tahun 2020. Mereka sama-sama mengakui dan meminta maaf kekejaman penjajahan di Indonesia.

Raja Willem Alexander dan Presiden Jokowi di Istana Bogor,tahun 2020 / Foto: ABC Australia
Raja Willem Alexander dan Presiden Jokowi di Istana Bogor,tahun 2020 / Foto: ABC Australia


Baru-baru ini, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte juga meminta maaf kepada Indonesia atas kekejaman Belanda selama perang pra kemerdekaan 1945-1949. Rutte melakukan permohonan maaf di ibukota Belgia, Brussel.

Tentunya hal ini tidak lepas dari adanya konflik dalam Pameran Kemerdekaan Indonesia di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda. Sebelumnya Bony Triyana sejarawan Indonesia dan Rijksmuseum sempat berselisih perihal penggunaan kata" bersiap" yang memiliki konotasi buruk bagi Indonesia dan konotasi baik bagi Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun