Mohon tunggu...
muhamad Insanulloh ilham
muhamad Insanulloh ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Membaca, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea: Implikasi Geopolitik dan Tantangan Bagi Stabilitas Perdamaian Global

12 September 2024   18:00 Diperbarui: 12 September 2024   18:00 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dari beberapa dekade terakhir ini, dinamika ancaman nuklir di semenanjung Korea menjadi salah satu tantangan terbesar bagi stabilitas perdamaian global. Program pembuatan senjata nuklir di Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Jong-Un terus dilakukan walaupun pada kenyataannya terdapat sanksi yang ditetapkan organisasi internasional. Korea Utara yang terletak di wilayah Asia Timur seringkali melakukan uji coba nuklir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ancaman keamanan wilayah regionalnya bahkan mengancam perdamaian dan stabilitas keamanan global secara nyata karena dianggap sebagai provokasi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meredakan krisis nuklir Korea Utara, salah satunya adalah negosiasi yang dilakukan oleh negara-negara besar dengan sebutan "The Six Party Talks". Mediasi ini merupakan upaya yang paling menonjol dengan tujuannya adalah untuk mengakhiri program nuklir yang sedang dilakukan di Korea Utara. Walaupun begitu, upaya tersebut masih belum menghasilkan solusi yang efektif, hal ini dikarenakan terdapat hambatan dalam mediasi berupa uji coba rudal dan nuklir yang dilakukan Korea Utara secara terus menerus serta menekan keamanan kawasan hingga berpengaruh terhadap kebijakan keamanan dunia.

Adanya dinamika ancaman nuklir di Semenanjung Korea dikhawatirkan akan terjadinya  konflik berkelanjutan sehingga dapat memicu perang nuklir akibat penyalahgunaan senjata nuklir tersebut. Kondisi yang sudah jelas, bahwa ancaman ini semakin serius sehingga berpengaruh terhadap keamanan negara-negara termasuk mengancam peradaban manusia.

Sejarah Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea 

Awal mula pengembangan program nuklir Korea Utara terjadi setelah Korean War berakhir tahun 1953. Kejadian tersebut membuat pemimpin pembentukan negara Korea Kim Il-Sung meyakini bahwa penting adanya perlindungan dari Amerika Serikat, perlindungan tersebut berupa senjata nuklir yang didanai oleh Uni Soviet.

Adanya peningkatan dalam perkembangan teknologi nuklir Korea Utara membuat Dewan Keamanan PBB pada bidang pengawasan energi nuklir yaitu IAEA (International Atomic Energi Agency) mengetahui hal tersebut, sehingga pada tahun 1974, Korea Utara bergabung dengan IAEA dan mengizinkan pengawasan dan keamanan reaktor nuklir oleh IAEA.

Pada tahun 1980-an, terjadi perkembangan nuklir Korea Utara yang cukup baik, sehingga reaktor nuklir sudah mulai beroperasi di wilayah Yongbyon dengan membuat pengayaan uranium serta fasilitas yang mampu memproduksi plutonium sebagai bahan dasar senjata. Pada tahun 1993 Korea Utara tidak mau memberikan rincian program nuklir kepada IAEA, dengan begitu Korea Utara mundur dari Non-Proliferation Treaty (NPT). Pada tahun 1994 terjadi penandatanganan kesepakatan sebagai bentuk normalisasi hubungan politik dan ekonomi dengan barat yang disebut Agreed Framework, dimana Pyongyang setuju atas pembekuan program nuklir dan mematuhi kewajiban IAEA yang dilakukan Korea Utara dengan imbalan bantuan sumber energi fosil. Akan tetapi kesepakatan tersebut tidak bertahan lama, dimana terdapat tuduhan terhadap Korea Utara yang melakukan pengayaan uranium secara diam-diam. Akibatnya pada tahun 2003 Korea Utara menarik diri dari NPT

Sejak Korea Utara menarik diri dari NPT terjadi serangkaian uji coba nuklir pada tahun 2006 sebagai uji coba yang pertama. Adanya aktivitas uji coba tersebut memicu terjadinya ancaman global serta sanksi dari Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, adanya kecaman tersebut tidak menimbulkan efek jera bagi Korea Utara, dimana terjadi berbagai uji coba selanjutnya yang dilakukan pada tahun 2009, 2013, 2016 dan 2017. Dalam uji coba tersebut, terdapat peningkatan ledakan yang dilakukan Korea Utara dengan meningkatkan hulu ledakannya yang dipasang pada rudal balistik.

Uji coba nuklir yang dilakukan Korea Utara tersebut, terdapat upaya diplomasi yang dilakukan oleh berbagai negara besar, salah satunya adalah Six-Party Talks yang sudah dimulai pada tahun 2003 dengan melibatkan China, Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang dan Rusia. Meskipun Six-Party Talks diproses dalam jangka waktu yang panjang hingga mencapai 8 kali pertemuan, pada tahun 2009 pertemuan tersebut tidak dilanjutkan yang kemudian Dewan Keamanan PBB mengancam adanya peningkatan terhadap sanksi. Hal ini direspon oleh Pyongyang bahwa dirinya tidak akan berpartisipasi dalam kegiatan Six-Party Talks tersebut. Adanya kegiatan uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara secara terus menerus membuat ancaman nuklir yang terjadi di wilayah ini menjadi salah satu isu keamanan dan perdamaian yang harus diperhatikan oleh global. 

Implikasi Geopolitik 

Adanya ancaman nuklir di Semenanjung Korea memberikan dampak geopolitik yang bukan hanya di kawasan Asia Timur saja. Amerika dan China sebagai dua negara great power mempunyai posisi yang bertentangan. Dalam hal ini, Amerika memberikan dukungan terhadap sekutunya yakni Korea Selatan dan Jepang untuk memberikan dukungan terhadap peningkatan senjatanya serta penawaran atas perlindungan. Adapun Tiongkok yang merupakan sekutu dengan Korea Utara pada awalnya mendukung secara diplomatis berupa tidak semuanya sanksi yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB ditetapkan terhadap Korea Utara. Hal ini terbukti bahwa Tiongkok masih mengekspor kendaraan dan persenjataan serta menekankan pada Dewan Keamanan PBB agar tidak terlalu menekankan pada sanksi yang memaksa, namun dengan menggunakan cara diplomatik. Dalam hal ini Tiongkok menekankan pada resolusi PBB yang tidak berdampak pada pembangunan dan ekonomi Korea Utara. Akan tetapi kebijakan luar negeri Tiongkok tersebut berubah setelah adanya uji coba nuklir yang dilakukan Korea Utara tahun 2013, hal ini dipengaruhi atas ancaman internasional terhadap keamanan nasional serta desakan dari dunia internasional terhadap Tiongkok untuk segera berperilaku secara tegas terhadap sekutunya. Amerika Serikat bersama sekutunya menyerukan terhadap Tiongkok agar dapat mengambil keputusan secara tegas atas apa yang dilakukan Korea Utara, sehingga hal ini menimbulkan security dilemma bagi Tiongkok yang berupa terbentuknya Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan serta adanya perjanjian keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat yang diperbarui. Pada akhirnya dalam wawancara New York Times Profesor Yan Xuetong yang merupakan intelektual dari Tiongkok menyebutkan bahwa Korea Utara bukan lagi sebagai sekutu Tiongkok, Pakistan adalah satu-satunya sekutu Tiongkok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun